Kamis, 17 Juli 2014

Gerson Poyk : Kumpulan Cerpen 'Jerat' dan Novel 'Enu Molas di Lembah Lingko'

Saya merasa bangga karena bisa menikmati 2 buah buku karya sastrawan NTT Opa Gerson Poyk. Buku kumpulan cerpen 'Jerat' penerbit Nusa Indah, Ende, 1978, dan novel 'Enu Molas di Lembah Lingko' penerbit Trimedia, Depok, 2005.

Kumpulan cerpen Jerat yang saya baca adalah milik Taman Baca Bintang Terang, Kapan, TTS, yang saya pinjam dari Ka Dicky. Sedangkan novel Enu Molas di Lembah Lingko saya beli melalui ibu Fanny Poyk, anak pertama dari Opa Gerson Poyk yang singgah ke Kupang beberapa waktu yang lalu. Beruntung saya bertemu Ibu Fanny yang saat itu membawa beberapa novel Enu Molas yang salah satunya saat ini menjadi milik saya.

Novel Enu Molas di Lembah Lingko diterbitkan Opa Gerson Poyk pada usianya yang ke 74 tahun. Menurut Ibu Fanny Poyk, novel tersebut digarap sendiri oleh Opa Gerson, sampai pemasangan covernya juga dilakukan sendiri oleh Opa. Isi cerita novel ini kental dengan budaya NTT. Bukan saja budaya Manggarai seperti yang tercermin dalam judul novel, namun juga berbagai budaya NTT karena Opa Gerson menciptakan tokoh-tokoh novel dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda dan diceritakan secara detail. Mungkin karena latar belakang pendidikan serta pekerjaan Opa Gerson yang sering berpindah-pindah tempat itulah yang menjadikan novel ini kaya dengan sentuhan budaya.

Selesai membaca novel Enu Molas, muncul rasa benci pada tokoh utama laki-laki, Profesor Paul Putak yang sangat cerdas dan brilian namun ternyata lemah terhadap wanita :D. Jengkel sekali rasanya dengan orang (tokoh khayalan) itu. Belum lagi karena Enu Molas, perempuan luar biasa itu pada akhirnya meninggal dunia, meninggalkan Profesor Paul Putak dan gadisnya yang lain. Huh.


Lain cerita dengan Jerat, saya langsung jatuh cinta pada buku ini saat saya mulai membaca halaman pertamanya. Jerat begitu mudah dinikmati karena cerita-ceritanya yang sederhana namun terselip makna dan pelajaran kehidupan yang dalam. Seperti terjerat dalam cerita-cerita pendek yang sangat menarik dengan ending yang sering mengagetkan sampai tidak terasa sudah di halaman terakhir disamping harus mengembalikan buku ini kepada yang empunya. hehe

Di beberapa lembar Jerat terdapat gambar-gambar ilustrasi cerita yang membuat saya semakin menikmati buku kecil ini. Setelah selesai membaca kumpulan cerpen dan novel Opa Gerson, meskipun baru dua buku itu yang saya baca dari karya-karya beliau yang jumlahnya tidak sedikit, tapi saya memiliki kesan bahwa Opa Gerson rupanya cenderung menciptakan ending cerita yang membuat pembaca kaget bin heran, alhasil menjadi ketagihan :)




Juri Lomba Masak Serba Ikan Tingkat Provinsi NTT



‘Bahkan ikan lele dapat diolah menjadi es cendol.’ Terkejut?

Satu Lagi Profesi ‘Aneh’ Saya Lakoni

Tahun 2014 ini semakin menyatakan dirinya sebagai tahun penuh kejutan saat saya kembali melakoni sebuah profesi mengejutkan sebagai seorang ‘Juri Lomba Masak Serba Ikan Tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur Ke-4 Tahun 2014’. Tak habis-habisnya saya berpikir tentang berondongan profesi anyar ini sambil mengucap syukur kepada Sang Pemberi Kesempatan.

