Kelas dimulai pada pertengahan/akhir bulan Januari. Saat itu, saya baru saja kembali ke Manhattan, KS, setelah berlibur selama kurang lebih 3 minggu di Soe untuk menghadiri rangkaian acara pernikahan kak Sandra dan kak Yosua. Saya awali kuliah semester Spring ini dengan kondisi tubuh yang tidak stabil. Peralihan cuaca Soe/Kupang dan Manhattan yang drastis karena disini sedang musim dingin/winter. Lalu penyesuaian waktu tidur yang cukup sulit karena perbedaan waktu 14 jam antara Manhattan (CST) dan WITA ; satu minggu setelah tiba di Manhattan, waktu tidur saya sangat sedikit dan tidak teratur. Ditambah lagi saya diare. Tambahan lagi, beberapa hari awal tidak ada sinar matahari, ini benar-benar membuat lesu! Saya khawatir jika kondisi saya tidak membaik, performa akademik saya akan buruk.
Kembali ke kelas Health Psychology. Mata kuliah ini terdiri dari tiga kali tatap muka dalam seminggu. Minggu pertama dosen banyak membahas tentang hubungan stres dan kesehatan. Sudah terbukti bahwa stres, sedih, dan depresi (mungkin galau juga termasuk? :p) berhubungan erat dengan kondisi fisik seseorang.
Saat stres, fungsi sistem imun dalam tubuh akan berkurang sehingga seseorang yang mengalami stres atau depresi akan rentan terhadap penyakit. Selain itu, dalam kondisi stres, seseorang cenderung tidak merawat dirinya dengan baik, waktu tidur berkurang, waktu berolahraga berkurang, kehilangan napsu makan, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu akan mempengaruhi status kesehatan seseorang.
Demikian stres, emosi seseorang, ataupun depresi menciptakan gejala fisik seperti gangguan pencernaan atau diare, nyeri lambung, sakit kepala, napas tersengal, masalah waktu tidur, sakit leher, dan sebagainya. Orang yang stres juga lebih sering terkena demam/flu dibandingkan mereka yang tidak stres. Itu baru gejala-gejalanya. Jika dibiarkan terus-menerus, stres berkepanjangan tentu sangat berbahaya terhadap status kesehatan.
Lalu saya tersadar, kenapa gejala-gejala di awal semester yang saya alami tadi mirip dengan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh stres? Di kelas awal Health Psychology itulah saya menyadari bahwa saya sedang stres. Ada hal yang menjadi beban pikiran saya sampai membuat saya diare (sampai berminggu-minggu, tidak parah, tapi makanan yang saya makan tidak terserap sempurna), tidak bisa tidur (awalnya saya pikir karena perbedaan waktu), dan bawaan melodramatis (awalnya saya berasumsi karena matahari yang terus tertutup awan tebal). Di titik itulah saya memutuskan untuk tidak membebani pikiran saya dan lebih mencintai diri saya dengan cara menghindari hal-hal yang membuat saya stres.
Saya sudah minum obat diare; diarenya berhenti sebentar lalu kembali lagi. Saya sudah disarankan teman untuk minum obat (pengatur) tidur (belum sempat saya beli). Tapi apalah gunanya obat-obat itu kalau mereka hanya mampu mengurangi gejala, dan bukan mengobati sumber yang sebenarnya adalah stres itu? Beberapa hari setelah saya sadar akan kondisi fisik dan psikis saya, serta hubungan antara keduanya, saya pun dapat tidur dengan sangat pulas. Saya membiarkan tubuh saya beristirahat. Lalu diare beminggu-minggu itu pun hilang. Tanpa obat sama sekali.
Kalau ada yang mengalami gejala-gejala demikian (bisa jadi berbeda dengan saya), mungkin salah satu pertanyaan yang harus ditanyakan pada diri sendiri adalah apakah diri kita sedang sedih/stres/depresi?
Kalau ya, tentulah diri kita layak untuk mendapat perhatian khusus (butuh dicintai/self love), mencari tahu apa yang bisa membuat kita bahagia kembali, dan menghindari beban-beban yang membuat kita terganggu, atau mengubah fokus pikiran kita ke hal-hal yang positif.
Ahh, saya ternyata berbakat menjadi psikiater/psikolog :p :p
Manhattan, KS, 11/02/16
Sumber gambar: thespiritscience(dot)net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar