Jumat, 28 Maret 2014

Soe, 1994-2014



Sekitar tahun 1994 – Memori pertama
Memori pertama saya dimulai saat saya berusia kurang lebih 3 tahunan mendekati 4 tahun. Momen saat saya belajar menuliskan huruf E. Menurut saya (waktu itu), huruf E ditulis dengan menarik garis lurus vertikal, kemudian menarik garis horisontal sebanyak-banyaknya sampai memenuhi garis vertikal tersebut. Seperti ini:

Saya belum menyadari keberadaan tempat dimana saya berada.

Sekitar tahun 1995 – Rumah baru
Saya berusia 4 tahun ketika saya mulai menyadari kami punya rumah baru yang masih belum rampung tapi sudah bisa ditempati.

Pertengahan 1995 – Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita
Kelas pertama saya dimulai di TK Dharma Wanita. Sepertinya saya terlambat didaftarkan. Semua teman-teman memakai baju seragam, saya memakai baju broit misis kembang warna pink. Mama memantau di luar kelas, saya gelisah mencari-cari mama di sekeliling orang asing.

Pertengahan 1996 – Lora dan Erni
Saya masuk sekolah dasar GMIT  Soe 1, tempat yang asing lagi buat saya. Kelas penuh sesak, 1 meja dan 1 bangku untuk 3 siswa. Saya punya 2 teman duduk, saya di tengah, Lora dan Erni di kiri dan kanan saya.

1996-1997 – Min
Min adalah kesayangan saya. Pagi-pagi papa mengantar saya ke sekolah, pulangnya Min menjemput. Saya senang pulang dengan Min, dia baik hati. Mama hanya menitipkan Rp.150 untuk uang bemo kami berdua, tapi  Min kadang merelakan Rp.50 atau Rp.100 miliknya untuk membelikan saya kue tameang dan kue segi tiga di Toko Sinar Put’ain. Kami berdua turun bemo di Tugu Adipura lalu jalan kaki sampai rumah sambil saya berceloteh tentang kejadian di sekolah.

1997 – Kupang - Muntah
Kupang itu dimana? Saya terus menerus bertanya kepada mama padahal kami sudah di Kupang sejak tadi. Menurut saya Kupang itu hanya 1 tempat dan 1 lokasi saja. Sehingga ketika kami berpindah tempat dan masih saja berada di Kupang, saya bingung dan terus protes pada mama dalam berbagai pertanyaan. Masih kecil dulu kalau ke kupang pasti muntah. Mama selalu sabar menangani kami dan mempersiapkan loyor beserta plastik-plastik kecil sebelum ke Kupang.

1997-2002 – Saudara Perempuan
Saya punya kakak perempuan yang senang memicu pertengkaran. Setiap mama pulang kantor mama dapat laporan-laporan tentang kakak yang begini, atau adik yang begitu. Kami jarang akur, lebih sering berteriak dan menghina satu sama lain. Riuh dan gaduh sekali suasana waktu itu. Kasihan mama yang selalu menjadi ‘hakim’ atau pelerai kami.

1997-1998-Saya tak ingat jelas – Ulat Gala-gala, Min, dan Berta.
Min dan Berta teman bermain saya sehari-hari. Mereka cerita tentang banyak hal kepada saya, saya juga sebaliknya. Di sebelah rumah kami sangat banyak pohon gala-gala dan pohon petes (lamtoro). Ternyata, di dalam pohon gala-gala yang sudah lumayan besar batangnya, berdiam ulat besar yang kami sebut dengan ulat gala-gala. Dia sangat gendut, panjangnya seperti jari kelingking orang dewasa, berwarna pink, dan jalannya lambat. Saya tertarik pada ulat ini. Min dan Berta saya paksa untuk memburu ulat gala-gala setiap sore. Saya ingat ekspresi geli mereka saat mereka memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang batang pohon gala-gala dan mendapati liuk ulat didalam batang.

1998 – Suka
Sejak kapan kamu mulai tertarik pada lawan jenis? Kalau saya sejak umur 7 tahun, kelas 2 SD.