Suatu siang yang mengejutkan di bulan Mei 2014, Tanta Mey (adik bungsu dari mama saya) yang bekerja di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Nusa Tenggara Timur menelepon saya. Beliau menanyakan apakah saya bersedia untuk menjadi juri lomba masak serba ikan yang akan diadakan pada bulan Juni oleh DKP. Tanta Mey bilang mereka membutuhkan seorang juri khusus untuk menilai makanan olahan ikan dari aspek gizi. Terkaget-kaget bahagia, saya pun langsung mengiyakan tawaran tersebut.

Mendengar satu kata keramat itu, ‘gizi’, seperti menghidupkan impuls-impuls saraf saya. Satu kata itu mampu memantik gairah lalu menyedot perhatian saya. Cukup lama saya bertanya pada diri saya tentang apa yang menjadi passion dalam hidup saya ini. Sampai suatu waktu dimana perasaan, lingkungan sekitar saya, dan ilmu pengetahuan bersatu untuk meyakinkan saya bahwa gizi lah passion saya.

Kembali pada juri lomba. Surat undangan pertemuan juri dan panitia lomba masak serba ikan itu datang bersama penegasan formal bahwa saya diminta menjadi juri dan juga diminta memberi konfirmasi kesediaan via e-mail kepada panitia lomba.

Saat pertemuan pertama panitia dan juri untuk membahas konsep acara, saya merasa sedikit canggung. Ternyata tim juri terdiri dari 5 orang, yakni 2 orang Professional Chef : Pak Serdy dan Pak Sukana (Executive Chef dari Hotel Sasando dan Hotel On The Rock Kupang), 1 orang akademisi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang bidang pengolahan ikan : Ibu Welma, 1 orang dari Badan Litbang Pusat Ibu Riris, dan 1 orang yang terakhir saya sendiri, seorang (yang sedang belajar menjadi) ahli gizi.  Wow, saya merasa terhormat dan sedikit gugup untuk bersanding bersama orang-orang hebat ini dalam tim juri. Namun ternyata penilaian masing-masing juri berbeda-beda sesuai bidangnya, sehingga saya tidak merasa rendah diri karena saya manilai apa yang saya kenal : nilai gizi.

Ikan Berkumis : Bahan Dasar Menu Keluarga

Menu keluarga, menu balita, dan menu kudapan adalah tiga jenis menu yang dilombakan. Untuk menu keluarga, proses pengolahan dilakukan di tempat acara dalam waktu 1 jam atau live perform (mirip di acara Master Chef itu loh :D). Dalam kurun waktu 1 jam itu, peserta bebas menghasilkan menu keluarga apa saja berbahan dasar ikan lele dan boleh lebih dari satu jenis menu. Sedangkan menu balita dan menu kudapan dipersiapkan dari tempat masing-masing. Yang membuat saya begitu terpukul (haha) adalah, bahan dasar dari menu keluarga adalah IKAN LELE kawan!

Well, sudah beberapa tahun ini saya menolak untuk mengkonsumsi ikan lele. Alasannya mungkin banyak orang sudah paham : tentang habitat ikan kucing (terjemahan lurus dari ‘catfish’) dan tentang makanannya sehari-hari. Ikan lele termasuk ikan yang bertahan dalam berbagai kondisi hidup yang kejam ini. Dia dapat hidup di perairan tawar yang sangat keruh sekalipun dan dia bisa makan apa saja. Faktanya, dia bisa mengkonsumsi kotoran/hajat/feses! Wow. Namun kali ini sudah terlambat, saya sudah mengiyakan untuk menjadi juri lomba, maka saya pun mau tidak mau kali ini harus makan lele dengan asumsi pribadi bahwa ikan lele yang dipersiapkan DKP sebagai bahan dasar menu keluarga adalah ikan-ikan yang dibesarkan secara terhormat. Amin. 

