Rabu, 06 Agustus 2014

PAPA


Papa, dengan apakah kau asah instingmu?
Hingga ia begitu tajam membelah rahasia-rahasia yang tersembunyi dalam labirin membingungkan dari kehidupan anak perempuanmu.

Papa, dari manakah kau belajar tentang hal kebijaksanaan?
Kau yang tak banyak berkata-kata dan tak banyak aksi, tapi setiap kalimatmu seperti sabda, bahkan orang-orang tua menaruh hormat pada tindakanmu.

Papa, apakah semua hal dalam hidup ini dapat dipelajari dengan menggunakan perasaan?
Bahkan satu saja kalimatmu saat mengajariku mengendarai sepeda motor:
‘Bawa motor itu pakai perasaan, Nak.’

Papa, sepertinya kau tak pernah mengikuti training respon kedaruratan, bukan?
Tapi serangga besar berbahaya dalam telingaku berhasil kau pancing keluar dalam sekejap dengan olesan liurmu.

Papa, gigi Nenek atau Ba’i yang kau warisi?
Mereka begitu kokoh dan rapi, membuatmu tampan saat tersenyum.

Papa, dimanakah kau sembunyikan 50% darah Cina-mu?
Kau sama sekali tak tampak ber-etnis Tionghoa, kau begitu menyatu dan mencair dengan orang Timor, kau fasih berbahasa Dawan.

Papa, bagaimanakah masa remajamu?
Kau tak pernah menceritakan sedikitpun kisah kenakalan apalagi kisah romantismu yang lampau pada anak-anakmu.

Papa, apakah genoak yang kau kunyah ataukah ludahmu yang berkhasiat?
Karena setiap kali perut kembungku berangsur kempes setelah kau sembur dengan kunyahan genoak yang lembek dengan baunya yang khas.

Papa, sampai dimana level kegilaanmu?
Aku sering mendengar kau meracau sendiri, di malam hari kau berteriak memanggil–manggil nama anakmu yang bungsu seperti mengigau.

Papa, sadarkah engkau bahwa kau begitu dihormati?
Meski oleh orang-orang kecil saja, mereka-mereka yang sering kau bantu tanpa pamrih.

Papa, tingkahmu kadang membuat kami jengkel setengah mati, kau tahu kenapa?
Aku baru menyadarinya, sederhana saja, karena kau tak pandai berbicara apalagi menjelaskan sesuatu yang membuat kami mengerti maksud tindakanmu yang sebenarnya untuk kebaikan kami juga.

Papa, baru sekali saja kau pernah menamparku, kau ingat itu?
Bukan karena aku melakukan kenakalan brutal, tetapi hanya karena aku tak mau ke sekolah. Setelah kau tampar, kau seret aku untuk tetap bersekolah dengan pipi merah bekas telapak tanganmu yang besar dan kasar.

Lalu Papa, apakah kau ingat perang dingin kita yang terakhir?
Itu karena engkau marah padaku yang mulai kehilangan semangat melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Sebegitu fanatiknya engkau pada pendidikan anakmu, Papa!

Papa, sedikitkah keperluanmu?
Hingga kalau ada uangmu Rp.500.000 atau bahkan Rp.100.000 saja kau simpan-simpan, menunggu aku liburan ke rumah lalu kau berikan padaku, siapa tahu aku bisa mengganti handphone ku dengan yang baru atau sekedar bisa membeli makanan enak.

Papa, mengapa engkau begitu pencemburu?
Belum ada teman laki-laki ku yang pernah main ke rumah yang kau puji. Semuanya kau jelek-jelekkan. Lagian, mereka cuma teman, Papa!

Papa, mengapa dulu aku selalu menganggapmu absurd dan egois?
Sekarang sedikit demi sedikit mulai kupahami dirimu, papaku yang heroik. Bukankah kau mewariskan sebagian kecenderunganmu padaku?

Papa, yuk jalan-jalan lagi?
Berdua kita usik karyawan di area kemeja dan celana kain hingga kewalahan mencari-cari ukuran yang tepat untuk badanmu yang semakin tahun semakin meningkat.

Papa, katakan apa yang bisa membuatmu bahagia?


Satu lagi Papa, seperti apa kiranya laki-laki yang cocok untuk anak keduamu ini?
  
Malam di Kampung Maleset, Soe (DBAM), 29 Juli 2014

 Jefta Frans (Papa) saat menghadiri acara keluarga di Bena, TTS, awal 2014