1998 – Papa yang heroik
Suatu malam saat semua sudah tidur, saya bangun karena rasa sakit yang luar biasa di bagian dalam telinga saya. Saya berteriak sejadi-jadinya. Mama bangun dan kebingungan. Papa juga bangun dengan tergesa-gesa, bertanya kepada saya apa yang terjadi, dan melakukan sesuatu yang heroik : mengoleskan air ludahnya sendiri ke sekeliling telinga saya. 1 menit kemudian, saya merasa ada yang merayap keluar dari dalam telinga saya. Serangga berbahaya sepanjang 1,5 cm. Mungkin dia keluar karena mencium  bau air ludah papa di luar telinga. Saya selamat. Sejak saat itu, papa menjadi sosok pahlawan yang keren buat saya.

1999 – Auricularia auricula
Atau jamur kuping. Jamur kuping kami temukan di belakang rumah. Kami panen dan saya penasaran seperti apa rasanya. Setelah ditumis dengan bawang putih, lada, dan garam, ternyata lezat rasanya.

1999-2002 – Nancy
Selain Min dan Berta, saya punya teman akrab bernama Nancy. Dia lincah dan kuat. Dia mandiri dan sering menginap berhari-hari bahkan berminggu-minggu di rumah kami. Kami tumbuh bersama, bermain masak-masakan dan lompat tali. Bersama kami menelusuri padang kecil di kiri rumah dan mencari tanah liat di kanan rumah.

1999 – Gerak jalan
Kaki-kaki kecil kami kuat berjalan. Menempuh berkilo-kilo meter dalam lomba gerak jalan menjelang peringatan kemerdekaan RI. Saya termasuk yang berpostur paling kecil tapi beberapa kali dipercayakan memimpin gerak jalan. Kiri! Kiri! Kiri, kanan, kiri!

2001 – Adik Laki-laki
Saya mengira saya anak bungsu hingga saya berusia hampir 10 tahun dan saya punya adik laki-laki! Adik saya sangat lucu dan montok. Saya bahagia punya adik bayi karena dulu sering bermain dengan bantal dan loyor berpura-pura punya adik bayi. Favorit saya adalah adik bayi ketika baru bangun tidur, terlihat pasrah dan mengantuk, sangat menggemaskan.

2002 – Putih Biru
6 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk membuat putih merah menjadi sangat nyaman dan putih biru terasa canggung. SLTP Negeri 1 Soe, tempat yang asing lagi, dengan orang-orang yang lebih beragam.

2002-2005 – Jajanan
Mie tiga, tameang satu! Saya berteriak memesan snack di Ibu Jemi. Istirahat di sekolah hanya 15 menit, sedangkan kantin penuh sesak dengan siswa kelaparan yang berlomba-lomba mengisi perut. Ibu Jemi menjadi tujuan saya karena makanannya bersih dan enak. Beliau hanya menjual bungkusan kecil bihun (mie) dan kue tameang (weci). Masing-masing seharga Rp.250. Jadi dengan seribu rupiah, perut kecil kami puas dengan Mie 3 Tameang 1, plus sambal gorengnya yang berminyak.
Satu lagi yang merogoh kocek diatas seribu rupiah, yaitu bakso SMP 1. Mungkin dia punya nama sendiri, tapi kami menyebutnya begitu.

2002-2005 – Kuat Jalan Kaki
Anak-anak Soe waktu dulu rupanya kuat berjalan kaki. Ketika saya ingat perjalanan saya dulu, jalan kaki pergi-pulang sekolah berturut-turut dalam sehari karena ada les tambahan, jalan kaki ke pasar, jalan kaki ke bank, rasanya lumayan jauh juga, tapi saya tidak pernah mengeluh. Ini mungkin yang menjadi dasar saya kuat berjalan kaki, hingga selesai kuliah pun sehari-hari jalan kaki.

2005 – Kaki Ramping
Pertama kalinya hidup berpisah dengan orang tua. Saya melanjutkan SMA di pulau Jawa, di kota Malang. Saya senang memperhatikan orang dari bentuk kaki dan betisnya. Di sini betis-betis mereka gemuk-gemuk. Saya ingat kaki-betis kami di Soe, kaki kami kurus dan ramping. Apakah betis besar itu dapat kuat berjalan seperti betis-betis kami?

