Saya merasa bangga karena bisa menikmati 2 buah buku karya sastrawan NTT Opa Gerson Poyk. Buku kumpulan cerpen 'Jerat' penerbit Nusa Indah, Ende, 1978, dan novel 'Enu Molas di Lembah Lingko' penerbit Trimedia, Depok, 2005.
Kumpulan cerpen Jerat yang saya baca adalah milik Taman Baca Bintang Terang, Kapan, TTS, yang saya pinjam dari Ka Dicky. Sedangkan novel Enu Molas di Lembah Lingko saya beli melalui ibu Fanny Poyk, anak pertama dari Opa Gerson Poyk yang singgah ke Kupang beberapa waktu yang lalu. Beruntung saya bertemu Ibu Fanny yang saat itu membawa beberapa novel Enu Molas yang salah satunya saat ini menjadi milik saya.
Novel Enu Molas di Lembah Lingko diterbitkan Opa Gerson Poyk pada usianya yang ke 74 tahun. Menurut Ibu Fanny Poyk, novel tersebut digarap sendiri oleh Opa Gerson, sampai pemasangan covernya juga dilakukan sendiri oleh Opa. Isi cerita novel ini kental dengan budaya NTT. Bukan saja budaya Manggarai seperti yang tercermin dalam judul novel, namun juga berbagai budaya NTT karena Opa Gerson menciptakan tokoh-tokoh novel dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda dan diceritakan secara detail. Mungkin karena latar belakang pendidikan serta pekerjaan Opa Gerson yang sering berpindah-pindah tempat itulah yang menjadikan novel ini kaya dengan sentuhan budaya.
Selesai membaca novel Enu Molas, muncul rasa benci pada tokoh utama laki-laki, Profesor Paul Putak yang sangat cerdas dan brilian namun ternyata lemah terhadap wanita :D. Jengkel sekali rasanya dengan orang (tokoh khayalan) itu. Belum lagi karena Enu Molas, perempuan luar biasa itu pada akhirnya meninggal dunia, meninggalkan Profesor Paul Putak dan gadisnya yang lain. Huh.
Lain cerita dengan Jerat, saya langsung jatuh cinta pada buku ini saat saya mulai membaca halaman pertamanya. Jerat
begitu mudah dinikmati karena cerita-ceritanya yang sederhana namun
terselip makna dan pelajaran kehidupan yang dalam. Seperti terjerat dalam
cerita-cerita pendek yang sangat menarik dengan ending yang sering
mengagetkan sampai tidak terasa sudah di halaman terakhir disamping
harus mengembalikan buku ini kepada yang empunya. hehe
Di beberapa lembar Jerat terdapat gambar-gambar ilustrasi cerita yang membuat saya semakin menikmati buku kecil ini. Setelah selesai membaca kumpulan cerpen dan novel Opa Gerson, meskipun baru dua buku itu yang saya baca dari karya-karya beliau yang jumlahnya tidak sedikit, tapi saya memiliki kesan bahwa Opa Gerson rupanya cenderung menciptakan ending cerita yang membuat pembaca kaget bin heran, alhasil menjadi ketagihan :)
Kamis, 17 Juli 2014
Juri Lomba Masak Serba Ikan Tingkat Provinsi NTT
‘Bahkan ikan lele
dapat diolah menjadi es cendol.’ Terkejut?
Satu Lagi Profesi ‘Aneh’ Saya Lakoni
Tahun 2014 ini semakin menyatakan
dirinya sebagai tahun penuh kejutan saat saya kembali melakoni sebuah profesi
mengejutkan sebagai seorang ‘Juri Lomba Masak Serba Ikan Tingkat Provinsi Nusa Tenggara
Timur Ke-4 Tahun 2014’. Tak habis-habisnya saya berpikir tentang berondongan
profesi anyar ini sambil mengucap syukur kepada Sang Pemberi Kesempatan.
