Minggu, 24 Mei 2020

How to Unbelieve - 1

We should learn to take religions as jokes and jokes as our religion.
If we are open enough to see things that way, to leave the belief system and see that life is meant to be lived, not to be feared or avoided, we may be closer to being alive. 
We may even be a better human being because for once we are free from sin and judgement. When we do not put people into the boxes of holy and sinner, good and evil, there we might at least un-tag ourselves too, and thus leave us being more kind and gentle: both to ourselves and upon others.

Senin, 18 Mei 2020

Resep Banana Pancake / Pancake Pisang (Tanpa Telur)

Ini resep "kue" gampang yang bisa selesai dalam waktu kurang dari setengah jam :). Praktis dan rasanya comforting.

Bahan-bahan:
1. Pisang masak, semakin masak semakin manis - 5 potong sedang
2. Tepung terigu - sebanyak jumlah pisang (kalau tepung sedikit, pancake jadi lunak, kalau banyak rasa pisang kurang terasa: tergantung selera. Saya suka jumlahnya 50:50 dengan pisang)
3. Sari/susu kedelai - jumlahnya juga bergantung: bisa 100-200 ml, tergantung banyak adonan.
4. Kayu manis bubuk - 1/2 sdm
5. Minyak goreng - 2 sdm untuk dicampurkan dengan adonan dan sedikit untuk menggoreng pancake. Untuk menggoreng pancake, bisa menggunakan margarine jika senang rasa gurih
6. Ekstrak vanila - 1/2 sdt, saya pakai yang cair. saya lebih suka rasa kayu manis yang lebih tinggi dari vanila
7. Garam sejumput
8. Gula pasir atau gula aren 2 sdm (bisa disesuaikan, kalau pisang sudah sangat masak cukup 2 sdm atau bisa dihilangkan juga kalau makannya nanti pakai madu/gula semut)
9. Baking powder 1/2 sdm 

Cara membuat:
1. Kupas dan hancurkan pisang masak secara manual dengan menggunakan garpu di mangkok 1. Setelah rata campurkan dengan minyak goreng.
2. Di mangkok yang berbeda (mangkok 2), campurkan tepung terigu, gula, baking powder, kayu manis bubuk, dan garam.
3. Campurkan isi mangkok 1 ke mangkok 2, aduk-aduk.
4. Tambahkan susu kedelai secara perlahan-lahan. Jika ingin pancake empuk, konsistensinya adonan harus kental seperti bubur bayi: tidak cair.
5. Tambahkan ekstrak vanila, campur rata.
6. Panaskan teflon dengan api kecil supaya masaknya pelan-pelan, kalau punya yang lebar bisa lebih cepat karena bisa membuat 3-5 pancake sekali jalan, tergantung juga ukuran pancake. saya suka pancake yang mini biar nambah terus :D
7. Minyaki teflon: sedikiiit saja, sekali jalan cukup 1 sendok teh. Bisa pakai margarin juga.
8. Ambil pancake dengan sendok sayur, lalu taruh di teflon, sekaligus agak tekan ke kiri-kanan dengan sendok supaya bentuknya bulat.
9. Prosesnya cepat, kalau dengan api kecil mungkin cuma 30 detik-1 menit, segera balik jika sudah kecoklatan di pinggir dan muncul gelembung.
10. Ulangi sampai adonan selesai.
11. Nikmati dengan sedikit madu atau taburan gula aren/gula semut, atau kosongan. Saya suka plain tanpa tambahan apa-apa.

NB: Foto menyusul. 3x buat lupa foto terus wq

Minggu, 17 Mei 2020

Pepaya

Saya senang berkunjung ke pasar tradisional. Saya menikmati suasana pasar. Saya merasa sangat terhibur melihat hasil kebun yang segar-segar ditumpuk-jejerkan di pasar. Aktivitas tawar menawar di pasar juga tidak kalah menarik. Para penjual menawarkan dagangan mereka ke pengunjung pasar yang seliweran, dan calon-calon pembeli yang menawar harga jika dirasa terlalu mahal. Tidak jarang suasana pasar berdesak-desakan dan bising. Motor dan kereta dorong (penggunaan kereta dorong tradisional sebagai kereta "belanja" masih lumrah di pasar Soe maupun Kupang) berusaha menembus gang-gang sempit. Riuh, semarak, dan penuh kehidupan di pasar tradisional.

Setiap harinya produk yang dijual pun berbeda-beda. Ini juga salah satu yang membuat pasar tradisional sangat menarik bagi saya. Saat musim mangga, contohnya, banyak pedagang menjual mangga dengan jenis berbeda-beda dan membuat pasar menjadi beraroma mangga. Begitu juga dengan musim jeruk, alpukat, labu kuning, dan lain sebagainya. Terkadang saya bisa bertemu jenis sayuran atau buah yang unik jika beruntung. Contohnya saat menemukan markisa hutan di Pasar Inpres Soe, buah sawo ungu di salah satu pasar di Bajawa, atau kacang merah kecil-kecil (tak tahu namanya, bukan kacang merah biasa) di pasar utama Waitabula, Sumba Barat Daya. Kejutan dan kemungkinan penemuan-penemuan ini jugalah salah satu faktor yang membuat saya cukup bersemangat untuk main ke pasar tradisional di berbagai tempat.