2010an – Nilai, sapi, dan anak perempuan
Ada kalimat yang saya dengar dari seorang teman : ‘Di Soe, lebih baik (atau gampang?) piara sapi dari pada piara anak perempuan.’ Lucu sekali kedengarannya. Kalimat ini saya kaitkan dengan pergaulan anak yang semakin tidak mudah dikontrol oleh orang tua. Mungkin saja minimnya kegiatan-kegiatan positif menjadikan sebagian anak remaja melampiaskan energinya pada hal-hal yang mungkin nilainya negatif. Sedangkan piara sapi tentu saja bisa lebih mudah. Sapi sepertinya tidak mengemban nilai-nilai tertentu.

2012 – Swalayan dan Se’i babi
Tak banyak perubahan di kota Soe sejak saya tinggalkan tahun 2005. Hanya saja sekarang bermunculan swalayan-swalayan baru, dan beberapa rumah makan Se’i babi. Orang-orang menikmati berbelanja dengan mencomot-comot sendiri dan menggotong barang-barangnya ke kasir, seperti juga menikmati daging asap berlemak dipadukan sambal Lu’at.

28 Maret 2014 – Saat Ini
Saat saya ingin menuliskan tentang kota Soe, yang muncul dalam ingatan saya adalah patahan-patahan memori pohon petes, ulat gala-gala, Nancy, dan patahan lainnya. Saya belum kenal Soe, TTS, dengan baik. Mungkin ada saatnya untuk saya lebih memahami Soe, karena saya sendiri adalah orang Soe meski darah yang mengalir tak murni darah Timor.
Soe bagi saya adalah orang tua, saudara, teman, masa kecil, jajanan, dingin, jalan kaki, pohon gala-gala, kabut, tanah liat, bermain, dan banyak lagi. Soe adalah rumah.

Tulisan ini dibuat menjelang ulang tahun Forum Soe Peduli yang pertama. Berharap FSP terus berkembang menyebarkan semangat positif kaum muda kota Soe. Bersama berkarya untuk Soe, TTS.
Selamat ulang tahun FSP!

Selasa, 18 Maret 2014

Sedihku pada NTTku



Beberapa waktu belakangan ini saya merasa sedih dengan kemalangan-kemalangan yang melanda NTT tercinta. Kesedihan pertama disebabkan karena kasus human trafficking atau perdagangan manusia yang sasarannya adalah masyarakat NTT. Digunakan kata perdagangan karena manusia yang diperdagangkan itu sudah tidak dianggap manusia lagi, tetapi sebagai komoditas yang mendatangkan keuntungan bagi yang menjualnya. Peminatnya sungguh banyak, terutama di daerah-daerah yang perindustriannya berkembang pesat. Para pengusaha kota besar seperti Medan rupanya senang membeli ‘komoditas’ NTT. Bukan karena kerjanya bagus, namun karena ‘komoditas’ NTT biasanya bersedia bekerja serabutan tanpa tugas pokok yang jelas dengan bayaran minim. Belakangan ada sesumbar yang menyatakan perdagangan manusia bahkan terdengar sungguh sopan. Yang sesungguhnya terjadi lebih tepat dinamakan peternakan manusia. Maksudnya? Karena perlakuan terhadap manusia yang diperdagangkan itu layaknya sapi. Menunggu hingga remaja, lepas dari induknya, atau menunggu hingga anak putus sekolah lalu dijual kepada majikan di kota besar. Majikan pun memperlakukan mereka seperti bukan manusia, tapi sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari manusia. Beberapa budak yang tak kuat fisik dan mental meninggal sia-sia, bahkan ada pula yang mencoba bunuh diri. Miris. Saya lantas bertanya apa yang merupakan akar dari mirisnya keadaan ini.