Sedikit lega karena kedua menu lainnya, menu balita dan menu kudapan tidak harus berbahan dasar lele, tapi hasil laut dan perairan apa saja. Bisa rumput laut, cumi, kakap, dan lain sebagainya. Huft. Sebenarnya bahan dasar yang ditentukan dari pusat adalah dari ikan Patin. Tapi woi! Ikan patin di NTT mau diambil dari mana woi! Jadilah setelah berdiskusi, untuk NTT ikan yang digunakan untuk menu keluarga adalah ikan yang masih berkerabat dekat dengan patin, yakni lele.

Hari H : Lomba Masak, Bergelimang Makanan, Saya Suka!

Pada hari yang ditentukan, Jumat, 20 Juni 2014 mulai jam 8 pagi ibu-ibu PKK sudah sibuk membopong perkakas, properti, bumbu masak, dan makanan yang sudah jadi untuk di-display. Acara lomba masak ini diselenggarakan di Waterpark Kupang. Karena ini merupakan lomba tingkat provinsi NTT, maka para peserta datang dari perwakilan kabupaten/kota di NTT, meskipun tidak semuanya bisa hadir. Dari total 22 kabupaten/kota di NTT, yang hadir mengikuti lomba 13 kabupaten/kota. Sebelum mereka berangkat ke perlombaan provinsi, sebelumnya mereka juga telah berlomba tahap awal di kabupaten masing-masing, sehingga yang dikirim ke perlombaan provinsi adalah pemenang lomba tingkat kabupaten. Nantinya, yang akan dikirim untuk berlomba ke tingkat nasional adalah yang menjadi pemenang di tingkat provinsi.

Menu-menu yang disajikan membuat saya takjub. Memang dari segi penampilan tidak begitu menggemparkan, tapi dari sisi inovasi dan rasa banyak yang keren! Puding ikan pelangi, es cendol ikan lele, sushi, pai ikan, roti sosis ikan raja, muffin lele, catsmokefish cassava, dan lainnya sampai membuat saya melayang bahagia dikelilingi berbagai jenis makanan! Sayang tak sempat bagi saya untuk memotret satupun makanan, karena pekerjaan menilai satu persatu membutuhkan segenap konsentrasi tanpa bisa multitasking. Maklum, masih amatir :).

Aspek gizi yang saya teliti adalah persen penggunaan ikan atau hasil laut dalam menu, jenis-jenis bahan makanan lokal yang ditambah dalam menu, jenis pengolahan makanan, kesesuaian menu dengan tujuan, dan penambahan bahan tambahan makanan. Jadi, sebenarnya cita rasa tidak menjadi bagian penilaian saya, tapi, sebagai juri, saya juga tidak mau ketinggalan hebohnya dan mewahnya mencicipi makanan-makanan terbaik sebelum para pejabat mencicipi makanan tersebut. Hahaha. Jadi sambil menilai saya juga ikut makan-makan bahagia. Satu ‘keistimewaan’ saya adalah saya senang mencicipi dan menikmati masakan orang lain karena saya tidak begitu menikmati masakan yang saya masak sendiri.

Aspek-aspek yang dinilai oleh juri lainnya adalah unsur kreatifitas atau inovasi, penyajian, cita rasa, higienitas atau keamanan makanan, dan keterampilan memasak. Waktu menilai yang relatif singkat dibandingkan jumlah menu seabrek-abrek, ada yang untuk satu jenis kategori menu bisa mencapai 3 jenis hidangan berbeda. Kalau satu meja ada lebih dari 5 jenis masakan, maka 13 meja bisa dikalikan sendiri. Para juri lainnya sudah sangat berpengalaman dalam bidang ini. Mereka terlihat begitu santai dan profesional, saya suka bekerja bersama mereka!

Pada akhirnya dilakukan rekapitulasi nilai dan penentuan juara 1 sampai juara 6. Pemenang lomba masak serba ikan tingkat provinsi NTT adalah kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)! Wah bahagia saya semakin berlipat ganda. TTS adalah kabupaten kelahiran saya, namun tentu saja saya menilai dengan sangat objektif. Hehe. Para chef juga mengakui bahwa meja 3 (kabupaten TTS) memang lebih baik dari yang lainnya.
Juri lomba masak tingkat provinsi terkesan suatu profesi yang keren sekali. Saya benar-benar sangat beruntung bisa menjadi bagian dalam tim juri tersebut.

Tahun 2014 masih punya 5 bulan lagi. Entah kejutan apa lagi yang sudah menunggu di depan sana.

Salam Kejut Ikan Lele,
NF.

Kupang, 17 Juli 2014
Tim Juri Lomba Masak Serba Ikan Tingkat Provinsi NTT Ke 4 Tahun 2014. Ibu Riris dari Litbang Pusat tidak ikut berfoto.
Kiri ke kanan : Pak Sukana (Executive Chef Hotel On The Rock), Ibu Welma (Akademisi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang Bagian Pengolahan Pangan Ikan), Saya, dan Pak Serdi (Executive Chef Hotel Sasando)

 Name Tag Juri :)

Selasa, 01 Juli 2014

REFLEKSI SI DOSEN AMATIR



Bulan April 2014 merupakan waktu pertama kalinya untuk saya melakoni profesi sebagai seorang dosen. Karena ini adalah kali pertama saya mengajar di perguruan tinggi, dan karena profesi dosen masih anyar buat saya, maka saya pun menyebut diri saya sendiri ‘Si Dosen Amatir’. Selama hampir 3 bulan lamanya profesi ini saya jalani, dan memang hanya 3 bulan juga saya dijadwalkan mengajar sesuai dengan kontrak perkuliahan untuk mata kuliah ‘Gizi pada Ibu dan Anak’.

Masih terheran-heran rasanya, kok bisa-bisanya saya menjadi dosen? Ya bisa lah, malah kontraknya sudah selesai saya jalani dengan selamat. Hahaha. Nah karena masih segar dalam ingatan bagaimana saya menjadi dosen, maka saat ini, saya, si dosen amatir, hendak melakukan refleksi kecil-kecilan.

Jadi dosen itu bukan main-main : perlu banyak belajar dan persiapan

Mau tidak mau, sebelum mengajar ya harus belajar dulu sebanyak-banyaknya. Belajar bukan hanya sebatas teori saja. Teori maupun praktek sama-sama pentingnya. Misalnya saja ketika saya mengajarkan tentang defisiensi yodium, materi ini baru akan menjadi hidup bila disertai dengan pengalaman nyata pernah berhadapan dengan masyarakat dimana prevalensi gondoknya tinggi. Jadi, menurut saya, menjadi dosen dengan embel-embel gelar pendidikan tinggi itu baik, bahkan keren dan berkelas, namun alangkah lebih baik jika diimbangi dengan pegalaman yang matang. Alangkah lebih baik jika pengajar tidak saja mengajarkan teori dan penelitian terbaru, melainkan berbagi pengalaman nyata. 

Disini saya bersyukur, saya memiliki bekal pengalaman dari beberapa kegiatan-kegiatan di waktu yang lalu mengenai gizi masyarakat . Pengalaman-pengalaman tersebut sangat menolong saya ketika saya berusaha menjelaskan teori kepada para mahasiswa. Pengalaman tersebut juga membantu saya menjelaskan apa-apa saja hal-hal yang perlu dipahami oleh mahasiswa, sekalipun hal-hal tersebut tidak dituliskan di silabus mata kuliah. Karena saya belum lama terjun di dunia kerja, maka pengalaman saya tidak begitu banyak. Mungkin di waktu kedepan, jika akan menjadi seorang pengajar (lagi), maka saya dapat menjadi pengajar yang lebih matang dari sisi pengalaman nyata di masyarakat.