Suatu siang yang mengejutkan di
bulan Mei 2014, Tanta Mey (adik bungsu dari mama saya) yang bekerja di Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Nusa Tenggara Timur menelepon saya.
Beliau menanyakan apakah saya bersedia untuk menjadi juri lomba masak serba
ikan yang akan diadakan pada bulan Juni oleh DKP. Tanta Mey bilang mereka
membutuhkan seorang juri khusus untuk menilai makanan olahan ikan dari aspek
gizi. Terkaget-kaget bahagia, saya pun langsung mengiyakan tawaran tersebut.
Mendengar satu kata keramat itu,
‘gizi’, seperti menghidupkan impuls-impuls saraf saya. Satu kata itu mampu
memantik gairah lalu menyedot perhatian saya. Cukup lama saya bertanya pada diri
saya tentang apa yang menjadi passion dalam hidup saya ini. Sampai suatu waktu
dimana perasaan, lingkungan sekitar saya, dan ilmu pengetahuan bersatu untuk
meyakinkan saya bahwa gizi lah passion saya.
Kembali pada juri lomba. Surat
undangan pertemuan juri dan panitia lomba masak serba ikan itu datang bersama
penegasan formal bahwa saya diminta menjadi juri dan juga diminta memberi
konfirmasi kesediaan via e-mail kepada panitia lomba.
Saat pertemuan pertama panitia
dan juri untuk membahas konsep acara, saya merasa sedikit canggung. Ternyata
tim juri terdiri dari 5 orang, yakni 2 orang Professional Chef : Pak Serdy dan
Pak Sukana (Executive Chef dari Hotel Sasando dan Hotel On The Rock Kupang), 1
orang akademisi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang bidang pengolahan ikan : Ibu Welma,
1 orang dari Badan Litbang Pusat Ibu Riris, dan 1 orang yang terakhir saya
sendiri, seorang (yang sedang belajar menjadi) ahli gizi. Wow, saya merasa terhormat dan sedikit gugup untuk
bersanding bersama orang-orang hebat ini dalam tim juri. Namun ternyata
penilaian masing-masing juri berbeda-beda sesuai bidangnya, sehingga saya tidak
merasa rendah diri karena saya manilai apa yang saya kenal : nilai gizi.
Ikan Berkumis : Bahan Dasar Menu
Keluarga
Menu keluarga, menu balita, dan
menu kudapan adalah tiga jenis menu yang dilombakan. Untuk menu keluarga,
proses pengolahan dilakukan di tempat acara dalam waktu 1 jam atau live perform
(mirip di acara Master Chef itu loh :D). Dalam kurun waktu 1 jam itu, peserta
bebas menghasilkan menu keluarga apa saja berbahan dasar ikan lele dan boleh
lebih dari satu jenis menu. Sedangkan menu balita dan menu kudapan dipersiapkan
dari tempat masing-masing. Yang membuat saya begitu terpukul (haha) adalah,
bahan dasar dari menu keluarga adalah IKAN LELE kawan!
Well, sudah beberapa tahun ini
saya menolak untuk mengkonsumsi ikan lele. Alasannya mungkin banyak orang sudah
paham : tentang habitat ikan kucing (terjemahan lurus dari ‘catfish’) dan
tentang makanannya sehari-hari. Ikan lele termasuk ikan yang bertahan dalam
berbagai kondisi hidup yang kejam ini. Dia dapat hidup di perairan tawar yang
sangat keruh sekalipun dan dia bisa makan apa saja. Faktanya, dia bisa
mengkonsumsi kotoran/hajat/feses! Wow. Namun kali ini sudah terlambat, saya
sudah mengiyakan untuk menjadi juri lomba, maka saya pun mau tidak mau kali ini
harus makan lele dengan asumsi pribadi bahwa ikan lele yang dipersiapkan DKP
sebagai bahan dasar menu keluarga adalah ikan-ikan yang dibesarkan secara
terhormat. Amin.
Sedikit lega karena kedua menu lainnya,
menu balita dan menu kudapan tidak harus berbahan dasar lele, tapi hasil laut
dan perairan apa saja. Bisa rumput laut, cumi, kakap, dan lain sebagainya.
Huft. Sebenarnya bahan dasar yang ditentukan dari pusat adalah dari ikan Patin.
Tapi woi! Ikan patin di NTT mau diambil dari mana woi! Jadilah setelah
berdiskusi, untuk NTT ikan yang digunakan untuk menu keluarga adalah ikan yang
masih berkerabat dekat dengan patin, yakni lele.
Hari H : Lomba Masak, Bergelimang
Makanan, Saya Suka!
Pada hari yang ditentukan, Jumat,
20 Juni 2014 mulai jam 8 pagi ibu-ibu PKK sudah sibuk membopong perkakas,
properti, bumbu masak, dan makanan yang sudah jadi untuk di-display. Acara
lomba masak ini diselenggarakan di Waterpark Kupang. Karena ini merupakan lomba
tingkat provinsi NTT, maka para peserta datang dari perwakilan kabupaten/kota
di NTT, meskipun tidak semuanya bisa hadir. Dari total 22 kabupaten/kota di
NTT, yang hadir mengikuti lomba 13 kabupaten/kota. Sebelum mereka berangkat ke
perlombaan provinsi, sebelumnya mereka juga telah berlomba tahap awal di
kabupaten masing-masing, sehingga yang dikirim ke perlombaan provinsi adalah
pemenang lomba tingkat kabupaten. Nantinya, yang akan dikirim untuk berlomba ke
tingkat nasional adalah yang menjadi pemenang di tingkat provinsi.
Menu-menu yang disajikan membuat
saya takjub. Memang dari segi penampilan tidak begitu menggemparkan, tapi dari
sisi inovasi dan rasa banyak yang keren! Puding ikan pelangi, es cendol ikan
lele, sushi, pai ikan, roti sosis ikan raja, muffin lele, catsmokefish cassava,
dan lainnya sampai membuat saya melayang bahagia dikelilingi berbagai jenis
makanan! Sayang tak sempat bagi saya untuk memotret satupun makanan, karena pekerjaan
menilai satu persatu membutuhkan segenap konsentrasi tanpa bisa multitasking. Maklum,
masih amatir :).
Aspek gizi yang saya teliti
adalah persen penggunaan ikan atau hasil laut dalam menu, jenis-jenis bahan
makanan lokal yang ditambah dalam menu, jenis pengolahan makanan, kesesuaian
menu dengan tujuan, dan penambahan bahan tambahan makanan. Jadi, sebenarnya
cita rasa tidak menjadi bagian penilaian saya, tapi, sebagai juri, saya juga
tidak mau ketinggalan hebohnya dan mewahnya mencicipi makanan-makanan terbaik
sebelum para pejabat mencicipi makanan tersebut. Hahaha. Jadi sambil menilai
saya juga ikut makan-makan bahagia. Satu ‘keistimewaan’ saya adalah saya senang
mencicipi dan menikmati masakan orang lain karena saya tidak begitu menikmati
masakan yang saya masak sendiri.
Aspek-aspek yang dinilai oleh
juri lainnya adalah unsur kreatifitas atau inovasi, penyajian, cita rasa,
higienitas atau keamanan makanan, dan keterampilan memasak. Waktu menilai yang
relatif singkat dibandingkan jumlah menu seabrek-abrek, ada yang untuk satu
jenis kategori menu bisa mencapai 3 jenis hidangan berbeda. Kalau satu meja ada
lebih dari 5 jenis masakan, maka 13 meja bisa dikalikan sendiri. Para juri
lainnya sudah sangat berpengalaman dalam bidang ini. Mereka terlihat begitu
santai dan profesional, saya suka bekerja bersama mereka!
Pada akhirnya dilakukan
rekapitulasi nilai dan penentuan juara 1 sampai juara 6. Pemenang lomba masak
serba ikan tingkat provinsi NTT adalah kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)!
Wah bahagia saya semakin berlipat ganda. TTS adalah kabupaten kelahiran saya, namun
tentu saja saya menilai dengan sangat objektif. Hehe. Para chef juga mengakui
bahwa meja 3 (kabupaten TTS) memang lebih baik dari yang lainnya.
Juri lomba masak tingkat provinsi
terkesan suatu profesi yang keren sekali. Saya benar-benar sangat beruntung
bisa menjadi bagian dalam tim juri tersebut.
Tahun 2014 masih punya 5 bulan
lagi. Entah kejutan apa lagi yang sudah menunggu di depan sana.
Salam Kejut Ikan Lele,
NF.
Kupang, 17 Juli 2014
Tim Juri Lomba Masak Serba Ikan Tingkat Provinsi NTT Ke 4 Tahun 2014. Ibu Riris dari Litbang Pusat tidak ikut berfoto.
Kiri ke kanan : Pak Sukana (Executive Chef Hotel On The Rock), Ibu Welma (Akademisi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang Bagian Pengolahan Pangan Ikan), Saya, dan Pak Serdi (Executive Chef Hotel Sasando)
Name Tag Juri :)
Selasa, 01 Juli 2014
REFLEKSI SI DOSEN AMATIR
Bulan April 2014 merupakan waktu
pertama kalinya untuk saya melakoni profesi sebagai seorang dosen. Karena ini adalah
kali pertama saya mengajar di perguruan tinggi, dan karena profesi dosen masih
anyar buat saya, maka saya pun menyebut diri saya sendiri ‘Si Dosen Amatir’.
Selama hampir 3 bulan lamanya profesi ini saya jalani, dan memang hanya 3 bulan
juga saya dijadwalkan mengajar sesuai dengan kontrak perkuliahan untuk mata
kuliah ‘Gizi pada Ibu dan Anak’.
Masih terheran-heran rasanya, kok
bisa-bisanya saya menjadi dosen? Ya bisa lah, malah kontraknya sudah selesai
saya jalani dengan selamat. Hahaha. Nah karena masih segar dalam ingatan
bagaimana saya menjadi dosen, maka saat ini, saya, si dosen amatir, hendak melakukan
refleksi kecil-kecilan.
Jadi dosen itu bukan main-main : perlu
banyak belajar dan persiapan
Mau tidak mau, sebelum mengajar
ya harus belajar dulu sebanyak-banyaknya. Belajar bukan hanya sebatas teori
saja. Teori maupun praktek sama-sama pentingnya. Misalnya saja ketika saya
mengajarkan tentang defisiensi yodium, materi ini baru akan menjadi hidup bila
disertai dengan pengalaman nyata pernah berhadapan dengan masyarakat dimana prevalensi
gondoknya tinggi. Jadi, menurut saya, menjadi dosen dengan embel-embel gelar
pendidikan tinggi itu baik, bahkan keren dan berkelas, namun alangkah lebih
baik jika diimbangi dengan pegalaman yang matang. Alangkah lebih baik jika pengajar
tidak saja mengajarkan teori dan penelitian terbaru, melainkan berbagi
pengalaman nyata.
Disini saya bersyukur, saya
memiliki bekal pengalaman dari beberapa kegiatan-kegiatan di waktu yang lalu
mengenai gizi masyarakat . Pengalaman-pengalaman tersebut sangat menolong saya
ketika saya berusaha menjelaskan teori kepada para mahasiswa. Pengalaman tersebut
juga membantu saya menjelaskan apa-apa saja hal-hal yang perlu dipahami oleh
mahasiswa, sekalipun hal-hal tersebut tidak dituliskan di silabus mata kuliah.
Karena saya belum lama terjun di dunia kerja, maka pengalaman saya tidak begitu
banyak. Mungkin di waktu kedepan, jika akan menjadi seorang pengajar (lagi),
maka saya dapat menjadi pengajar yang lebih matang dari sisi pengalaman nyata
di masyarakat.
Dari segi teori, saya rasa materi
yang saya persiapkan sudah cukup lengkap dengan mengutip dari sumber-sumber
terpercaya. Proses persiapan materi seperti sebuah tantangan bagi saya untuk
memberikan yang terbaik. Namun tetap saja saya merasa kurang maksimal dalam
mempersiapkan teori. Sesungguhnya jika saya menyediakan waktu yang lebih
panjang dalam proses persiapan materi-belajar kembali-membaca-mencari-update
info terbaru-desain slide, mungkin materi yang saya sampaikan akan lebih berisi
dan lebih mudah dipahami. Saya akui, slide saya (selain yang berisi gambar)
memang agak membosankan dengan tampilan standar : huruf calibri (ogah
ganti-ganti karena makan waktu), dan background solid colour (biar bisa dipakai
untuk semua halaman slide). hehe
Jadi dosen itu harus lihai, telaten
dan sabar
Namanya juga manusia, kapasitas
masing-masing individu tentu berbeda-beda. Demikian juga para mahasiswa. Pakaian
seragam yang digunakan hanya menyeragamkan tampilan saja, tapi tidak dengan
intelejensi, daya serap, kecepatan memahami materi, perhatian, konsentrasi,
karakter, dan lain sebagainya. Seorang dosen perlu pandai-pandai membaca
situasi kelas dan secara lihai melakukan transformasi teknik mengajar. Contohnya
ketika sedang mengajar, mahasiswa terlalu ribut atau bahkan terlalu tenang,
maka perlu secara cepat menganalisa penyebab situasi semacam ini. Terkadang hal-hal
yang tidak diinginkan terjadi, contohnya LCD yang tidak dapat digunakan, secara
kreatif berpikir bagaimana mengatasi hambatan seperti itu.
Menjelaskan sesuatu kepada
mahasiswa butuh ketelatenan dan kesabaran. Biasanya mahasiswa yang duduk di
barisan depan adalah orang-orang yang cukup baik dalam memahami kuliah. Lain halnya
dengan mahasiswa yang memilih duduk di pojokan yang tidak dapat terjangkau
sudut mata dosen. Kadang perlu waktu ekstra untuk menjelaskan sesuatu kepada
mahasiswa yang kurang mampu memahami secara cepat. Nah menghadapi kenyataan ini,
saya membuka kelas khusus untuk mahasiswa yang minta diajari lebih detail
secara gratis dan terbuka. Sedia snack pula. Lokasinya bisa nego lho. Kurang mulia
apa coba? Hehe. Untuk poin ini saya merasa saya sudah cukup bersabar dan
telaten. Semoga saya disayangi Tuhan. Amin.
Jadi dosen bisa mabuk saat koreksi
tugas dan hasil ujian
Berbekal idealisme saya untuk
membuat soal ujian dengan jenis jawaban singkat dan uraian (yang lumayan
banyak, ada hitung-hitungannya pula), maka saya mendapat hadiah tumpukan kertas
hasil ujian yang cukup membuat saya merasa mabuk dan mual saat mengoreksi. Well,
sebenarnya saya tidak pernah merasa seperti apa mabuk alkohol itu, tapi mabuk
laut dan mabuk darat pernah. Jadi kira-kira seperti itulah rasanya memeriksa
jawaban ujian 120an mahasiswa ditambah lagi dengan tugas yang juga banyak. Jadi
jika untuk mahasiswa di akhir soal ujian biasanya dituliskan “Selamat
mengerjakan, semoga sukses”, punya dosen kira-kira “selamat mengoreksi, jangan
lupa minum antimo”
Jadi dosen (di bidang kesehatan)
wajib berpakaian rapi
Hal ini jujur saja berat buat
saya. Saya mencintai kebebasan berpakaian. Menggunakan busana formal menurut
saya tidak bebas. Saya yang biasanya sehari-hari bekerja dengan kaos-jeans-sepatu/sendal,
kali ini mau tidak mau harus berpakaian rapi. Beruntung saya masih memiliki
modal celana kain 1 lembar. Satu-satunya celana kain saya ini yang
menghantarkan saya mulai awal mengajar sampai akhir, tanpa pengganti celana
atau rok lainnya. haha. Dan saya terpaksa membeli sebuah sepatu wedges, yang
tidak begitu saya sukai, untuk menunjang penampilan dan menghindarkan saya dari
menggunakan celana kain dan sepatu sneacker. Yuk, mari.
Jadi dosen (kontrak) keuangannya
kurang terjamin
Nasib keuangan seorang dosen
kontrak tidak menentu. Dosen kontrak yang malang kurang diperhatikan
kesejahteraannya. Jangan berharap dibayar setiap bulan layaknya dosen tetap. Dosen
kontrak atau dosen luar biasa memang dituntut untuk luar biasa bersabar karena
upah mengajar diberikan satu kali di akhir semester. Sampai saat ini saya belum
dibayar, harus menunggu beberapa bulan sampai selesai semester barulah (menurut
mereka) honor saya diberikan. Maka jangan berharap untuk hidup sebagai seorang
dosen (kontrak) semata, sangat disarankan memiliki pekerjaan lain (yang cukup
fleksibel) untuk menunjang kehidupan.
Demikianlah sedikit refleksi saya
yang sedikit mengarah ke curhat sebagai seorang dosen amatir. Saya tak lupa
minta teman-teman mahasiswa untuk memberikan evaluasi berupa kesan dan pesan
terhadap perkuliahan gizi melalui tulisan singkat di kertas-kertas mungil. Dan kira-kira
begini tulisan mereka:
‘Materi lengkap’
‘Ibu kurang tegas’. Banyak sekali
yang bilang saya perlu lebih tegas terutama bagi yang datang terlambat.
‘Ibu cantik’. Kyaaa. Kirim cium
jauh. Haha
‘Ibu terlalu baik’. Ini konotasi
negatif, menurut mereka saya kurang gahar. Semoga pengurus program studi juga
baik pada saya :’)
‘Tepat waktu’. Senangnya bisa
tepat waktu mengajar, walau kadang-kadang harus lari-lari cantik supaya tidak
terlambat masuk kelas.
Mahasiswa yang cenderung masuk
tidak tepat waktu : “Pertahankan kebaikan ibu”. Mahasiswa yang datang tepat
waktu “Ibu harus lebih tegas, beri hukuman pada yang terlambat”. Iki piyeeee?
‘Perlu ada kuis di setiap akhir
perkuliahan’. Boleh juga usul ini.
‘Cara mengajar ibu menarik’, ‘santai’,
‘tidak membedakan mahasiswa’, ‘ceria’, ‘mudah dimengerti’. Okedehhhh.
‘Ibu perlu berjalan ke belakang
kelas’. Iyasih, kurang keliling-keliling kelas.
‘Ibu terlalu banyak bergerak’. Waduh,
terlalu bersemangat apa ya? Hahaha
‘Buat kami, ibu yang terbaik’. Dudududu,
ini gombal atau apa? Yang penting materinya kesampaian ya, saya sayang kalian
semua, mahasiswa-mahasiswa perdana ku!
Penutup refleksi : Pertanyaan
untuk diri sendiri.
Kalau satu saat kemudian ada
kesempatan atau tawaran untuk kembali menjadi dosen, diterima atau tidak?
Meski penuh tantangan, menguras
pikiran, perasaan, waktu, bahkan dana, dan harus berpakaian ala wanita dewasa yang
serius, tapi ada kepuasan saat mentransfer pengetahuan dan pengalaman serta
kecintaan terhadap dunia gizi kepada mahasiswa. Jadi jawaban saya, mungkin akan
diterima. :)
Kupang, 1 Juli 2014
Atas permintaan mahasiswa, kami foto bersama di akhir masa perkuliahan.
Saya di tengah, diselamatkan oleh sepatu 7 cm.
Langganan:
Postingan (Atom)