Uang akar permasalahan

Demi mencari uang. Begitu saja. Baik dari sisi yang diperdagangkan maupun yang memperdagangkan, semua akar penyebab mengarah kepada kebutuhan akan uang. Pertanyaannya adalah, bagi masyarakat di kampung, apakah tidak ada jalan lain untuk mencari uang selain menjadi budak di tanah orang? Dan bagi penyalur ‘komoditas’, apakah caramu meraup uang harus dengan menjual saudara sendiri, merayu sedemikian rupa dengan iming-iming gaji besar dan makan gizi, lalu menukar haknya sebagai manusia merdeka dengan uang (berapa besar jumlahnya saya tidak tahu)?
Itu kesedihan pertama saya.

Kesedihan kedua adalah kesedihan akan tanah-tanah terindah, surga-surga NTT yang sekarang bukan lagi milik kami melainkan milik orang asing, yang sekali lagi memandang tanah NTT sebagai komoditas. Hanya saat tanah-tanah surga kami sudah di lelang di dunia maya oleh orang asing, dan hasil pemetaan menunjukkan siapa sebenarnya yang menguasai pariwisata NTT, barulah kita tercengang dan menangis (dalam hati).

Harusnya orang NTT tahu betapa sakralnya nilai tanah itu. Betapa kepemilikan tanah menunjukkan identitas sebagai orang merdeka. Tuan tanah yang agung, semakin luas tanah yang dimiliki semakin besar kuasanya atas wilayah tersebut. Lalu mengapa menjual kuasa dan kemerdekaan kita pada para bule dan artis? Kepada pengusaha yang jelas ingin mengeruk surga kita? Berapa sih iming-iming yang ditawarkan? Apakah iming-iming lebih besar dari harga diri kita sebagai manusia merdeka?

Ataukah mungkin hidup semakin sulit. Biaya kesehatan begitu mahal karena dengar-dengar Jamkesda sedang carut-marut dialihkan ke BPJS (yang berbayar). Saat sakit harus membayar, tak punya tabungan hanya punya tanah. Mari tuan ambil tanah kami, supaya kami bisa bayar rumah sakit, dan makan beberapa hari, lalu tak boleh sakit lagi seumur hidup kami, apa lagi yang kami punya?

Solusi

Berpendidikan.
Saya bermimpi anak-anak NTT mengecap pendidikan hingga jenjang SMA atau kuliah. Bermimpi anak-anak NTT menjadi manusia cerdas yang tidak mudah dirayu menjadi budak di tanah orang atau tergiur iming-iming investor yang melirik tanah kita.

Bergizi
Saya bermimpi kita merdeka dari masalah-masalah gizi dan kesehatan yang akan menggiring pada kemiskinan. Miskin-kurang gizi-miskin. Seperti rantai setan yang terus membelenggu kita. Bermimpi kita merdeka untuk makan makanan yang bergizi. Biar jagung dengan kacang, biar ubi dengan labu, asal kita makan cukup.

Betapa saya mencintai NTT, tanah lahir saya. Dari butir padi mu, nutrisi tanahmu, dan hasil lautmu saya dikenyangkan, dari budayamu saya dididik, dari jagung yang terus tumbuh menembus himpitan karang saya belajar kuat.
NTT ku sayang, Apa yang bisa kulakukan untukmu?

Kamis, 09 Januari 2014

Bizarre Incident



Life is unpredictable. Sometimes I have to go through complicated situations, but sometimes days are so flat. Sometimes I feel like I’m the most lucky one in this world, but sometimes I feel like a poorest one. Sometimes I feel good, but bad times did happen in some other times. Sometimes life is full of some normal events. But just some days ago, a bizzare incident just happened in my life.

There is a white female cat who lives in my boarding house (in Kupang). My boarding house has 12 rooms. I just moved to this place for about one month, so I’m the newest room occupant here. This cat has no private owner. But I think she loves to live here because there is always somebody who  gives his/her remain foods to Manis. Yes, they call her Manis.

Manis looked so fluffy. Other occupant said she was pregnant.
When holiday time came up, I went out to spend holiday with my family in Soe. So I left my rented room. For the security sake, i locked up the door and the window.

When christmas finally arrived, I and my family went to Kupang to met some of our families. This is such a tradition that in christmas we go to visit some close families to meet and greet.
Because we were in Kupang, I asked my father to go to my boarding house. I wanted to take my shoes because I needed to wear them in my reunion event.
So I entered my room, took my shoes, and got back to the car after locked all things back.
All seemed normal in my room, nothing weird.

Some days later after christmas, a message entered my phone from a friend in the same boarding house. He told me that they (he and some other people) just took out Manis and her 2 new born kitties from my room! These creatures were found in my room because my neighbor heard her screaming frustratedly (of course she was frustrated in my locked room).

This news made me confused. I was not able to be angry or sad, just confused. This is weird.
I thought about how Manis entered my room, maybe in christmas time when I came to took my shoes just for some minutes, that time she probably tiptoed very quietly into my room.

I was wondered, from all the 12 rooms, why she chose my room for delivering her babies? Because I’m a new comer, I mean Manis may have known other rooms better, why did she want my room?

I imagined my room must be so messed up, smelly, full of blood and poop. But when I arrived from my long holiday, there were only some small bloodspots in bathroom and also the furs on my clothes.

Thank God!
I  was suddenly turned blue, I thought about how Manis struggled for her babies alone, in my dark room, with no food at all for about 5 or 6 days!
She did it very well and very clean. No poop or blood everywhere like my exaggerated imagination. I’m so amazed to the mother instinct that Manis has naturally.

Yeah this is my story about a bizzare incident that happened in my life.
And because this is still the beggining of 2014, I want to say happy new year to everyone. I hope life keeps surprising you. Just open all your sensory, your heart, and your feeling. Have the multiple multi-sensory experiences, and get ready to be amazed!

Rabu, 01 Januari 2014

2013 Buat Nike



‘Tidak terasa’ adalah 2 kata yang sering kita ucapkan saat suatu momentum akan segera berakhir.
“Tidak terasa sudah masuk minggu yang baru”.
“Tidak terasa saya sudah bekerja selama 30 tahun”.
“Tidak terasa tahun 2013 sudah hampir berlalu!”
Buat saya ‘tidak terasa’ hanya sebuah ungkapan basa-basi saja. Bohong kalau tidak merasa sesuatu sedang berjalan. Sesuatu itu bernama waktu. Orang yang bilang tidak terasa mungkin orang yang tidak sadar, tertidur selama setahun penuh, baru pada akhir tahun mengatakan tidak terasa sudah mau 2014. Ya iyalah tidak terasa, wong sampeyan ga sadar.
Buat saya, tahun 2013 ini sangat banyak rasanya. Satu dari tahun-tahun dimana saya paling banyak bertransformasi. Terlalu banyak pengalaman, terlalu padat aktivitas, terlalu banyak kejadian yang menguras emosi, sangat banyak ilmu baru, banyak sekali orang yang baru saya kenal dan banyak tempat yang baru dikunjungi.
Dan saat ini saya mencoba mengingat kembali sambil terkagum-kagum akan apa yang saya jalani di tahun 2013 yang akan segera berganti ini.

