Minggu, 19 November 2017

Lanjutan Teh Kesukaan: Mengunjungi Rumah dan Kebun Teh

Imperial Tea Court, San Fransisco

Seperti cerita sebelumnya di Teh Kesukaan, saya sangat menikmati teh akhir-akhir ini. Saya ingin berbagi kelanjutan cerita pengalaman pribadi minum teh.

Mengikuti napsu insting menikmati teh, saya berkunjung ke sebuah rumah teh bergaya Asia/Cina yang fancy di Ferry Plaza, San Fransisco. Pada waktu itu saya sedang berlibur di San Fransisco setelah didera berbagai tugas mahasiswa. Di SF, saya berencana pergi ke toko-toko yang menjual produk lokal seperti farmers market (farmers market adalah kecintaan saya <3 <3). Saya temukan Ferry Marketplace di Google Map dengan rating yang tinggi dan sayapun berangkat kesana. Sebagai info, saya selalu percaya dengan rating bintang di amazon, google, dan berbagai situs online lainnya.

Saya tidak pergi sendirian melainkan bersama teman baru saya, Fabienne. Kami berkenalan di Green Tortoise Hostel, tempat penginapan hipster dan murmer tempat kami tinggal. Fab berasal dari salah satu kepulauan di Madagaskar. Keren kan? Syukurnya, hostel kami tidak jauh dari Ferry Marketplace, hanya jalan kaki 20 menit. Lokasinya di jajaran "Pier" San Fransisco dengan nomor awal, tidak susah ditemui. Ferry Marketplace ternayata bangunan cukup mewah yang menampung toko-toko kecil yang unik. Dari coffee shop lokal, toko dessert ala prancis, toko makanan sehat, toko perlengkapan rumah tangga berbahan kayu, sampai rumah teh.

Begitu melihat rumah teh Imperial Tea Court, saya dan Fabienne seperti tersambar petir kekaguman. Tidak disangka, kami berdua sama-sama penyuka teh. Waktu itu, satu lagi teman baru kami, Daniel, sudah bergabung. Daniel belum tau banyak tentang teh, tapi beliau tertarik ingin mencoba. Kami bertiga pun masuk ke rumah teh Imperial Tea Court.

Seperti fotonya dibawah, Imperial Tea Court didesain dengan suasana Asia dan Cina khususnya. Perabot, dekorasi, musik, dan para pelayan membuat kami lupa bahwa kami sedang berada di salah satu pusat kota San Fransisco. Disini, puluhan jenis teh dihidangkan dan dijual. Menariknya, cara menghidangkan teh dilakukan seperti budaya minum teh tradisional Cina, dengan menggunakan teko dan cangkir yang khusus.

Pelayan mendemonstrasikan bagaimana cara menyeduh teh dengan keramik-keramik mungil. Kami diberi bekal satu teko air panas mendidih dari tanah liat (bisa diisi ulang), masing-masing satu cangkir penyeduh berisi teh pesanan kami, dan cangkir untuk minum. Pertama, air panas dituang ke dalam cangkir penyeduh, lalu tutup cangkir penyeduh dan tunggu beberapa detik agar daun teh berbaur dengan air panas. Kemudian pegang cangkir penyeduh dengan kedua tangan dengan posisi kedua jempol menahan penutupnya, sisakan sedikit cela untuk air. Lalu balik cangkir penyeduh dan posisikan teh yang tumpah persis di cangkir minum. Segera minum teh seduhan saat masih panas. Begitulah sekilas "ritual" menyeduh teh. Kalau ingin menambah, tinggal diulang lagi prosesnya dari menaruh air panas kedalam cangkir penyeduh.

Kami bertiga menikmati upacara kecil kami sambil bercerita santai. Waktu itu saya memesan Jasmine White Tea, Fabbiene memesan semacam Black Tea, dan Daniel memesan Pu erh Tea. Kami mencicipi teh kami dan teh teman kami :D. Milik saya, tentu saja sangat floral dengan aroma jasmin yang sangat kuat tetapi tetap terasa lembutnya teh putih. Punya Fab lebih berat dan sepat tentu karena jenisnya teh hitam. Yang paling unik adalah teh Daniel. Itu memang pertama kali saya cicipi teh Pu erh. Sangat kuat dengan karakter earthy, seperti ada sensasi tanah. Itu dikarenakan jenis teh tersebut biasanya sudah difermentasi beberapa tahun (bisa sampai puluhan tahun) sebelum dihidangkan.

Untuk harga, tidak bisa dibilang murah. Harga teh tentu bervariasi bergantung jenis teh. Teh yang kami pesan masing-masing berkisar $US 12-15, belum termasuk tip tentunya. Disana juga tersedia berbagai snack dan panganan untuk melegkapi upacara minum teh. Kami tidak memesan karena cukup mahal untuk kantong kami. Kami pun keluar dengan bahagia karena pengalaman mewah tadi dan juga sedikit rasa lapar. Untungnya di depan toko ini ada stand yang menjual bakpao panas langsung dari steamer dan spring roll goreng yang juga masih panas lengkap dengan saosnya. Kami langsung menyerbu tanpa ampun mengingat harganya masing-masing cuma sekitar 3 dollaran :p.

Imperial Tea Court di Ferry Building Marketplace, San Fransisco
(Sumber: ferrybuildingmarketplace dot com)



Teko tanah liat berisi air panas dan cangkir penyeduh teh di Imperial Tea Court, SF


Kebun Teh Kemuning, Jawa Tengah (dekat Solo)

Semua berawal dari kunjungan saya ke kota Solo di bulan Juli 2017. Kunjungan ke Solo merupakan lanjutan dari kunjungan ke Pati. Di Pati saya khusus menghadiri teman karib saya sejak SMA, Iche, yang menikah. Di Solo saya berkunjung ke teman akrab saya juga sejak kuliah, Bonita.

Saya jatuh cinta dengan kota Solo. Saya tidak tahu apa ini kebetulan yang saya temui selama saya disana, atau memang demikian adanya. Saya temui Solo sebagai kota yang nyaman, ramah, dan lembut. Entah bias entah apa, tapi saya ingin berkunjung lagi kesana. Demi bertemu lagi dengan jiwa-jiwa yang lembut dan makanan yang juga enak-enak :D.

Saya diajak plesir oleh Bonita yang demi kedatangan saya rela mengajukan cuti selama beberapa hari. Kami berkunjung ke pantai bersama teman-teman Bonita yang manis-manis. Mereka kebanyakan berjenis kelamin laki-laki yang entah dididik seperti apa sehingga mereka begitu ramah, lembut, dan sopan. Sayang usia mereka masih muda-muda :p :p. Saya senang dan menghargai kelembutan dan kesopanan yang tidak dibikin-bikin <3

Salah satu tujuan berkelana kami adalah ke kebun teh Kemuning. Dari Solo, kami berangkat pagi sekitar jam 6 dengan harapan sampai di Kemuning masih sepi. Ternyata betul, setiba disana matahari baru naik dan embun masih basah. Jauh dari pusat kota, udara yang dihirup sangat segar dan sejuk. Kami menarik napas panjang sambil terpesona dengan pemandangan yang sangat mendamaikan itu. Kalau saya tinggal di Solo, jika sumpek melanda, saya mungkin akan ke kebun teh ini untuk bernapas. Kemuning sendiri tidak begitu jauh dari pusat kota Solo. Karena cukup ngebut, waktu perjalanan kami dari kota tidak sampai 1 jam.

Setelah berfoto ria di sekitaran kebun, kami mampir ke salah satu warung teh di pinggir jalan. Disini banyak warung-warung lesehan dari bambu sepanjang kebun teh. Tersedia juga toilet umum. Kami memesan sarapan ditemani teh panas asli kemuning yang sepat. Minum teh Kemuning dengan pemandangan kebun teh yang asri adalah sesuatu yang patut disyukuri.

Kebun Teh Kemuning di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah 

Rumah Teh Ndoro Donker, Kemuning-Karanganyar

Setelah dari kebun teh Kemuning, kami berkunjung ke Candi Cetho yang cantik dan berkabut. Sepulang dari Candi Cetho, kami pun mampir ke Rumah Teh Ndoro Donker (RTND). RTND berlokasi di daerah Kemuning, masih di area kebun teh Kemuning. Rumah teh ini bernuansa kebarat-baratan atau mungkin ke-Belanda-an. Mulai dari nama dan logonya, perabotan, dekorasi, sampai makanan yang dihidangkan. Memang bukan konsep lokal, tetapi saya senang dengan suasana dan karakter rumah teh ini. Di dalam gedung nuansanya putih dan memikat, cocok untuk minum-minum cantik. Sedangkan dibagian luar tenda-tenda berjejer bersebelahan langsung dengan kebun teh, sejuk dan lebih santai.


Rumah Teh Ndoro Donker. Sumber: merdeka dot com

Kami memesan beberapa jenis teh, yaitu Teh Raja, White Tea, dan Forest Tea.White tea atau teh putih yang kami pesan hampir tidak terasa. Memang alaminya teh putih itu sangat lembut dan halus karena merupakan kuncup termuda daun teh dan dikeringkan tanpa proses fermentasi, namun yang kami dapatkan di cangkir kami hanya beberapa helai teh putih yang disajikan dalam sebuah teko kecil sehingga rasanya hambar. Saya mengerti memang harga teh putih sangat mahal. Tapi kalau terlalu sedikit pun rasa-rasanya tak berbeda jauh dengan minum air panas saja.

Meski demikian, saya puas dengan teh raja dan forest tea nya. Teh raja hampir seperti teh Oolong rasanya, mild dan aromatik. Sedangkan yang paling menarik hati saya, forest tea, adalah racikan rempah-rempah yang sangat menarik. Selain daun teh, terdapat kayu sacang, kayu manis, dan campuran rempah lainnya. Saya sangat suka teh ini! Kaya rempah, warnanya merah cerah berkat kayu sacang, dan rasa yang kuat dari campuran rempah-rempah. Kalau berkunjung kesini lagi, saya pasti akan memesan kembali Forest Tea :). Snack yang dihidangkan juga enak-enak. Singkong, tahu, atau bitterballen, sangat cocok menemani minum teh sore.

Terdapat toko suvenir di Ndoro Donker. Saya membeli sebungkus teh lokal Kemuning yang dijual disana. Rasanya sepat dan sedikit aroma hangus. Mungkin memang demikian hasil teh dari Kemuning, karena yang saya cicip di warung bambu sepanjang kebun teh juga rasanya mirip.

Kemuning memang indah, peaceful, sejuk, dan menarik. Minum teh di warung bambu atau di rumah teh kebarat-baratan masing-masing mempunyai sensasi yang berbeda <3.


Peace Tea dari Mountain Rose Herbs

Demi menunjang kedamaian hati dan pikiran, saya memesan teh damai atau Peace Tea dari Mountain Rose Herbs saat saya masih di Kansas. Peace tea adalah campuran dari beberapa tanaman yaitu bunga chamomile organik, daun spearmint organik, bunga lavender organik, kayu manis organik, bunga markisa (passionflower) organik, dan bunga mawar organik. Terdengar sangat mendamaikan bukan? :D

Campuran teh ini diracik oleh ahli teh di Mountain Rose Herbs dan bahan-bahan tersebut sudah terbukti atau dipercaya mampu memberikan efek rileks bagi tubuh dan pikiran. Saya sempat minum beberapa kali. Rasanya minty dan aromanya sangat menenangkan. Saya sendiri lebih suka aromanya daripada rasanya :D. Mungkin karena rasa mint yang lebih dominan. Karena saya hanya minum beberapa kali, saya hibahkan sisanya yang masih 90% ke teman saya Zaw yang sepertinya juga sedang membutuhkan kedamaian. Semoga beliau cocok.

Peace Tea by mountainroseherbs dot com


Begitu dulu perjalanan menjelajahi dunia teh. Besok-besok, teh apa lagi ya yang akan dicoba? :)

NB: Kalau ingin lebih memahami rasa teh, sebaiknya minum teh tanpa gula. Saya hampir selalu menyeduh teh tanpa gula untuk menikmati rasa asli teh <3

Senin, 18 September 2017

Panggilan Peregangan - A Call for Stretching

Sekarang ini semakin banyak orang menyadari pentingnya beraktifitas fisik. Bukan hanya orang-orang di kota besar saja yang semakin sering berolahraga. Di kota-kota yang lebih kecil seperti kota Kupang misalnya, masyarakat mulai melek olahraga (physical literate - dari physical literacy). Kupang yang dulu tak begitu banyak terlihat orang-orang berolahraga di tempat umum. Sekarang ini kalau sore hari main ke taman nostalgia, ada banyak masyarakat yang berolahraga, terutama jogging. Bukan hanya itu, klub-klub kesehatan dan fitness center semakin banyak dilirik. Mungkin saja suatu saat pusat-pusat kebugaran akan semakin menjamur di Kupang, menyaingi jumlah cafe-cafe kekinian dan pitrat plus-plus.

Alasan pendorong fenomena ini tentu bermacam-macam. Ayah saya yang berusia 60 tahun berjalan kaki setiap pagi hari buta (jam 4 subuh) sepanjang kurang lebih 6km untuk menjaga kebugaran tubuh yang semakin hari semakin rentan terserang berbagai sindrom metabolik. Anak-anak muda mungkin berusaha membangun otot-otot yang tertidur, atau mengurangi tumpukan lemak di bagian-bagian tertentu - urusan penampilan. Atau ada juga yang berolahraga sebagai bagian dari pembenahan fisik-mental-spiritual, seperti saya yang kehipster-hipsteran ini :p. Intinya, dengan beragam motivasi, masyarakat tua muda semakin gencar olahraga.

Saya senang melihat perubahan ini. Olahraga yang dilakukan dengan baik tentu banyak manfaatnya: lebih bugar, daya tahan fisik meningkat, resiko banyak penyakit berkurang, lebih percaya diri, dan lebih bahagia (ada hormon-hormon yang dilepaskan setelah berolahraga yang menciptakan perasaan bahagia). Oleh karena itu, baik menurut saya jika melihat orang-orang yang memprioritaskan sebagian waktu dan energinya untuk merawat diri dengan melatih tubuh.

Saya ingin berbagi pengalaman pribadi dalam beraktifitas fisik. Sebelumnya, catatan ini sepenuhnya bersifat testimoni pribadi (macam sista-sista di online shop), bukan panduan whatsoever :D. Sejak kecil, olahraga bukanlah prioritas dalam keluarga. Di sekolah, kalau ada pertandingan, saya sudah biasa jadi anak bawang atau pemain cadangan (kecuali di gerak jalan, atau lompat tali yang saya lumayan ahli :p).

Kesadaran berolahraga timbul mula-mula saat kuliah di Malang. Tidak sering, tapi saya lumayan suka jogging. Memasuki tingkat akhir, saya dan teman saya Winda bahkan mendaftarkan diri di fitness center yang merupakan fasilitas kampus. Namun prakteknya tidak dibarengi kedisiplinan. Ditambah juga dengan jurusan kami yang cukup sibuk ke tempat-tempat terpencil untuk berbagai praktek. Sejak saat itu, saya sudah tertarik ingin mengikuti kelas yoga, namun terhambat fasilitas transportasi.

Lalu saat kuliah di Manhattan-KS, saya diherankan dengan minat olahraga dari sesama pelajar maupun masyarakat umum. Mereka "gila" olahraga di segala musim dan waktu! Bukan sesuatu yang asing jika tengah malam saya masih temui orang-orang jogging dalam perjalanan pulang dari perpustakaan ke rumah. Fitness center dan lapangan-lapangan yang merupakan fasilitas kampus selalu ramai dipenuhi berbagai aktivitas. Trotoar jalan yang memang lebar dipakai untuk lari, sepeda, dan skating. Tentu saja saya heran karena hal ini bertentangan dengan fakta-fakta yang saya ketahui sebelumnya, seperti angka obesitas yang tinggi di Amerika. Memang benar angka obesitas tinggi, tetapi mungkin persentasinya lebih besar di kalangan sosial menengah kebawah.

Di fitness center kampus, ada berbagai fasilitas dan kelas yang ditawarkan. Sebut saja yoga dan zumba. Semua perlengkapan dan kelas boleh diikuti secara gratis. Saya sempat ikuti beberapa kelas disana. Masa- masa saya disanalah ketertarikan dan kesadaran saya akan pentingnya berolahraga semakin memuncak. Mungkin saja ini dipancing karena lingkungan saya yang gemar olahraga itu.

Dari semua cabang dan jenis olahraga, yang paling menarik minat saya dari awal adalah yoga. Saya sejak dulu tidak (belum) pernah berminat dengan semua olahraga yang melibatkan bola atau raket :D. Yoga sudah menarik perhatian saya sejak kuliah di Malang dulu, namun baru Manhattan-lah saya pertama kali mengikuti kelas yoga. Walaupun fasilitas sudah tersedia, saya lagi-lagi tidak disiplin. Mungkin minder karena banyak hal yang saya belum pahami, mungkin juga karena tidak cukup sabar dengan proses pembelajaran yang butuh ketekunan dan waktu yang panjang.

Meski begitu, saya tetap bertekad untuk meneruskan pembelajaran. Saya membeli yoga mat. Saya menonton video yoga berjam-jam :p dan men-download video tutorialnya. Saya membeli yoga pants yang ternyata yaampun enak sekali dipakai! (Sampai sekarang saya pakai yoga pants kemana-mana :p). Walaupun sesungguhnya tidak butuh (alasan untuk membeli) pakaian khusus untuk memulai latihan :D.Jangan sampai pakaian yoga >> latihan yoga :p.
Lalu saya belajar sendiri  di kamar saya. PERHATIAN: belajar yoga sebaiknya bersama instruktur terpercaya karena gerakan yang keliru dapat mengakibatkan cedera). Satu hal yang saya sadari di awal pembelajaran adalah betapa kaku dan tidak fleksibelnya tubuh saya :p.

Kesadaran akan tubuh yang tidak fleksibel atau lentur itu awalnya membuat hati menjadi ciut. Menurut pendapat saya, mungkin kesadaran akan tubuh yang tidak cukup fleksibel adalah salah satu alasan mengapa banyak yang menyerah pada yoga diawal masa belajar. Tetapi saya tidak menyerah. Saya latihan terus walaupun saya harus berkeringat dan gemetaran hanya untuk mendekatkan kepala ke lutut (sampai sekarang pun masih gemetaran :D). Hal penting yang saya pelajari disini adalah bahwa tidak butuh tubuh yang fleksibel untuk mempelajari yoga. Kemudian, kelenturan tubuh setiap orang berbeda-beda, dan semua dapat meningkatkan fleksibilitasnya dengan cara latihan secara rutin.

Salah satu yogi idola saya, Laruga Glaser.
Sumber: instagram larugayoga


Seperti layaknya pembelajar yoga, saya melakukan banyak stretching atau peregangan. Saat melakukan gerakan-gerakan stretching itulah saya sadar betapa banyak bagian tubuh saya sangat kaku. Seringkali kita "mengancing" bagian-bagian tubuh kita tanpa disadari dalam beraktivitas maupun berolahraga. Akibatnya otot-otot menjadi kaku dan tidak lentur. Disini, stretching berperan seperti pengurai simpul-simpul yang terikat. Memang pada mulanya stretching bisa mengakibatkan bagian tubuh menjadi sakit. Namun jika dibiasakan, perbedaan akan bisa dirasakan. Otot-otot berangsur rileks (demikian juga pikiran) dan bisa lebih "aware" akan postur tubuh. Seperti ada alarm yang berbunyi jika kita berada di postur yang kurang tepat. Stretching juga menghindarkan kita dari resiko cedera saat beraktivitas.

Berikut salah satu panduan stretching dari seorang mas cakep di YouTube: Klik disini

Anehnya, setelah melakukan stretching sekian waktu, saya mulai menemukan kenikmatan dari peregangan tubuh ini. Saya menemukan nikmatnya merasakan otot-otot tertarik. Sungguh nikmat dan rileksnya sampai-sampai saya pernah jatuh tertidur setelah melakukan sesi yoga yang menekankan stretching. Panduan YouTube-nya klik disini. Lalu jika satu atau dua minggu saya tidak melakukan stretching sama sekali, tubuh saya seperti merengek minta ditarik-tarik :D. Stretching (dan bagi saya juga tentu saja yoga) ternyata nagih. Saya sebut ini sebagai "panggilan peregangan".

Saya merasa lebih bugar dengan rajin melakukan stretching (dalam praktik yoga). Seperti terkoneksi kembali dengan tubuh saya. Memang saya tidak sekonyong-konyong menjadi orang yang lentur. Saya sadar saya bisa lebih fleksibel dengan rutin melatih tubuh. Tentu saat ini saya sudah lebih fleksibel jika dibandingkan saya saat awal berlatih dulu. Ada beberapa gerakan yang saya sadari sudah mengalami kemajuan (walaupun hanya beberapa milimeter mungkin). Namun kembali lagi, dengan lebih "aware" tadi, saya bisa lebih mengenal bagian-bagian tubuh saya, dan semoga tetap rajin berlatih menjadi lebih baik, karena masih banyak sekali yang harus dipelajari.

