Sabtu, 28 Juni 2014

KETUKAN



Sekali ketuk : tamu seperti apa rupamu?

Dua kali ketuk : ah, kamu rupanya, tunggu sebentar.

Tiga kali ketuk : mana cermin, aku harus berkaca.

Empat kali ketuk : aku punya segudang cerita yang tak sempat kuceritakan pada orang lain.

Lima kali ketuk : bubur maupun nasi, putih maupun merah, adakah berbeda?

Enam kali ketuk : bunyimu familiar, ketukanmu berirama, hai tamu.

Tujuh kali ketuk  : sebelumnya semua suara membuat konsentrasiku pecah.

Berkali-kali ketuk  : bisakah kurekam ketukan-ketukan itu sebelum ia datang?
(atau cukup saja menikmati pecahan-pecahan konsentrasi dalam ketidakberaturan ketukan rongga dadaku)

bisakah kupesan ketukan statismu untuk bertahun kemudian?
(atau kujalani saja bekas ketukanmu hingga seminggu kedepan)



Soe, 24 Juni 2014





Selasa, 24 Juni 2014

Rote III : Pantai Nemberala (selesai)



Baru setengah jam menonton pertandingan bola, saya mulai bosan. Om Zadrak mengajak saya dan salah satu keponakan perempuannya, Rosi, yang berusia 13 tahun, untuk berjalan keliling di pantai Nemberala. Ternyata, letak pantai yang tersohor itu begitu dekat dengan rumah ibu Om Zadrak. Jadi dari rumah, melewati sisi lapangan, lalu menyeberang jalan, ada jalan masuk 50 meter, ketemu deh pantainya. Huaaa, saya begitu senang bisa menginjakkan kaki dan melihat langsung pantai Nemberala. Bagi saya yang mencintai pantai ini, ketemu pantai rasanya bahagia sekali.

 Pantai Nemberala

Menurut penuturan om Zadrak, pantai Nemberala ini salah salah satu tempat wisata di Rote yang pertama kali dikenal oleh para wisatawan dari luar Indonesia, sekitar tahun 80an. Kemudian barulah pantai Bo’a (pantai pusat surfing, letaknya lebih jauh dari pantai Nemberala)  dikenal. Tahun 1992, berdirilah hotel pertama di kawasan wisata pantai Nemberala, Hotel Tirosa. Hotel pertama ini dibangun oleh keluarga Messakh, yang sampai saat ini tetap dioperasikan oleh keluarga besar Messakh. Harga kamar lumayan terjangkau, Rp.200.000 per orang per malam dan masih bisa nego untuk orang Indonesia. Dengan harga demikian, sudah bisa menikmati bangun pagi di pinggir pantai.

Baru kemudian muncullah hotel, villa, atau cottage yang pemiliknya sebagian besar adalah bule-bule Eropa. Pertama mereka mengontrak tanah –tanah tepat di bibir pantai Nemberala. Tanah tersebut dikontrak untuk jangka panjang. Bisa dikontrak dengan jangka waktu 20 hingga 30 tahun. Biaya kontrak tanah bermacam-macam, bergantung pada lama masa kontrak dan luas tanah. Menurut penduduk sekitar harga kontrak berkisar 500-600 juta rupiah. Tentu dalam jangka waktu yang lama.

Setelah mengontrak tanah, mereka kemudian mulai mengurusi tanah mereka itu. Membangun pagar batu, membuat konsep yang matang untuk para calon pengunjung hotel mereka, yang juga adalah para bule. Mungkin cuma orang bule yang tahu bagaimana melayani sesama bule, sehingga mereka membangun semacam atmosfir mereka sendiri di dalam resort-resort pribadi mereka. 

Saat ini, hampir seluruh kawasan bibir pantai sudah dikontrakkan kepada  Bule untuk 20 sampai 30 tahun mendatang. Sayangnya, ada pengontrak tanah yang setelah mendapat ijin kontrak, beliau mengontrakan tanah tersebut kepada bule lain dengan harga yang tentu saja lebih tinggi. Untung sampai saat ini belum ada penduduk Nemberala yang menjual tanahnya secara utuh kepada para pendatang, hanya dikontrakkan saja. Kecuali ada seorang penduduk yang memang ‘tidak sengaja’ menjual tanahnya karena kesalahan pribadi. Namun kata om Zadrak, di wilayah pantai Bo’a, banyak wisatawan berduit yang sudah beli putus (istilah untuk membeli lahan dan lahan tersebut menjadi kepemilikan pembeli seutuhnya) tanah-tanah surga disana.

Memang begitu mendengar uang 500 atau 600 juta, penduduk mudah tergiur dengan angka tersebut. Uang itu lalu dibagi-bagikan kepada sejumlah saudara pemilik tanah. Uangnya bisa untuk beli kendaraan dan makan minum, namun tidak dalam jangka waktu lama. Mungkin satu dua tahun kemudian uang tersebut sudah ludes. 

Om Zadrak menyayangkan hal tersebut. Menurut beliau perlu dibuat suatu kesepakatan yang dapat menguntungkan bukan saja bagi pengontrak tanah, tapi juga bagi pemilik sebenarnya atau penduduk lokal. Misalnya dengan membuat kesepakatan bahwa jika pengontrak membangun hotel atau cottage, pengontrak tanah tersebut wajib juga membangun sesuatu atau memberikan hak sebuah kamar kepada pemilik tanah sebenarnya. Karena satu-satunya keuntungan yang dirasakan masyarakat lokal dari pembangunan hotel oleh wisatawan asing adalah karena mereka mendapat pekerjaan sementara sebagai buruh bangunan.

Pantai Nemberala yang namanya sudah terkenal dimana-mana ini ternyata memang indah. Bentangan pasirnya sangat  luas dan lumayan lebar. Bagian sebelah kiri pasirnya besar besar butirannya, sedangkan yang sebelah kanan pantai pasirnya halus dan lebih putih, sensasinya seperti berjalan di atas tepung.

Bagian Pantai Nemberala yang pasirnya putih dan halus

Yang menarik dari pantai ini adalah pantai ini juga dimanfaatkan masyarakat setempat untuk membudidayakan rumput laut. Masing-masing petani rumput laut punya petak-petak di pinggir laut untuk ditanami rumput laut. Rumput laut yang sudah dipanen kemudian dijemur/dikeringkan, kemudian dijual. Harga 1 kg rumput laut kira-kira Rp.16.000. Banyak penduduk desa Nemberala yang berprofesi sebagai petani rumput laut.

Om Zadrak dan salah satu keluarganya hang sedang panen rumput laut

Salah satu hal yang menurut saya belum ada di tempat wisata ini adalah tempat penjualan suvenir khas Rote. Saya yang baru datang ke tempat ini langsung bertanya apakah ada tempat penjualan suvenir, siapa tahu bisa membelikan oleh-oleh bagi teman-teman di Kupang. Namun ternyata tidak ada toko seperti itu. Padahal potensinya cukup besar. Seharusnya ada tempat yang menyediakan oleh-oleh seperti selendang tenun Rote, gantungan kunci ti’i langga atau sasanso, atau bisa juga menjual gula aer.

Nemberala juga merupakan lokasi surfing. Namun lokasi surfingnya agak jauh ke arah laut sehingga tidak dapat menonton langsung peselancar dari bibir pantai.

Diatas semuanya, saya menyukai pantai ini, dan pantai ini wajib dikunjungi oleh semua pencinta pantai! Selama dua hari berturut-turut, saya menghabiskan senja di pantai yang Nemberala luas ini. Malam pertama kami kembali untuk tidur di rumah pak pendeta, lalu hari kedua menginap di rumah ibu om Zadrak di dekat pantai.
Senja di Pantai Nemberala

Santai berjemur

Sampai Ketemu Lagi, Rote!


Setelah misi saya dan om Zadrak selesai, kami bersiap diri untuk kembali ke Kupang. Ibu bidan membekali kami dengan gula merah khas Rote dan gula aer. Kami diantarkan teman pak pendeta ke bandara, pak pendeta ikut mengantarkan kami sampai duduk di kapal.




Rasanya belum puas karena hanya 2 malam dan belum berkunjung ke banyak tempat di Rote. Maka saya berjanji dalam hati bahwa suatu hari nanti akan kembali ke tempat ini. Meski singkat, saya sangat bersyukur untuk kesempatan ke pulau Rote kali ini. Ternyata memang benar juga referensi dari teman-teman otak Rote saya, Rote itu indah!

Sampai ketemu lagi, Rote!

Pantai Nemberala : wajib dikunjungi

Rote II : Pemandangan di Rote, Rumah Adat, Danau Tua, dan Jalan Raya



Ibu bidan meminjamkan sepeda motornya kepada saya dan om Zadrak untuk dikendarai ke Nemberala. Waktu  tempuh dari Oebatu ke Nemberala kira-kira 1 jam perjalanan. Sekitar pukul 3 sore saya dan om Zadrak memulai perjalanan dari Oebatu ke Nemberala. Om Zadrak lahir dan besar di Nemberala, sehingga sudah tidak asing dengan jalan-jalan menuju kesana. 

Pulau Rote adalah pulau sejuta lontar. Di kiri-kanan jalan dengan mudahnya pohon lontar ini ditemui. Saya menyukai pemandangan ini. Pohon lontar melambangkan identitas sesungguhnya dari masyarakat Rote. Sebagian orang Rote masih menjadikan pohon Lontar sebagai tanaman utama mereka, bukan jagung atau padi. Karena pada awalnya, makanan gula aer/ gula cair yang dihasilkan dari sadapan buah lontar inilah yang merupakan makanan utama masyarakat Rote, bukan padi maupun jagung.
Pohon Lontar yang berdiri anggun, ciri khas pulau Rote

Saya dan Om Zadrak singgah di rumah adat yang letaknya di pinggir jalan, sebelah kanan jalan jika perjalanan dari arah Ba’a. Dari kejauhan sudah terlihat seorang bapak yang sudah cukup tua (usia 60an), sedang duduk-duduk santai di depan rumah adat. Begitu lihat saya dan om Zadrak parkir motor, beliau spontan sumringah. Ramah sekali bapak ini, batin saya. Saya masuk ke kompleks rumah adat yang halamannya luas itu, dan berkenalan dengan bapak Salmun Tabun, bapak yang sedari tadi senyam-senyum ramah. Saya minta untuk berfoto dengannya, dan Pak Salmun spontan berdiri dan melingkarkan tangannya ke pundak saya. Saya kaget, kadang tidak suka terlalu dekat dengan orang yang baru kenal. Tapi pak Salmun berkata ramah ‘sonde apa-apa, bapak ini su tua’. Huah. Pas, saya juga suka opa-opa. Ehhh. Selesai berfoto, pak Salmun berkata bahwa tadi, ketika saya turun dari motor, bapak Salmun berpikir bahwa saya ini adalah anaknya yang baru datang untuk menemuinya. Menurutnya, wajah dan perawakan saya sangat mirip anak perempuannya yang sedang kuliah. Ahh, pantas bapak ini dari saya tiba tadi sumringah terus. Mungkin beliau rindu anaknya :) .

Bersama Pak Salmun yang ramah

Pak Salmun mengajak saya dan om Zadrak masuk ke dalam rumah adat peninggalan Ba’i Feumbura, raja Ti’i dulu. Ti’i adalah salah satu suku di Rote. Di dalam rumah adat, terdapat meriam peninggalan raja terdahulu, dengan hiasan ruangan berupa tanduk rusa, tempat sirih, sasando (alat musik unik khas Rote), ti’i langga (topi unik khas Rote), haik (tempat menampung nira pohon lontar), dan beberapa foto-foto. Setelah merasa cukup melihat-lihat, saya dan om Zadrak pamit pulang dengan oleh-oleh senyum sumringah ramah bin rendah hatinya pak Salmun.

Pak Salmun dan Om Zadrak. Om Zadrak memegang meriam peninggalan, kecil-kecil tapi berat.