Januari 2013
Awal tahun 2013 saya seorang pengangguran yang menghabiskan kesehariannya di rumah. Saya wisuda pada 20 Oktober 2012 setelah 4 tahun berkuliah di Program Studi Ilmu Gizi Universitas Brawijaya Malang. Setelah wisuda, saya berpikir untuk tetap tinggal di Malang (atau sekitarnya) karena belum ingin pulang kembali ke Soe.  Maka bulan Oktober sampai Desember saya tak alpa membuka situs lowongan kerja setiap harinya untuk melamar sesuatu yang berkaitan dengan dunia gizi. Ada beberapa panggilan wawancara yang ternyata tidak sesuai dengan saya pada akhirnya. Jadilah saya tetap menganggur di Malang hingga bulan Desember hingga tiba-tiba saja ada yang mendesak saya untuk pulang ke Soe. Entah apa. Mungkin sudah ‘bosan’ di Malang, atau bosan menganggur di Malang, atau apapun itu, saya juga tidak  pasti dengan alasannya, tapi saya langsung memesan tiket dan membereskan barang-barang saya yang seabrek banyaknya. Maklum, tujuh setengah tahun saya hidup di Malang. Ini keputusan yang cukup berat dan besar, mengingat kehidupan sosial yang sudah saya bangun di Malang. Sedih tentu saja. Tapi entahlah, saat itu bagi saya pulang adalah keputusan terbaik. Saya percaya pada pilihan saya dan saat ini saya paham bahwa pilihan untuk pulang itu yang membawa saya menjalani hal-hal luar biasa. Desember 2012 saya melalui natal bersama keluarga. Ini natal pertama sejak 7 kali natal berturut-turut di tanah rantau.
Kembali ke Januari 2013. Meskipun saya pengangguran, saya menjalani kehidupan spiritual yang berkualitas. Di Malang saya menjadi ‘pelayan’ gereja. Saya melayani di Muger (Musik Gerejawi), menjadi anggota vocal group, dan melayani di Tim Persiapan Ibadah. Menjadi Pelayan dan aktivis di gereja tidak pernah saya sesali sebab saya belajar banyak hal disana. Namun kesibukan beruntun di gereja terkadang membuat saya lupa (atau bingung) akan esensi pelayanan itu sendiri.
Saat pulang kembali ke rumah di Soe, terlepas dari segala kesibukan gereja, kuliah (sudah lulus), dan kehebohan saya dalam bersosialisasi, ada sebuah perasaan damai. Dan menurut saya ini baik, ada waktu dimana kita ‘terbebas’ dari apa yang kita jalani selama ini dan kembali tenang untuk mencari tahu apa yang diinginkan hati kita.
Januari 2013 adalah waktu dimana saya merasa sangat nyaman dengan diri saya, merasa damai, merasa tidak memiliki apa-apa tapi bahagia. Sebenarnya ada sesuatu yang membuat saya terlebih bahagia, tapi sesuatu itu terlalu sakral untuk diceritakan. :D
O ya, Januari 2013 juga saya menjalani tes TOEFL ITP di Undana Language Center kampus lama dan memperoleh hasil lumayan baik.

Februari & Maret 2013
Rutinitas dan menjadi pengangguran membuat saya bosan bukan kepalang. Saya mulai tidak sabaran. Bahkan merasa damai saja tidak cukup. Saya bosan berada di rumah sepanjang hari. Saya membaca beberapa buku Ayu Utami yang mengubah beberapa persepsi saya. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan untuk waktu-waktu ini, tapi yang jelas saya menghabiskan waktu-waktu saya dengan bertanya-tanya apa yang harus saya lakukan agar tidak menganggur terus seperti ini.

Mulai April-Desember 2013
Awal April saya bertengkar hebat dengan Papa dan Mama. Ada beberapa hal yang membuat papa marah. Apa yang membuat mereka marah itu adalah hal yang menurut saya justru mulia. Aneh kan? Begitulah, namun karena menyadari bahwa saya belum berpenghasilan, belum bisa apa-apa, masih nebeng di rumah orang tua, maka saya hanya diam sambil merasa bahwa rumah akhirnya menjadi semacam neraka bagi saya. Bersama kakak sempat berpikir untuk kost saja, tapi mama membujuk kami untuk tidak kost dan berdamai dengan papa.
Akhirnya kami berdamai juga. Tepat setelah kami berdamai, lamaran saya untuk menjadi Volunteer di IRGSC (Institute of Resource Governance and Sosial Change) Kupang diterima.
Saya menceritakan niat saya untuk menjadi volunteer dan ajaib sekali mereka menerima niat saya tersebut. Papa tahu saya ingin melamar beasiswa, tapi papa juga berpesan untuk tetap masuk ke universitas dalam negeri pada tahun ajaran baru.
Saya berangkat ke Kupang dengan membawa 1 koper baju. Saya tinggal di rumah Tanta Mey. Tanta Mey memiliki motor yang dipinjamkan kepada saya, sehingga saya kemana-mana naik motor beat hitam.
Dimulailah babak baru kehidupan saya di Kupang sebagai Volunteer di IRGSC (yang kemudian sudah dianggap sebagai staff). Saya tidak tahu banyak soal IRGSC kecuali ini tempat penelitian dan tempat mencari beasiswa luar negeri.
IRGSC adalah tempat saya bekerja pertama kalinya. IRGSC seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, adalah kumpulan orang-orang dengan visi dan mimpi yang besar bagi tanah NTT. Rupanya bekerja di IRGSC tidak bisa bengong karena selalu ada sesuatu yang harus/bisa dikerjakan. Menjadi sangat menyenangkan bekerja disini karena saya mencintai rekan-rekan kerja saya yang unik, demikian pula atasan-atasan saya yang baiknya bukan kepalang.
Belum satu tahun di IRGSC dan saya sudah merasa lembaga ini seperti rumah buat saya.
Teman pertama saya adalah ka Audrey, yang saat ini sudah kembali ke rumahnya di Jakarta dan bekerja disana, lalu Inry, yang pada akhirnya kami ber3 ditempatkan di satu ruangan yang sama. Pertemanan kami sangat membekas sekali buat saya, meskipun ka Audrey akhirnya kembali ke Jakarta.
Dan banyak sekali teman-teman di IRGSC yang mewarnai hari-hari saya.
Semenjak bekerja di IRGSC, banyak sekali perubahan-perubahan dalam cara berpikir, cara menganalisa, cara menanggapi, bahkan saya tidak jadi meneruskan studi di UNS seperti yang saya rencanakan sebelumnya. IRGSC menyediakan terlalu banyak ilmu baru, tergantung siapa yang mau menggali apa. Rupanya bergaul dengan orang cerdas setiap harinya membuat saya sedikit lebih cerdas pula. Sedikit :p
Apa yang paling saya cintai dari IRGSC adalah bahwa para atasan mempercayai potensi dari anak baru lulus seperti saya. Mereka tidak membangun benteng atau jarak antara yang sudah makan garam dan yang masih hambar. Tidak perlu hormat basa-basi jika berhadapan dengan bos-bos kami :). Suasana di kantor pun sangat ‘homey’ sekali. Dan yang paling keren adalah justru para atasan tersebut bekerja paling keras dari staf-staf nya.
Delapan bulan di IRGSC, saya sangat bersyukur bisa jalan-jalan ke tiga tempat : Makassar, Waingapu (Kabupaten Sumba Timur), dan Maumere (Kabupaten Sikka). Ke Makassar untuk pelatihan Fasilitator ala Vibrant, Waingapu dalam rangka penelitian Climate Smart Agriculture, dan Maumere untuk penelitian Unit Cost Holistic Integrative Early Childhood Development.
Wah saya sangat bahagia bisa jalan-jalan ke tempat-tempat baru!
Oh ya, sejak menjadi bagian IRGSC, saya jadi sering sekali mengikuti seminar. Walaupun untuk topik-topik yang berat saya terkadang hanya melongo saja, tapi beberapa rupanya memberikan banyak pelajaran bagi saya.
Berkali-kali hendak berhenti bekerja di sini, tapi selalu saya bertahan keesokan harinya. Semuanya sangat sempurna, namun mungkin fakta bahwa IRGSC melatih saya untuk menjadi seorang peneliti membuat saya takut dan pesimis. Tuntutan-tuntutan untuk menjadi peneliti terkadang mengusik sisi kanak-kanak saya yang masih ingin senang-senang, jalan-jalan, baca komik. Begitulah. Hal yang membuat saya ragu dan pesimis adalah ketika saya gagal dalam menyelesaikan satu tugas tertentu. Herannya saya selalu diampuni dan diberikan tugas baru lagi. Sehingga mungkin tepat kalau saya katakan bahwa yang membuat saya bertahan dan masih punya harapan untuk menjadi seseorang yang berguna adalah orang-orang super keren di IRGSC alias atasan-atasan saya sendiri.

