Berawal dari kami sekeluarga
‘piknik’ ke desa Tuafanu, kecamatan Kualin, kabupaten Timor Tengah Selatan,
NTT, karena kakak saya yang berprofesi sebagai Dokter mendapat tugas dalam
pengobatan gratis disana.
Setelah mengantar ka Sandra di
tempat pengobatan gratis (di sebuah gereja), kami berkunjung ke tempat saudara
di dekat lokasi pengobatan tersebut.
Maka mengalirlah cerita-cerita
dan senda gurau.
Duduk sebentar, salah satu
saudara kami yang tinggal disana, yang bernama Hengky Nuban pergi memetik
beberapa butir kelapa muda.
Menikmati air dan daging belia
kelapa sambil duduk di bawah pohon itu kenikmatan langka.
Ada kejanggalan karena ketika
itu, jam 10 pagi, yang berkumpul menyambut kami adalah para bapak-bapak dan
anak kecil. Di mana para inang?
Lalu mengalirlah cerita unik
sarat makna ini dari mulut bapak Jon Be’is (yang ternyata adalah sepupu jauh
saya!).
Begini ceritanya.
Bulan Agustus seperti ini, pohon
asam mulai berbuah. Berbuah asam tentu saja :D
Ada yang masih muda, ada yang
sudah masak betul.
Maka para ibu-ibu desa Tuafanu
pergi memungut asam yang jatuh di tanah.
Para bapak tidak ikut memungut
asam jatuh karena memungut asam yang jatuh membutuhkan ketelitian dan kesabaran
serta fisik kuat yang biasanya dimiliki mama-mama tangguh.
Karena para mama pergi memungut
asam sejak pagi, maka para bapa tinggal di dalam rumah, menjaga anak yang
ditinggalkan, dan sedapat mungkin memasak dan menyiapkan makanan buat
anak-anak.
Yang unik adalah, memungut asam
di bulan Agustus haruslah asam-asam matang yang sudah jatuh ke tanah karena
tertiup angin. Tidak boleh menggoyang pohon asam agar asamnya jatuh ke tanah.
Haruslah ‘angin’ yang menjatuhkan asam tersebut.
Mengapa?
Karena ada suatu peraturan.
Begini : Memanen asam dengan
menggoyang-goyangkan pohon hanya boleh dilakukan mulai bulan September saja.
Tanggal 1 September tepatnya,
akan diadakan doa bersama sebelum ‘panen-asam-goyang-pohon’. Setelah itu
barulah beramai ramai seluruh masyarakat boleh menggoyang pohon asam agar
buahnya jatuh dan dipanen. Nah, disinilah kebergunaan perkasa lelaki terlihat
saat mereka menggoyang pohon. Baguslah.
Apa hukuman bagi yang
‘panen-asam-goyang-pohon’ sebelum tanggal 1 September atau sebelum didoakan?
Hukumannya lumayan mak! 1 karung
beras dan 1 ekor babi. LUMAYAN YA.
Dengan adanya hukuman ini,
masyarakat tertib tak berani goyang-pohon-asam sebelum waktunya.
Aneh ya? Kenapa ada peraturan
macam begini?
Disinilah letak kebijaksanaan
para pembuat kebijakan desa:
1. Buah
asam baru benar-benar matang seutuhnya pada bulan September. Sebaiknya sudah
matang seluruhnya baru pohon asam digoyang, karena jika belum matang seluruhnya
maka bisa merugi karena asam mentah tak berfungsi, dan bijinya pun belum bisa
diambil. FYI : Biji asam dapat diolah untuk pakan ternak (babi). Kalau pohon
asam digoyang sebelum waktunya, asam-asam mentah ikut jatuh, sementara tidak
dapat digunakan alias sia-sia.
2. Adanya
peraturan ini agar menjauhkan watak ‘keserakahan’ yang sudah lazim di daerah
perkotaan. Di desa, saling bantu, tidak cari untung sendiri, itulah yang
disebut kelaziman. Peraturan ini mengingatkan masyarakat agar tidak ‘siapa
cepat dia dapat’, tetapi semua berhak memanen asam saat sudah waktunya.
3. Bersyukur
pada Tuhan dan pada bumi yang diciptakanNya, ketika pohon asam berbuah pada
musim asam. Tanpa disiram, tanpa dipupuk, asam akan menghasilkan buah, buahnya
dikupas, dikeluarkan biji, keduanya (daging buah dan biji) kemudian dijual,
uangnya untuk makan-minum-sekolah. Trima kasih Tuhan!
Demikian cerita singkat tentang
panen-asam-goyang-pohon.
Satu sisi kita melihat indeks
pembangunan manusia di indonesia yang masih rendah karena persoalan distribusi
tidak merata yang merugikan masyarakat pedalaman sehingga banyak yang tidak
bisa baca-tulis, harapan hidup rendah, pendapatan rendah, dan rendah-dah-dah
lainnya.
Namun sisi lain tentang kebijakan
lokal yang mencerminkan masyarakat yang ‘beradab’ mungkin perlu kita pelajari
dari masyarakat desa yang selalu jadi target intervensi pemerintah dan LSM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar