Berada di pulau Jawa bagian Timur, saya tertarik mengunjungi kabupaten Banyuwangi. Kabarnya, pantai-pantai dan punggung Ijen-nya menawan.
Pantai Pulo Merah, Banyuwangi, Januari 2015
Ke Jawa Gratis
Bepergian ke Banyuwangi adalah
sebagai pelipur lara bagi saya yang disarankan (diharuskan) mengikuti tes ulang
TOEFL IBT. Tes TOEFL IBT (Internet Based Test) merupakan salah satu langkah
untuk memperjuangkan beasiswa ke luar negeri. Sebelumnya, akhir Oktober 2014
saya sudah melewati tes ini di Jakarta. Namun karena ‘diperlukan skor yang
lebih kompetitif’ untuk bisa melamar ke universitas di luar sana, maka saya
kembali didaftarkan untuk mengikuti tes yang sama sekali lagi di Surabaya akhir
Januari 2015.
Untungnya (saya sering menemukan berbagai untung dalam kondisi sulit), tes yang mahal itu digratiskan oleh pihak AMINEF, meskipun ini merupakan tes ulang saya. Tidak hanya itu, tiket PP Kupang-Surabaya, berikut hotel sudah di booking-bayarkan dengan rapi. Terima kasih AMINEF!
Untungnya (saya sering menemukan berbagai untung dalam kondisi sulit), tes yang mahal itu digratiskan oleh pihak AMINEF, meskipun ini merupakan tes ulang saya. Tidak hanya itu, tiket PP Kupang-Surabaya, berikut hotel sudah di booking-bayarkan dengan rapi. Terima kasih AMINEF!
Karena biaya tiket pesawat ke
pulau Jawa bagian timur ini saya dapatkan secara cuma-cuma, maka saya berpikir sayang
jika tidak saya manfaatkan untuk bertemu sahabat atau sekedar jalan-jalan,
mungkin bisa menonton bioskop (NTT belum punya, kabarnya akan segera punya.
Semoga). Saya sempat mencari tahu beberapa tempat yang bisa dikunjungi di
sekitar Surabaya maupun Jawa Timur. Salah satu yang membuat saya penasaran
adalah Kabupaten Banyuwangi. Menurut beberapa sumber, pantainya-pantainya
menawan.
Sahabat Karib
Surabaya sendiri tidak begitu
asing bagi saya karena sudah cukup sering saya kunjungi. Ditambah lagi ada sahabat
saya disana, Iche, sahabat karib semasa SMA. Kabar baiknya, Bayu, sahabat masa
kuliah saya juga menyempatkan diri mampir ke Surabaya untuk bertemu saya. Saya
pikir akan sangat menyenangkan bertemu kedua orang baik ini.
Iche dan Bayu, keduanya adalah sahabat yang kalau mereka muncul tiba-tiba didepan saya dengan sepasang sayap di punggung mereka, saya tidak akan kaget. Mereka begitu baik pada saya, serupa malaikat saja. Suka duka banyak saya lewati bersama mereka. Sifat (baik) yang mirip diantara kedua makhluk ini membuat saya berpikir untuk menjodohkan mereka berdua. Sayang sekali, Iche sekarang sudah punya tunangan. Sayang sekali. Bukan (atau belum) jodoh.
Iche dan Bayu, keduanya adalah sahabat yang kalau mereka muncul tiba-tiba didepan saya dengan sepasang sayap di punggung mereka, saya tidak akan kaget. Mereka begitu baik pada saya, serupa malaikat saja. Suka duka banyak saya lewati bersama mereka. Sifat (baik) yang mirip diantara kedua makhluk ini membuat saya berpikir untuk menjodohkan mereka berdua. Sayang sekali, Iche sekarang sudah punya tunangan. Sayang sekali. Bukan (atau belum) jodoh.
Setelah berhasil menaklukkan
puluhan soal IBT yang membuat saya mual-mual rasanya, akhirnya saya bertemu
juga dengan Iche! Terakhir kami bertemu di Desember 2012. Dara 24 tahun asal
Sitiharjo ini menjemput saya dengan motor maticnya.
Iche mengendarai motor matic hijaunya bagaikan pembalap profesional di jalanan Surabaya yang padat dan diantara ‘pembalap-pembalap’ lainnya. Saya selalu heran dengan orang-orang di kota besar, berkendara serupa sedang mengejar-ngejar sesuatu, salip kiri salip kanan. Huh. Memang paling santai hidup di NTT.