Salam peregangan :* <3

PS: Setiap orang punya ketertarikan akan aktifitas fisik yang berbeda-beda. Bagi saya mungkin Yoga. Tapi banyak orang yang tidak cocok dengan latihan yang "diam di tempat". Walaupun masing-masing punya minat yang bervariasi, stretching tetap layak dicoba :)

PSS: saya masih setia menonton yogi-yogi berlatih sambil bermimpi satu waktu bisa menjadi seperti mereka :3


Kamis, 22 Juni 2017

A Wish

May all beings everywhere
Be happy and free ♡♡♡



Picture was taken in Central Park, NYC, July 2016

Sabtu, 08 April 2017

Langit Biru 2

Kamu adalah langit biru yang bijak
Jika ada sedikit mendung mengganggumu
bukan karena kurang biru pesonamu
Mungkin ada awan yang ingin menumpang tangis.


Hale Library, Kansas State University


Manhattan, Kansas
Sausai Presentasi Akhir,
7 April 2017

Minggu, 02 April 2017

Maret yang Sibuk

Bulan Maret 2017 adalah bulan penuh peperangan bagi saya. Semua puncak tugas, laporan, kerja magang, dan tenggat waktu berpusat di bulan ini. Tidak ada sela untuk menunda lagi, bahkan untuk tidur lebih dari 6 jam saja langka. Sedangkan dingin masih menusuk diluar. Banyak ide yang perlu dituangkan di dalam bentuk laporan. Tapi menenangkan pikiran ternyata tidak mudah jika dalam sekali waktu dihadapkan dengan lima tugas besar yang berbeda.

Pagi ini saya bangun, menyadari ini sudah April, walau tugas tidak akan berhenti sampai saya benar-benar lulus, saya cukup lega. Saya bertahan. Saya bersyukur karena saya bertahan. Saya sudah berperang sampai di titik ini. Melawan pesimisme. Melawan keengganan. Melawan rasa malas. Melawan rasa mengantuk. Melawan batas-batas fisik. Melawan distraksi. Melawan berbagai perasaan yang menghalangi saya untuk bekerja.

Saat ini saya ingin mengambil waktu untuk berterima kasih dan menghormati. Untuk doa, dukungan, sandaran, kesabaran, kasih sayang, penguatan, kerja keras, dorongan, bantuan tak terhingga dari semua sekeliling saya dan diri saya sendiri.

Selamat jalan, Maret yang sibuk, Maret yang gila, Maret yang penuh peperangan.
Kita bertemu dalam puncak-puncak kritis dan harmoni yang unik.

Peak after Peak

Berkali-kali saya dengar lagu John Mayer, "War of My Life", mungkin karena lagu ini cukup mewakili perasaan saya:

"I'm in the war of my life
At the door of my life
Out of time and there's nowhere to run

I'm in the war of my life
I'm at the core of my life
Got no choice but to fight 'till it's done

So fight on (I won't give up)
Fight on everyone (I won't run)"

"War of My Life" by John Mayer



Manhattan, Kansas.
1 April 2017

Selasa, 21 Maret 2017

Bagaimana Mungkin Saya Tidak Jatuh Cinta pada Musim Semi

Merayakan hari pertama musim semi 2017, berikut saya bagikan beberapa foto mekarnya awal semi tahun ini. Saya pencinta musim semi. Setelah berbulan-bulan musim gugur dan salju dimana semuanya cokelat, kelabu, dan dorman, musim semi mendorong kuncup-kuncup bermunculan, warna-warni kembali, bunga-bunga sibuk bereproduksi, menebarkan bau harum yang menggoda, aroma energi kehidupan.

Kuncup-kuncup putih yang bermunculan serentak pada sebuah pohon

Kalau bunganya diperbesar, seperti ini tampilannya :)

Bunga Magnolia Pink

Tangkai Magnolia Pink

Pohon Magnolia yang Dipenuhi Bunga 

Magnolia Pink mencerminkan self-care and keutuhan


Favorit saya: Magnolia Putih

Magnolia Putih mencerminkan pemenuhan spiritual, awakening, dan kedamaian

Gentle White Magnolia
"Magnolia, you sweet thing. You're driving me mad" (JJ Cale)

Kuncup dan bunga Magnolia mekar

Kampus dan Magnolia

Pertemuan Winter dan Spring

Tupai-tupai keluar mencari makan

Tampak depan Dickens Hall

Kuncup Magnolia

Magnolia Putih

Dancing Petals

Magnolia bunga yang mirip bunga teratai/lotus

Seperti Magnolia, bunga Daffodils adalah contoh bunga yang muncul
di awal musim semi

Daffodil putih dengan "terompet" oranye

Tupai-tupai asik mengendus makanan

Mekarnya bunga Hyacinth Pink: sangat dreamy!