Dari segi teori, saya rasa materi yang saya persiapkan sudah cukup lengkap dengan mengutip dari sumber-sumber terpercaya. Proses persiapan materi seperti sebuah tantangan bagi saya untuk memberikan yang terbaik. Namun tetap saja saya merasa kurang maksimal dalam mempersiapkan teori. Sesungguhnya jika saya menyediakan waktu yang lebih panjang dalam proses persiapan materi-belajar kembali-membaca-mencari-update info terbaru-desain slide, mungkin materi yang saya sampaikan akan lebih berisi dan lebih mudah dipahami. Saya akui, slide saya (selain yang berisi gambar) memang agak membosankan dengan tampilan standar : huruf calibri (ogah ganti-ganti karena makan waktu), dan background solid colour (biar bisa dipakai untuk semua halaman slide). hehe

Jadi dosen itu harus lihai, telaten dan sabar

Namanya juga manusia, kapasitas masing-masing individu tentu berbeda-beda. Demikian juga para mahasiswa. Pakaian seragam yang digunakan hanya menyeragamkan tampilan saja, tapi tidak dengan intelejensi, daya serap, kecepatan memahami materi, perhatian, konsentrasi, karakter, dan lain sebagainya. Seorang dosen perlu pandai-pandai membaca situasi kelas dan secara lihai melakukan transformasi teknik mengajar. Contohnya ketika sedang mengajar, mahasiswa terlalu ribut atau bahkan terlalu tenang, maka perlu secara cepat menganalisa penyebab situasi semacam ini. Terkadang hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, contohnya LCD yang tidak dapat digunakan, secara kreatif berpikir bagaimana mengatasi hambatan seperti itu.

Menjelaskan sesuatu kepada mahasiswa butuh ketelatenan dan kesabaran. Biasanya mahasiswa yang duduk di barisan depan adalah orang-orang yang cukup baik dalam memahami kuliah. Lain halnya dengan mahasiswa yang memilih duduk di pojokan yang tidak dapat terjangkau sudut mata dosen. Kadang perlu waktu ekstra untuk menjelaskan sesuatu kepada mahasiswa yang kurang mampu memahami secara cepat. Nah menghadapi kenyataan ini, saya membuka kelas khusus untuk mahasiswa yang minta diajari lebih detail secara gratis dan terbuka. Sedia snack pula. Lokasinya bisa nego lho. Kurang mulia apa coba? Hehe. Untuk poin ini saya merasa saya sudah cukup bersabar dan telaten. Semoga saya disayangi Tuhan. Amin.

Jadi dosen bisa mabuk saat koreksi tugas dan hasil ujian

Berbekal idealisme saya untuk membuat soal ujian dengan jenis jawaban singkat dan uraian (yang lumayan banyak, ada hitung-hitungannya pula), maka saya mendapat hadiah tumpukan kertas hasil ujian yang cukup membuat saya merasa mabuk dan mual saat mengoreksi. Well, sebenarnya saya tidak pernah merasa seperti apa mabuk alkohol itu, tapi mabuk laut dan mabuk darat pernah. Jadi kira-kira seperti itulah rasanya memeriksa jawaban ujian 120an mahasiswa ditambah lagi dengan tugas yang juga banyak. Jadi jika untuk mahasiswa di akhir soal ujian biasanya dituliskan “Selamat mengerjakan, semoga sukses”, punya dosen kira-kira “selamat mengoreksi, jangan lupa minum antimo”

Jadi dosen (di bidang kesehatan) wajib berpakaian rapi

Hal ini jujur saja berat buat saya. Saya mencintai kebebasan berpakaian. Menggunakan busana formal menurut saya tidak bebas. Saya yang biasanya sehari-hari bekerja dengan kaos-jeans-sepatu/sendal, kali ini mau tidak mau harus berpakaian rapi. Beruntung saya masih memiliki modal celana kain 1 lembar. Satu-satunya celana kain saya ini yang menghantarkan saya mulai awal mengajar sampai akhir, tanpa pengganti celana atau rok lainnya. haha. Dan saya terpaksa membeli sebuah sepatu wedges, yang tidak begitu saya sukai, untuk menunjang penampilan dan menghindarkan saya dari menggunakan celana kain dan sepatu sneacker. Yuk, mari.

Jadi dosen (kontrak) keuangannya kurang terjamin

Nasib keuangan seorang dosen kontrak tidak menentu. Dosen kontrak yang malang kurang diperhatikan kesejahteraannya. Jangan berharap dibayar setiap bulan layaknya dosen tetap. Dosen kontrak atau dosen luar biasa memang dituntut untuk luar biasa bersabar karena upah mengajar diberikan satu kali di akhir semester. Sampai saat ini saya belum dibayar, harus menunggu beberapa bulan sampai selesai semester barulah (menurut mereka) honor saya diberikan. Maka jangan berharap untuk hidup sebagai seorang dosen (kontrak) semata, sangat disarankan memiliki pekerjaan lain (yang cukup fleksibel) untuk menunjang kehidupan. 

Demikianlah sedikit refleksi saya yang sedikit mengarah ke curhat sebagai seorang dosen amatir. Saya tak lupa minta teman-teman mahasiswa untuk memberikan evaluasi berupa kesan dan pesan terhadap perkuliahan gizi melalui tulisan singkat di kertas-kertas mungil. Dan kira-kira begini tulisan mereka:

‘Materi lengkap’
‘Ibu kurang tegas’. Banyak sekali yang bilang saya perlu lebih tegas terutama bagi yang datang terlambat.
‘Ibu cantik’. Kyaaa. Kirim cium jauh. Haha
‘Ibu terlalu baik’. Ini konotasi negatif, menurut mereka saya kurang gahar. Semoga pengurus program studi juga baik pada saya :’)
‘Tepat waktu’. Senangnya bisa tepat waktu mengajar, walau kadang-kadang harus lari-lari cantik supaya tidak terlambat masuk kelas.
Mahasiswa yang cenderung masuk tidak tepat waktu : “Pertahankan kebaikan ibu”. Mahasiswa yang datang tepat waktu “Ibu harus lebih tegas, beri hukuman pada yang terlambat”. Iki piyeeee?
‘Perlu ada kuis di setiap akhir perkuliahan’. Boleh juga usul ini.
‘Cara mengajar ibu menarik’, ‘santai’, ‘tidak membedakan mahasiswa’, ‘ceria’, ‘mudah dimengerti’. Okedehhhh.
‘Ibu perlu berjalan ke belakang kelas’. Iyasih, kurang keliling-keliling kelas.
‘Ibu terlalu banyak bergerak’. Waduh, terlalu bersemangat apa ya? Hahaha
‘Buat kami, ibu yang terbaik’. Dudududu, ini gombal atau apa? Yang penting materinya kesampaian ya, saya sayang kalian semua, mahasiswa-mahasiswa perdana ku!

Penutup refleksi : Pertanyaan untuk diri sendiri.

Kalau satu saat kemudian ada kesempatan atau tawaran untuk kembali menjadi dosen, diterima atau tidak?
Meski penuh tantangan, menguras pikiran, perasaan, waktu, bahkan dana, dan harus berpakaian ala wanita dewasa yang serius, tapi ada kepuasan saat mentransfer pengetahuan dan pengalaman serta kecintaan terhadap dunia gizi kepada mahasiswa. Jadi jawaban saya, mungkin akan diterima. :)

Kupang, 1 Juli 2014

 Atas permintaan mahasiswa, kami foto bersama di akhir masa perkuliahan. 
Saya di tengah, diselamatkan oleh sepatu 7 cm.