Kamis, 08 Agustus 2013

Panen-Asam-Goyang-Pohon



Berawal dari kami sekeluarga ‘piknik’ ke desa Tuafanu, kecamatan Kualin, kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, karena kakak saya yang berprofesi sebagai Dokter mendapat tugas dalam pengobatan gratis disana.
Setelah mengantar ka Sandra di tempat pengobatan gratis (di sebuah gereja), kami berkunjung ke tempat saudara di dekat lokasi pengobatan tersebut.
Maka mengalirlah cerita-cerita dan senda gurau.
Duduk sebentar, salah satu saudara kami yang tinggal disana, yang bernama Hengky Nuban pergi memetik beberapa butir kelapa muda.
Menikmati air dan daging belia kelapa sambil duduk di bawah pohon itu kenikmatan langka.
Ada kejanggalan karena ketika itu, jam 10 pagi, yang berkumpul menyambut kami adalah para bapak-bapak dan anak kecil. Di mana para inang?
Lalu mengalirlah cerita unik sarat makna ini dari mulut bapak Jon Be’is (yang ternyata adalah sepupu jauh saya!).
Begini ceritanya.
Bulan Agustus seperti ini, pohon asam mulai berbuah. Berbuah asam tentu saja :D
Ada yang masih muda, ada yang sudah masak betul.
Maka para ibu-ibu desa Tuafanu pergi memungut asam yang jatuh di tanah.
Para bapak tidak ikut memungut asam jatuh karena memungut asam yang jatuh membutuhkan ketelitian dan kesabaran serta fisik kuat yang biasanya dimiliki mama-mama tangguh.
Karena para mama pergi memungut asam sejak pagi, maka para bapa tinggal di dalam rumah, menjaga anak yang ditinggalkan, dan sedapat mungkin memasak dan menyiapkan makanan buat anak-anak.
Yang unik adalah, memungut asam di bulan Agustus haruslah asam-asam matang yang sudah jatuh ke tanah karena tertiup angin. Tidak boleh menggoyang pohon asam agar asamnya jatuh ke tanah. Haruslah ‘angin’ yang menjatuhkan asam tersebut.
Mengapa?
Karena ada suatu peraturan.
Begini : Memanen asam dengan menggoyang-goyangkan pohon hanya boleh dilakukan mulai bulan September saja.
Tanggal 1 September tepatnya, akan diadakan doa bersama sebelum ‘panen-asam-goyang-pohon’. Setelah itu barulah beramai ramai seluruh masyarakat boleh menggoyang pohon asam agar buahnya jatuh dan dipanen. Nah, disinilah kebergunaan perkasa lelaki terlihat saat mereka menggoyang pohon. Baguslah.
Apa hukuman bagi yang ‘panen-asam-goyang-pohon’ sebelum tanggal 1 September atau sebelum didoakan?
Hukumannya lumayan mak! 1 karung beras dan 1 ekor babi. LUMAYAN YA.
Dengan adanya hukuman ini, masyarakat tertib tak berani goyang-pohon-asam sebelum waktunya.
Aneh ya? Kenapa ada peraturan macam begini?
Disinilah letak kebijaksanaan para pembuat kebijakan desa:
1.       Buah asam baru benar-benar matang seutuhnya pada bulan September. Sebaiknya sudah matang seluruhnya baru pohon asam digoyang, karena jika belum matang seluruhnya maka bisa merugi karena asam mentah tak berfungsi, dan bijinya pun belum bisa diambil. FYI : Biji asam dapat diolah untuk pakan ternak (babi). Kalau pohon asam digoyang sebelum waktunya, asam-asam mentah ikut jatuh, sementara tidak dapat digunakan alias sia-sia.
2.       Adanya peraturan ini agar menjauhkan watak ‘keserakahan’ yang sudah lazim di daerah perkotaan. Di desa, saling bantu, tidak cari untung sendiri, itulah yang disebut kelaziman. Peraturan ini mengingatkan masyarakat agar tidak ‘siapa cepat dia dapat’, tetapi semua berhak memanen asam saat sudah waktunya.
3.       Bersyukur pada Tuhan dan pada bumi yang diciptakanNya, ketika pohon asam berbuah pada musim asam. Tanpa disiram, tanpa dipupuk, asam akan menghasilkan buah, buahnya dikupas, dikeluarkan biji, keduanya (daging buah dan biji) kemudian dijual, uangnya untuk makan-minum-sekolah. Trima kasih Tuhan!
Demikian cerita singkat tentang panen-asam-goyang-pohon.
Satu sisi kita melihat indeks pembangunan manusia di indonesia yang masih rendah karena persoalan distribusi tidak merata yang merugikan masyarakat pedalaman sehingga banyak yang tidak bisa baca-tulis, harapan hidup rendah, pendapatan rendah, dan rendah-dah-dah lainnya.
Namun sisi lain tentang kebijakan lokal yang mencerminkan masyarakat yang ‘beradab’ mungkin perlu kita pelajari dari masyarakat desa yang selalu jadi target intervensi pemerintah dan LSM.