Surga adalah ketika hati kehilangan segala obsesinya.
Saya yakin setiap orang memiliki
definisi pribadi tentang surga. Bagi saya, kata ‘surga’ sulit diganti dengan
kata lainnya. Sebenarnya, kata ini hendak saya setarakan dengan ‘kebahagiaan tertinggi’.
Namun setelah saya pikirkan kembali, surga yang saya beri arti bukanlah tentang
kebahagiaan tertinggi. Maka dari itu, saya tidak bisa menjelaskan banyak,
karena sekali lagi, saya yakin setiap orang punya definisinya masing-masing.
Sepanjang sejarah hidup manusia,
berbagai gambaran tentang surga dikemukakan. Ajaran agama berkontribusi besar
dalam penggambaran antonim dari neraka ini. Yang saya tangkap dari penggambaran
tentang surga yang diajarkan agama yang saya anut adalah sesuatu yang baik, mulia,
tinggi, dan abadi. Penggambaran surga adalah tentang sesuatu yang ‘di atas’,
bertolak belakang dari neraka yang ‘di bawah’. Saya tidak hendak membahas
apalagi berdebat mengenai eksistensi kedua perwujudan tersebut. Itu masalah
keyakinan (dan imajinasi) yang juga pribadi sifatnya. Yang jelas bahwa konsep
surga atau nirwana atau paradise atau
heaven atau apapun penyebutannya, merupakan
sesuatu yang kurang lebih menyenangkan.
Tanpa berdebat mengenai surga,
saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepada siapa saja: bagi Anda, seperti
apa surga itu?
Selama 23 tahun hidup saya, saya
selalu berhasil menemukan surga-surga kecil saya; saat berada di antara
makanan-makanan lezat, saat kembali ke kamar kost setelah seharian beraktivitas
dan bersosialisasi, saat menikmati keindahan alam, atau saat menggendong
bayi-bayi pasrah. Surga bagi saya adalah suatu ‘kondisi tertentu’. Namun demikian,
pengalaman-pengalaman surgawi itu tidak pernah berhasil membuat saya melahirkan
suatu definisi tentang surga sedemikian akurat sampai saya mengalami suatu
kejadian. Kejadian yang membuat saya mampu membahasakan ‘kondisi tertentu’ itu.
Saat itu, di dalam pelukan
kekasih saya, saya merasa hati dan fisik saya bersekongkol untuk menjadi tidak
manusiawi lagi. Hati ini tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, karena dalam
rentang waktu tertentu, ia merasa ‘tergenapi’. Semua keinginan dan obsesinya
kandas, yang ada hanyalah damai, penuh, pas, ideal, tidak lebih dan tidak
kurang, tidak ingin apa-apa lagi. Sejak saat itulah, di usia 23 tahun, saya
mendefinisikan surga. Tentu saja ini berlaku bagi saya pribadi. Bagi saya,
SURGA adalah ketika hati kehilangan segala obsesinya.
Kehidupan manusia di dunia ini terikat
oleh waktu. Merasakan surga saat masih hidup di dunia seperti merasa terbebas
dari aturan waktu, meskipun sensasi itu tetap berdurasi. Surga ternyata bisa eksis
di dunia dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Jika benar ada surga seperti
yang digambarkan atau dicitrakan banyak orang, suatu dunia terpisah tempat
semua kebaikan bermuara, menurut saya surga seperti itu tidak akan jauh berbeda
dengan kondisi surga yang saya gambarkan diatas. Yang membedakannya mungkin
disana tidak ada batasan waktu. Kebaikan yang abadi. Entahlah, saya hanya bisa
mengira-ngira. Yang jelas, bagi saya, menikmati kepingan surga selagi berziarah
di dunia adalah sebuah berkah yang perlu disyukuri.
Dua puluh tiga tahun, saya
belajar sangat banyak. Dua puluh tiga tahun, merupakan sejarah besar dalam
hidup saya, ketika saya mampu mendefinisikan Surga.
Kost Ijo Ade Irma II Walikota - Kupang, 7 Maret 2015