Kegagalan
Saat ini saya bisa bicara dengan enteng tentang kegagalan saya karena saya sudah bisa ikhlas menerima kegagalan tersebut. Saya gagal dalam seleksi beasiswa Australia Awards Shcolarships (sudah saya ceritakan sebelumnya). Lalu saya kembali melihat diri saya, ternyata manajemen (hampir segala aspek) hidup saya masih kacau berantakan. Mungkin belum saatnya, masih banyak yang harus saya latih dan persiapkan dalam diri saya. Mungkin bukan untuk saya.
Lalu saya berpikir, orang yang gagal adalah orang yang sudah mencoba. Kalau saya tidak pernah gagal berarti saya tidak pernah mencoba sesuatu. Dan ini membuat saya lega, setidaknya saya sudah mencoba dan belum ingin berhenti mencoba. Bukankah kesempatan selalu ada? :)

Pilihan-pilihan
Setelah melalui 2013 ini, saya sadar ada banyak pilihan-pilihan yang membawa saya menjadi saya saat ini.
Pilihan untuk menjadi volunteer (akhirnya diangkat sebagai sraff) di IRGSC, hijrah ke Kupang di rumah Tanta Mey.
Pilihan untuk tidak melanjutkan S2 di UNS dan terus bekerja sambil menunggu pengumuman beasiswa di IRGSC.
Pilihan untuk pindah ke kost karena ingin hidup mandiri dan tidak ingin merepotkan orang lain.
Saya sangat bersyukur untuk pilihan-pilihan saya ini, saya yakin ada tangan yang tidak pernah berhenti menuntun saya dalam menentukan pilihan-pilihan ini. Dan tentu saja pilihan ini membawa saya pada pengalaman-pengalaman luar biasa.

Pencapaian
Beberapa pencapaian saya membuat saya merasa bangga dan bersyukur:
Saya bisa mengendarai motor (scutermatic) dengan baik dan benar serta memiliki ijin mengemudi SIM C.
Saya bisa berenang! La la la. Belum jauh-jauh amat, tapi lumayaaan. Thanks to pelatih terkeren sedunia : Ka Audrey Jiwajennie.
Saya menulis 2 buah opini surat kabar lokal. Yang satu berdua dengan Inri, yang satu nama saya sendiri. Well, harus diakui pembuatan opini ini melalui bimbingan ketat dari sekali lagi, para Bos baik hati.
Saya travel ke beberapa tempat : Makassar, Malang, Sumba Timur, dan Sikka. Menyenangkan!
Dan ehm. Ini bukan pencapaian tapi secara ajaib kulit saya menjadi gelap. Hahaha. Mungkin karena terlalu banyak bermain-main dengan sinar matahari langsung. Ini agak ganjil karena saya terbiasa dengan kulit putih. Tapi saya sedang berusaha menyukai kulit baru saya :D
Sebenarnya masih banyak pencapaian lain, tapi tidak bisa diceritakan satu per satu.hehe

Orang Tua
Tadi saya ceritakan bahwa saya sempat bertengkar dengan orang tua karena perbedaan prinsip. Namun ada yang berkata bahwa manusia berubah seperti musim. Ini benar. Saya melihat papa dan mama pada akhirnya memilih untuk menghargai pilihan dan kecenderungan anak-anaknya. Papa yang terkenal keras dan tidak mau kalah itu pada akhirnya melunak dan melentur. Ini ajaib. Menyaksikan orang tua yang saya kasihi berubah seiring bertambahnya usia membuat saya kagum. Papa yang akhirnya mati-matian mempertahankan saya untuk tetap bekerja di IRGSC, mencari kost buat saya, dan memboyong barang-barang serta mencari keperluan-keperluan kamar baru saya. Papa-Mama mendukung sepenuhnya dan percaya pada pilihan dan mimpi-mimpi saya. :)

Akhirnya...
Akhirnya saya sangat kagum dan bersyukur serta terheran-heran dengan hidup saya di tahun 2013. Terlalu banyak kesempatan buat seorang Nike Frans yang masih senang bermalas-malasan,  bersungut-sungut, dan tidak sabaran.
Tuhan baik, sangat baik.
Selamat datang tahun 2014, saya sangat yakin, ada berbagai kesempatan yang sudah disiapkan buat saya.
Dan seperti tokoh kartun yang selalu kegirangan, Spongebob, saya juga ingin berkata : “Aku siap!”
Selamat jalan tahun Transformasi, tahun 2013!