Iche mengendarai motor matic hijaunya bagaikan pembalap profesional di jalanan Surabaya yang padat dan diantara ‘pembalap-pembalap’ lainnya. Saya selalu heran dengan orang-orang di kota besar, berkendara serupa sedang mengejar-ngejar sesuatu, salip kiri salip kanan. Huh. Memang paling santai hidup di NTT.
Kami berbagi banyak cerita di
jalan. Iche tak henti-hentinya nyerocos tanpa kehilangan konsetrasi berkendara
ala pembalap. Kami tertawa-tawa dan saling menimpali sambil Iche mengarahkan
perjalanan ke salah satu mall sebagai titik temu kami dengan Bayu. Saat itu
hari minggu dan ampun-ampun ramai sekali mall itu. Banyak nian anak ABG yang
setelah kami telusuri, pada saat itu JKT48 mengadakan konser tepat di mall
tersebut. Buanyak buanget manusia, terutama anak SMP dan SMA maupun dari kalangan matang usia yang gemar menonton belasan remaja putri yang imut beraksi di panggung
secara menggemaskan.
Iche dan saya di salah satu mall di Surabaya (Pengambil Gambar: Bayu Agus)
Iche yang berprofesi sebagai
bidan mengatakan dia menyesal tidak bisa berlama-lama menemani saya karena jadwal
prakteknya begitu padat. Saya memaklumi itu, profesi sebagai tenaga kesehatan
(terlebih bidan) memang tidak bisa fleksibel bepergian. Tinggallah Bayu dan
saya. Kami merencanakan perjalanan mengunjungi Banyuwangi menggunakan travel
malam itu juga.
Pantai Pulo Merah, Banyuwangi
Ini adalah kali pertama baik bagi
saya maupun teman saya Bayu berkunjung ke Banyuwangi. Saya merasa yakin datang ke
tempat ini karena Bayu punya teman yang tinggal di Banyuwangi. Kami dijemput
oleh Mas Baik Hati (temannya Bayu, saya lupa namanya, akan saya cari tahu). Mas
ini mempunyai warnet di Banyuwangi, tidak jauh dari stasiun kereta api
Rogojampi. Kami pun mampir ke rumahnya untuk mandi dan bersiap diri. Memang
indah jika punya teman di banyak tempat. Teman selalu bisa jadi rumah.
Mas Baik Hati meminjamkan motor
matic lengkap dengan STNK nya untuk Bayu dan saya pakai berkeliling. Pagi itu
tanpa sempat tidur, kami langsung menjelajahi Banyuwangi menuju pantai Pulo
Merah/Pulau Merah. Sebelumnya, saya pastikan apakah Bayu memiliki SIM.
Syukurlah dia punya. Bukan apa-apa, hanya malas berurusan dengan polisi saja.
Malas saja. Pokoknya malas. Hahaha.
Dimulailah perjalanan kami. Banyuwangi ternyata SANGAT SUBUR dan ASRI! Hijau sawah sepanjang mata memandang, setiap kebun maupun pekarangan rumah dipenuhi dengan buah naga yang gemuk-gemuk. Kata penduduk, tanaman ini cukup di-stek saja, ditancapkan begitu saja, dan biarkan sumber gizi tanah Banyuwangi menyubur-nyuburkan tanaman ini sampai menghasilkan buah yang ranum. Favorit saya adalah buah naga merah (ada juga yang putih, sedikit masam). Segar!
Dimulailah perjalanan kami. Banyuwangi ternyata SANGAT SUBUR dan ASRI! Hijau sawah sepanjang mata memandang, setiap kebun maupun pekarangan rumah dipenuhi dengan buah naga yang gemuk-gemuk. Kata penduduk, tanaman ini cukup di-stek saja, ditancapkan begitu saja, dan biarkan sumber gizi tanah Banyuwangi menyubur-nyuburkan tanaman ini sampai menghasilkan buah yang ranum. Favorit saya adalah buah naga merah (ada juga yang putih, sedikit masam). Segar!
Sambil menikmati pemandangan yang
asri, dari jauh kami menangkap pemandangan yang kurang menarik. Terlihat polisi
lalu lintas melakukan pengecekan kelengkapan berkendara alias ‘tilang’. Tilang
adalah kegiatan rutin polisi dalam mencari-cari kesalahan pengemudi; semakin
banyak kesalahan, semakin berbahagia para polisi.
Kami dengan percaya diri merelakan diri kami diperiksa. Di saat itulah kami melongo ketika ternyata SIM Bayu sudah kadaluwarsa. Ampun. Lalu kami digiring ke sudut yang agak tersembunyi. Seperti beberapa penilangan yang saya saksikan, sang polisi kali ini juga menjelaskan bahwa kami melanggar aturan lalu lintas dan sebenarnya kami harus disidang bla bla bla. Kemudian ada jeda yang menegangkan. Lalu Bayu dengan gerakan yang sangat halus dan profesional (sepertinya sudah sering), meletakkan uang Rp.50.000 di atas nota tilang. Polisi puas, kami pun lega melanjutkan perjalanan. Wah, murah juga disini. Di Kupang, polisinya sombong, maunya Rp.100.000.
Kami dengan percaya diri merelakan diri kami diperiksa. Di saat itulah kami melongo ketika ternyata SIM Bayu sudah kadaluwarsa. Ampun. Lalu kami digiring ke sudut yang agak tersembunyi. Seperti beberapa penilangan yang saya saksikan, sang polisi kali ini juga menjelaskan bahwa kami melanggar aturan lalu lintas dan sebenarnya kami harus disidang bla bla bla. Kemudian ada jeda yang menegangkan. Lalu Bayu dengan gerakan yang sangat halus dan profesional (sepertinya sudah sering), meletakkan uang Rp.50.000 di atas nota tilang. Polisi puas, kami pun lega melanjutkan perjalanan. Wah, murah juga disini. Di Kupang, polisinya sombong, maunya Rp.100.000.
Sesampai di pantai Pulo Merah,
kami disambut dengan udara cerah panas terik, langit biru terang, dan ombak
bergulung-gulung. Panasnya lumayan serius. Kami menyewa kursi dibawah payung
sambil menikmati minum air kelapa dan menonton orang-orang berselancar. Pantai
ini ombaknya cukup berlapis untuk dijadikan area surfing, namun tidak juga
terlalu tinggi, sehingga cukup banyak orang datang berlatih surfing disini. Mereka
adalah para turis mancanegara. Saya selalu heran bagaimana para turis dari
berbagai negara bisa sampai di pelosok-pelosok pantai di nusantara ini.
Pantai Pulo (Pulau) Merah, Banyuwangi
Kakak-kakak Surfer
Santai ;)
(Pengambil gambar paling bawah: Bayu Agus)
(Pengambil gambar paling bawah: Bayu Agus)
Cukup lama kami menghabiskan
waktu di pantai Pulo Merah. Cukup lama untuk membuat saya iri melihat Bayu yang
bisa tidur nyenyak sementara saya tidak. Waktunya makan siang, kami memutuskan untuk beranjak dan
mencari tempat makan yang menggoda kami di perjalanan tadi. Nama rumah makannya
‘Ikan Bakar Banyuwangi’. Suasana rumah makan tenang karena dirancang berupa gazebo di
sebelah hamparan sawah. Kami makan dengan rakus dan kalap sebelum kembali lagi ke
Banyuwangi kota.
Perjalanan memang melalui
beberapa belokan-belokan. Namun, kami tidak tersesat karena selalu ada penunjuk
jalan baik itu menuju Pulau Merah, dan sebaliknya kembali ke Banyuwangi. Kami
sempat singgah membeli buah naga merah yang ternyata sangat murah. Satu kilo
harganya tidak sampai Rp.10.000. Di supermarket, 1 buah harganya mencapai
puluhan ribu rupiah.
Buah naga segar habis panen yang dijual di pinggir jalan dengan harga murah
Menapaki Ijen
Tiba kembali di Banyuwangi sudah
sore. Antara capek dan masih ingin jalan-jalan. Saya dan Bayu berembuk untuk
tujuan berikutnya. Satu hal di Kabupaten Banyuwangi yang membuat saya tertarik
adalah Gunung Ijen. Saya sangat ingin kesana. Bayu, teman saya adalah tipe
orang nekat. Dia tidak mempertimbangkan apapun seperti jarak ke Ijen, kondisi
fisik, waktu tempuh, dan lainnya. Dia meyakinkan saya untuk tetap ke Ijen.
Hari sudah malam ketika kami memutuskan untuk kesana. Di sebelah warnet milik Mas Baik Hati, terdapat perguruan Kera Sakti. Pemimpinnya perguruan adalah seorang bapak yang sangat ramah dan senang bercanda. Beliau dan murid-muridnya menggambarkan peta jalan menuju ke kawasan Ijen. Dengan kenekatan yang cukup besar dan peta di tangan (karena sudah malam, sekitar jam 9 malam), saya dan Bayu pun berangkat.
Hari sudah malam ketika kami memutuskan untuk kesana. Di sebelah warnet milik Mas Baik Hati, terdapat perguruan Kera Sakti. Pemimpinnya perguruan adalah seorang bapak yang sangat ramah dan senang bercanda. Beliau dan murid-muridnya menggambarkan peta jalan menuju ke kawasan Ijen. Dengan kenekatan yang cukup besar dan peta di tangan (karena sudah malam, sekitar jam 9 malam), saya dan Bayu pun berangkat.
Perjalanan ini bisa jadi salah satu perjalanan paling menakutkan bagi saya. Jalanan menuju ke kawasan ijen konsisten
menanjak. Saya hanya bisa berdoa motor matic yang kami kendarai mampu membawa
kami hingga ke tempat pendakian. Kami hanya berdua, melewati jalan panjang menanjak.
Semakin keatas, semakin dingin dan berkabut. Kiri dan kanan hanya hutan tanpa
lampu jalan dan sangat gelap sedangkan jarak pandang hanya beberapa meter. Saya
menggigil antara kedinginan dan ngeri. Ngeri kalau tiba-tiba motor ini berhenti di
tengah jalan menanjak ini. Tidak ada bengkel. Bahkan, tidak ada manusia. Nyaris
tidak ada yang melewati jalan tersebut di jam malam seperti itu. Benar-benar sepi,
gelap, berkabut, dingin, dan mencekam. Bayu mengeluh tangannya yang memegang
setir motor kaku karena dingin.
Saya tidak menganjurkan dan tidak mau mengulangi pergi tengah malam ke kawasan Ijen, kecuali menggunakan mobil. Sebaiknya perjalanan dimulai siang atau sore hari. Saat siang hari dilewati, tempat ini sangat sejuk dan rindang, saat malam, sangat...horor.
Saya tidak menganjurkan dan tidak mau mengulangi pergi tengah malam ke kawasan Ijen, kecuali menggunakan mobil. Sebaiknya perjalanan dimulai siang atau sore hari. Saat siang hari dilewati, tempat ini sangat sejuk dan rindang, saat malam, sangat...horor.
Setelah kurang lebih 1 jam berkendara
melewati hutan mencekam itu, kami sampai juga ke titik pendakian gunung Ijen. Lega rasanya melihat sesama manusia lainnya :D. Waktu menunjukkan hampir pukul 11 malam. Di titik awal pendakian, terlihat
sudah sangat ramai dengan calon-calon pendaki. Mereka datang dari berbagai
daerah dalam negeri dan juga dari manca negara. Rusia, Belanda, Jepang, dan
lain sebagainya.
Syukurnya, dititik pendakian ini tersedia toilet yang bersih dan warung sederhana menjual makanan sederhana serta perlengkapan seperti kaos tangan, topi, dan sebagainya. Juga terdapat penginapan sederhana jika para pendaki ingin merebahkan badan. Saya dan bayu memutuskan duduk-duduk cantik di sebelah kumpulan kakak-kakak yang membuat api unggun untuk menghangatkan badan di tengah cuaca yang dingin menggigit. Karena kami adalah mendaki awam yang tidak ingin tersesat, kami pun meminta seorang guide lokal untuk menemani kami sambil mengarahkan kami ke jalan yang benar :D. Namanya Mas Slamet.
Syukurnya, dititik pendakian ini tersedia toilet yang bersih dan warung sederhana menjual makanan sederhana serta perlengkapan seperti kaos tangan, topi, dan sebagainya. Juga terdapat penginapan sederhana jika para pendaki ingin merebahkan badan. Saya dan bayu memutuskan duduk-duduk cantik di sebelah kumpulan kakak-kakak yang membuat api unggun untuk menghangatkan badan di tengah cuaca yang dingin menggigit. Karena kami adalah mendaki awam yang tidak ingin tersesat, kami pun meminta seorang guide lokal untuk menemani kami sambil mengarahkan kami ke jalan yang benar :D. Namanya Mas Slamet.
Setelah mengisi perut dan
menyiapkan diri kami, tepat jam 1 malam kami memulai penanjakan. Mas Slamet
awalnya sangat diam. Namun karena sering saya lontarkan pertanyaan, beliau
akhirnya bercerita banyak tentang kesehariannya, istri-anaknya, dan tentang Ijen
sendiri. Pendakian cukup melelahkan. Kami baru tiba jam 4 subuh di kawah ijen
yang juga merupakan tambang belerang yang terkenal dengan pertunjukan ‘Blue
Fire’. Blue Fire adalah api besar berwarna biru yang muncul karena unsur
belerang yang terbakar di wilayah sekitar tambang belerang.