Melanjutkan perjalanan beberapa menit lepas dari rumah adat, saya dan om Zadrak berhenti di Danau Tua, danau tentram yang dikelilingi pohon-pohon besar dan didiami kerbau-kerbau gendut. Letaknya juga di sebelah kanan jalan. Pemandangan disini cukup indah dan memberikan kesan damai di hati :). Selesai berfoto, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Salah satu sudut pemandangan Danau Tua

Pemandangan di kiri kanan jalan menuju Nemberala tidak membosankan. Banyak padang-padang tempat kawanan kuda, sapi, dan domba berkeliaran. Beberapa tempat yang berair tinggal kerbau-kerbau yang hitam dan gemuk. Babi tak kalah eksis,di sepanjang jalan mudah ditemui. Dan tentu saja di sepanjang jalan bertebaran jenis pohon yang akhir-akhir ini membuat saya jatuh hati : pohon lontar.

Karena maraknya hewan-hewan di sepanjang jalan, pengendara kendaraan khususnya motor perlu ekstra hati-hati. Mereka (para hewan) sering dengan santainya tanpa peringatan menyeberang jalan. Ini sangat berbahaya, apalagi jika mengendarai motor dalam kecepatan tinggi, bisa menyebabkan kecelakaan fatal. Ular juga ada yang menyeberang. Nah kalau ular kecil atau hewan kecil-kecil mungkin kurang berbahaya, tapi apa jadinya kalau kuda besar lari terobos jalan raya? Pokoknya hati-hati sajalah, selalu awas, dan jangan ngebut.

Mendekati desa Nemberala, jalanan mulai tidak mulus, namun tidak begitu parah. Karena sebelumnya saya dan om Zadrak pernah melewati medan-medan ekstrim dengan motor bebek di Kabupaten Kupang, maka  yang ini  terasa biasa saja.

Om Zadrak dan Keluarganya

Om Zadrak Mengge lahir dan besar di desa Nemberala, lalu menginjak SMA beliau merantau di Kupang, sekolah sambil bekerja entah itu pekerjaan buruh bangunan, berdagang, dan kerja di rumah orang. Prinsip beliau adalah kerja apa saja, yang penting halal. Uang dari kerja sampingan itu bisa untuk biaya hidup maupun kebutuhan sekolah beliau. Dan alhasil, beliau dapat memperoleh gelar sarjana dari Undana Kupang, dan beliau salah satu pelopor anak-anak di desa Nemberala yang bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi.

Ibu dan 2 orang saudara laki-kali dari Om Zadrak tinggal di Nemberala, sedangkan 2 orang saudara perempuannya dan om Zadrak sendiri memilih untuk menetap di Kupang. Ayah beliau sudah meninggal. Setibanya kami di Nemberala, kami menuju rumah dari Ibu om Zadrak. Kami disambut dengan hangat, terutama karena om Zadrak sudah sekitar 5 tahun tidak berkunjung ke rumah, maka beliau menyapa seluruh keluarga. Bahkan waktu masih di jalan pun beliau menyapa semua orang yang lewat. Dan karena om Zadrak membonceng seorang perempuan belia (hahaha), maka setiap bertemu kenalannya, om Zadrak menjelaskan bahwa saya adalah teman kerjanya, dan kami berdua ke Rote dalam rangka tugas kantor.

Rupanya suasana di keluarga om Zadrak dan kenalan-kenalannya cukup hangat. Bukan ramah yang basa-basi, tapi benar-benar keramahan yang akrab. Kami disuguhi teh Panas.

Tak lama setelah tiba di rumah orangtua om Zadrak, pertandingan JEIMBER cup pun dimulai. Saya tertarik menonton, bukan karena suka olah raga ini, tapi karena penasaran melihat aksi pak pendeta yang nyentrik itu berperan sebagai kiper. Lapangan bola letaknya tepat di depan rumah ibunya om Zadrak. Jadi kami bisa menonton pertandingan sambil duduk-duduk cantik di halaman rumah.