Salah satu pasar favorit saya adalah Pasar Inpres SoE, di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Menjadi favorit mungkin karena saya punya banyak memori di sana. Saya mengelilingi pasar ini sejak kecil hingga sekarang. Waktu kecil hingga remaja, mama sering mengajak saya ke pasar. Bukan saja untuk membeli berbagai bahan makanan, tetapi untuk hal-hal lainnya seperti memotong/mengecat rambut (dulu mama punya langganan salon di pasar yang dindingnya dipenuhi foto model rambut gaya tahun 80an), makan jajanan dan membuat pas foto di area pasar, membeli pakaian bekas (jaman susah saat SD dulu banyak baju kami yang dibeli di "rombengan" pasar), membeli perhiasan emas (ada satu cincin emas yang mama belikan dan saya pilih sendiri sekitar tahun 2003-2004), membeli perkakas dapur, menjahit pakaian, mencari sepatu dan perlengkapan sekolah di toko-toko Padang, dan banyak sekali kebutuhan hidup keluarga kami yang terpenuhi dari kompleks pasar ini :D.

Selain karena menyimpan banyak memori, berdasarkan pengamatan saya, Pasar Inpres SoE juga terbilang murah dan segar dagangan bahan makanannya dibandingkan pasar-pasar lainnya yang pernah saya kunjungi. Banyak petani kecil atau petani subsisten yang datang langsung menjual hasil kebun mereka dari desa. Masih banyak juga dagangan mereka yang bebas dari pupuk kimia karena tidak diproduksi dalam skala besar. Pasar pun bisa dibilang aman dari berbagai tindakan kriminal. Ditambah lagi penjual yang ramah dan baik-baik, dibandingkan dengan para penjual di beberapa pasar di Kota Kupang, misalnya, yang bisa menjadi culas (judes, jahat) :D. Oleh karena itu, sering kali berkunjung ke Pasar Inpres Soe membuat saya terhibur.

Beberapa hari yang lalu Gideon dan saya berkunjung ke Pasar Inpres Soe, seperti sebelum-sebelumnya kami mencari sayuran dan teman-temannya. Saat kami hampir selesai berbelanja, mata saya tertuju pada beberapa buah pepaya berukuran kecil-sedang yang dijejerkan. Karena mulus serta bentuk dan warnanya bagus, saya pun menanyakan harganya. "Lima belas (ribu)", kata mama penjual (kami memanggil semua wanita paruh baya keatas dengan sebutan mama). Gideon dengan spontan menawar: "Sepuluh (ribu)?" dan karena ada 2 orang mama disitu mereka berdiskusi singkat dan mengiyakan harga 10 ribu untuk 1 buah pepaya. Saya berjongkok memilih pepaya terbaik (kebanyakan penjual berjualan di lantai yang dialasi karung sehingga untuk memilih barang harus berjongkok ria, semoga otot panggul semakin lentur :D). Namun saat itu juga Gideon bilang "Eh sonde, biar 15 sa" (tak jadi menawar, biar tetap membayar 15 ribu saja). Mama penjual hanya tersenyum dan membalas "dari-dari sa" (terserah kalian saja, dasar naq muda wq). Akhirnya kami mengambil pepaya tersebut dengan harga awalnya tanpa menggunakan plastik karena bawaan pun tidak banyak.

Kami harus menunggu 1 hari sebelum pepaya dipotong untuk mencapai kematangan yang pas. Saat mencicipinya kami terbengong-bengong merasakan betapa manis dan harumnya buah tersebut. Itu adalah pepaya terenak yang pernah dimakan Gideon dan saya. Jenisnya pepaya kampung sederhana namun rasanya jauh lebih enak dari pepaya jenis California. Kecintaan saya pada Pasar Inpres SoE pun semakin bertambah :)

Kami lalu mengenang kembali saat pembelian pepaya itu. Gideon bilang, dia tidak jadi membayar dengan harga tawar karena dia tiba-tiba teringat proses yang tidak sederhana bagaimana sang pepaya bisa sampai di pasar. Mulai dari proses menunggu saat yang tepat untuk memanen pepaya. Lalu mama penjual harus membayar ongkos transportasi untuk membawa dagangannya ke pasar. Ditambah lagi dengan kondisi perekonomian sebagian besar pedagang kecil di pasar yang saat ini sedang diguncang badai COVID-19. Semua pedagang Pasar Inpres Soe dibatasi waktu berjualannya hanya sampai jam 2 siang untuk mengurangi interaksi sosial yang memungkinkan penyebaran penyakit. Sebelumnya mereka bisa berdagang hingga gelap. Laku atau tidak jualannya, jam 2 siang pasar sudah harus ditutup. Membayar tanpa menawar mungkin merupakan pilihan terbaik.

Selain petani dan pedagang di pasar, tentu banyak juga profesi lainnya yang terdampak perekonomiannya dari kondisi pandemi ini. Tukang ojek dan freelancer, misalnya, juga pegawai kontrak yang banyak dirumahkan. Jika ditelusuri, terlalu banyak lapisan masyarakat yang harus mengganti definisi kenyamanan ekonominya masing-masing karena situasi ini (kecuali PNS dan pegawai tetap lainnya yang mungkin perlu bersujud syukur tetap digaji seperti biasa).

Kembali ke pasar. Ternyata selain memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, berziarah ke pasar tradisional juga bisa menyuapi kebutuhan spiritual, salah satunya dengan membuat kita lebih sensitif terhadap proses kehidupan dan berbagai fenomenanya di sekitar kita.