Semua foto saya ambil di area kampus Kansas State University. 
Saya harap foto bisa menjelaskan kecantikan bunga-bunga ini serta suasana musim semi. Hanya saja, mereka jauh lebih cantik dan ajaib daripada yang bisa saya tampilkan.
Bagaimana mungkin saya tidak jatuh cinta pada musim semi?!
Selamat merayakan kehidupan <3

Manhattan, Kansas,
Hari pertama musim semi 2017, Senin 20 Maret.

Minggu, 26 Februari 2017

Snowflakes

Snowflakes atau kepingan salju menurut saya adalah salah satu hal paling indah dan magical di dunia ini. Mungkin karena bentuk heksagonalnya yang sempurna dengan fiturnya yang putih transparan dan berkilauan. Ditambah lagi momen jatuhnya yang sangat graceful.

Snowflake yang mendarat di mantel saya <3

Bertemu dengan snowflakes itu untung-untungan. Tidak semua hujan salju menurunkan snowflakes. Terkadang yang jatuh saat salju adalah bulatan-bulatan air seperti pasir, bukan dalam bentuk heksagonal yang tipis. Ini sangat bergantung pada faktor-faktor seperti lapisan temperatur dan kekuatan angin.

Winter kali ini cuacanya berbeda dengan kali lalu. Salju turun di pertengahan Desember dimana suhu sangat dingin (mencapai minus 20 celcius) disertai angin kencang. Saya lebih banyak memilih tinggal di rumah saja. Memasuki Februari, anehnya, cuaca menghangat dan tidak ada lagi tanda-tanda salju turun. Bahkan terkadang suhu mencapai diatas positif 20 celcius. Banyak orang bilang winter kali ini "hangat",  salju yang turun pun tak banyak.

Saya juga bersyukur saja dengan suhu yang mulai menghangat. Namun terkadang rindu juga dengan salju karena saya akan pulang ke Indonesia pertengahan tahun ini. Tidak tahu kapan lagi bisa nikmati salju. Maka saat kemarin (24/2) pagi (siang sih :p) saya bangun tidur dan melihat di jendela ada salju turun, saya kegirangan bukan kepalang. Tanpa cuci muka dan sikat gigi, saya segera pakai legging winter, mantel, sarung tangan, dan penutup telinga untuk menikmati salju kaget itu. Tidak lupa saya membawa kamera saya.

Salju kemarin sangat spesial. Pertama, kemungkinan itu salju terakhir untuk winter kali ini. Yang kedua, salju kemarin itu banyak snowflakes-nya!!!! Saya pun semangat jepret sana jepret sini.
Baru kemudian saya sadari, memotret snowflakes ternyata tidak mudah. Ukurannya yang kecil, mudah diterbangkan angin, dan gampang cair membuat saya sulit mengambil gambar mereka. Apalagi suhunya dingin, maunya cepat-cepat jepret saja. Alhasil foto blur dan goyang jauh lebih banyak dari yang baik.

Berikut saya tampilkan foto-foto kemarin. Foto-foto ini sangat jauh sekali dari snowflakes yang asli, tidak mampu menampilkan kecantikan mereka. Tapi setidaknya bisa menyimpan memori saya. 

Dua snoflakes mungil


Ukuran snowflakes yang sangat kecil


Masing-masing snowflake punya karakteristik yang berbeda-beda


Yang ini bentuknya mirip bunga


Di latar kontras mereka terlihat lebih jelas


Salah satu foto yang cukup jelas











Kalau ada matahari mereka bisa bersinar-sinar








Tampak jauh: tidak semua snowflakes mendarat dengan ukuran sempurna.
Kalau mereka mendarat terlalu keras, bentuknya langsung hancur

























Thank you for showing up so gracefully, till we meet again, Snowflakes :* <3

NB:
Sebagai penghibur mata yang lelah karena banyak blur, ini foto snowflake yang super real dari fotografer Rusia, mas Alexey Kljatov:

Real Snowflake Macro Photo by Alexey Kljatov @ 500px(dot)com