Untuk menyaksikan Blue Fire
tersebut, pengunjung perlu menuruni kawah Ijen disaat hari masih gelap. Api biru tidak akan terlihat jika sudah ada cahaya matahari. Saya tidak begitu senang karena
bau belerang sangat menusuk pernapasan saya sampai-sampai membuat saya
terbatuk-batuk. Penderita asma dilarang keras menuruni kawah ini.
Perjalanan turun-naik kawah ini perlu berhati-hati karena jalanan sempit dan banyak penambang belerang yang hilir mudik sambil memanggul keranjang berisi belerang kurang lebih beratnya 70kg dan bisa lebih. Menanjak tanpa membawa apa-apa saja sudah cukup melelahkan, apalagi membawa beban seberat itu. Bahkan, para penambang harus masuk keluar sumber belerang yang baunya sangat tajam menyengat.
Perjalanan turun-naik kawah ini perlu berhati-hati karena jalanan sempit dan banyak penambang belerang yang hilir mudik sambil memanggul keranjang berisi belerang kurang lebih beratnya 70kg dan bisa lebih. Menanjak tanpa membawa apa-apa saja sudah cukup melelahkan, apalagi membawa beban seberat itu. Bahkan, para penambang harus masuk keluar sumber belerang yang baunya sangat tajam menyengat.
Sudah puas menyaksikan api besar
berwarna biru tersebut, kami bertiga melanjutkan perjalanan ke arah timur untuk
menyaksikan terbitnya matahari. Sayang sekali, hari berawan dan cukup berkabut
sehingga matahari tidak terlihat terbitnya. Tapi, pemandangan begitu indah,
melihat kawah hijau toska dan pegunungan ijen. Ditambah lagi dengan udara sejuk
segar (sesekali asap belerang berseliweran). Bahagia rasanya.
Pemandangan dari salah satu sudut pegunungan Ijen. Bawah: Kawah Ijen
Bayu tergopoh-gopoh melangkah
Kawah Ijen
Mas Slamet di ketinggian pegunungan Ijen
Tambang belerang, sumbernya dari tempat yang berasap.
Saat sudah terpapar cahaya, blue fire tidak terlihat. Saat malam, area sebelah kiri atas tambang terlihat dipenuhi api biru.
Saat sudah terpapar cahaya, blue fire tidak terlihat. Saat malam, area sebelah kiri atas tambang terlihat dipenuhi api biru.
Saya lupa topik diskusi yang nampak serius diatas :D (Pengambil gambar : Mas Slamet)
Setelah berpuas-puas menikmati
keindahan, kami pun turun kembali. Sepanjang jalan pulang yang menurun dan
santai, kami banyak bercerita dengan Mas Slamet tentang banyak hal. Di jalan
pulang ini kami bisa melihat dengan jelas wajah-wajah sesama pendaki. Meski
bukan hari libur, jumlah orang yang mendaki dalam semalam bisa melebihi angka
seratus. Kami kembali ke titik pendakian dengan selamat dan bahagia.
Bonus pemandangan saat turun gunung
Perjalanan kembali ke Banyuwangi
sedikit kacau karena saya mengantuk luar biasa. Hal ini karena sudah 2 malam
tidak tidur. Maka sesampai di banyuwangi, hal pertama yang saya butuhkan adalah kasur! Saya tidur sangat lelap selama 3 jam di
rumah Mas Baik Hati. Malam hari, saya dan Bayu kembali ke Surabaya menggunakan
kereta api. Hal ini perlu dicatat karena baru pertama kali ini saya naik kereta
api, dan rasanya menyenangkan :). Saya dan Bayu harus berpisah di terminal
Bungurasih Surabaya, saya naik Damri menuju Bandara Juanda, sedangkan Bayu akan
berkunjung ke temannya di Surabaya.
Perjalanan ini sangat keren sekaligus sangat
me-le-lah-kan. Pertama kalinya saya cuek tidur di bandara (bagian luar), dan
tentu saja di atas pesawat, sedangkan kasur adalah satu-satunya hal yang saya butuhkan sesampainya di Kupang. :D
Ya ampun 4 jempol buat lu dan Bayu :D. Keren (dan nekat). Luar biasa. memang perjalananan tanpa rencana tuh seringnya bikin petualangan tambah menarik
BalasHapusHihihi.
HapusMemang agak nekat ini. Butuh istirahat cukup lain kali :)
Keren nona frans......pngen jalan pi sana jg...suatu saat...hehe
BalasHapusBanyuwangi keren, banyak tempt bangs :)
HapusIya semoga bisa...