Jumat, 28 Maret 2014

Soe, 1994-2014



Sekitar tahun 1994 – Memori pertama
Memori pertama saya dimulai saat saya berusia kurang lebih 3 tahunan mendekati 4 tahun. Momen saat saya belajar menuliskan huruf E. Menurut saya (waktu itu), huruf E ditulis dengan menarik garis lurus vertikal, kemudian menarik garis horisontal sebanyak-banyaknya sampai memenuhi garis vertikal tersebut. Seperti ini:

Saya belum menyadari keberadaan tempat dimana saya berada.

Sekitar tahun 1995 – Rumah baru
Saya berusia 4 tahun ketika saya mulai menyadari kami punya rumah baru yang masih belum rampung tapi sudah bisa ditempati.

Pertengahan 1995 – Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita
Kelas pertama saya dimulai di TK Dharma Wanita. Sepertinya saya terlambat didaftarkan. Semua teman-teman memakai baju seragam, saya memakai baju broit misis kembang warna pink. Mama memantau di luar kelas, saya gelisah mencari-cari mama di sekeliling orang asing.

Pertengahan 1996 – Lora dan Erni
Saya masuk sekolah dasar GMIT  Soe 1, tempat yang asing lagi buat saya. Kelas penuh sesak, 1 meja dan 1 bangku untuk 3 siswa. Saya punya 2 teman duduk, saya di tengah, Lora dan Erni di kiri dan kanan saya.

1996-1997 – Min
Min adalah kesayangan saya. Pagi-pagi papa mengantar saya ke sekolah, pulangnya Min menjemput. Saya senang pulang dengan Min, dia baik hati. Mama hanya menitipkan Rp.150 untuk uang bemo kami berdua, tapi  Min kadang merelakan Rp.50 atau Rp.100 miliknya untuk membelikan saya kue tameang dan kue segi tiga di Toko Sinar Put’ain. Kami berdua turun bemo di Tugu Adipura lalu jalan kaki sampai rumah sambil saya berceloteh tentang kejadian di sekolah.

1997 – Kupang - Muntah
Kupang itu dimana? Saya terus menerus bertanya kepada mama padahal kami sudah di Kupang sejak tadi. Menurut saya Kupang itu hanya 1 tempat dan 1 lokasi saja. Sehingga ketika kami berpindah tempat dan masih saja berada di Kupang, saya bingung dan terus protes pada mama dalam berbagai pertanyaan. Masih kecil dulu kalau ke kupang pasti muntah. Mama selalu sabar menangani kami dan mempersiapkan loyor beserta plastik-plastik kecil sebelum ke Kupang.

1997-2002 – Saudara Perempuan
Saya punya kakak perempuan yang senang memicu pertengkaran. Setiap mama pulang kantor mama dapat laporan-laporan tentang kakak yang begini, atau adik yang begitu. Kami jarang akur, lebih sering berteriak dan menghina satu sama lain. Riuh dan gaduh sekali suasana waktu itu. Kasihan mama yang selalu menjadi ‘hakim’ atau pelerai kami.

1997-1998-Saya tak ingat jelas – Ulat Gala-gala, Min, dan Berta.
Min dan Berta teman bermain saya sehari-hari. Mereka cerita tentang banyak hal kepada saya, saya juga sebaliknya. Di sebelah rumah kami sangat banyak pohon gala-gala dan pohon petes (lamtoro). Ternyata, di dalam pohon gala-gala yang sudah lumayan besar batangnya, berdiam ulat besar yang kami sebut dengan ulat gala-gala. Dia sangat gendut, panjangnya seperti jari kelingking orang dewasa, berwarna pink, dan jalannya lambat. Saya tertarik pada ulat ini. Min dan Berta saya paksa untuk memburu ulat gala-gala setiap sore. Saya ingat ekspresi geli mereka saat mereka memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang batang pohon gala-gala dan mendapati liuk ulat didalam batang.

1998 – Suka
Sejak kapan kamu mulai tertarik pada lawan jenis? Kalau saya sejak umur 7 tahun, kelas 2 SD.

1998 – Papa yang heroik
Suatu malam saat semua sudah tidur, saya bangun karena rasa sakit yang luar biasa di bagian dalam telinga saya. Saya berteriak sejadi-jadinya. Mama bangun dan kebingungan. Papa juga bangun dengan tergesa-gesa, bertanya kepada saya apa yang terjadi, dan melakukan sesuatu yang heroik : mengoleskan air ludahnya sendiri ke sekeliling telinga saya. 1 menit kemudian, saya merasa ada yang merayap keluar dari dalam telinga saya. Serangga berbahaya sepanjang 1,5 cm. Mungkin dia keluar karena mencium  bau air ludah papa di luar telinga. Saya selamat. Sejak saat itu, papa menjadi sosok pahlawan yang keren buat saya.

1999 – Auricularia auricula
Atau jamur kuping. Jamur kuping kami temukan di belakang rumah. Kami panen dan saya penasaran seperti apa rasanya. Setelah ditumis dengan bawang putih, lada, dan garam, ternyata lezat rasanya.

1999-2002 – Nancy
Selain Min dan Berta, saya punya teman akrab bernama Nancy. Dia lincah dan kuat. Dia mandiri dan sering menginap berhari-hari bahkan berminggu-minggu di rumah kami. Kami tumbuh bersama, bermain masak-masakan dan lompat tali. Bersama kami menelusuri padang kecil di kiri rumah dan mencari tanah liat di kanan rumah.

1999 – Gerak jalan
Kaki-kaki kecil kami kuat berjalan. Menempuh berkilo-kilo meter dalam lomba gerak jalan menjelang peringatan kemerdekaan RI. Saya termasuk yang berpostur paling kecil tapi beberapa kali dipercayakan memimpin gerak jalan. Kiri! Kiri! Kiri, kanan, kiri!

2001 – Adik Laki-laki
Saya mengira saya anak bungsu hingga saya berusia hampir 10 tahun dan saya punya adik laki-laki! Adik saya sangat lucu dan montok. Saya bahagia punya adik bayi karena dulu sering bermain dengan bantal dan loyor berpura-pura punya adik bayi. Favorit saya adalah adik bayi ketika baru bangun tidur, terlihat pasrah dan mengantuk, sangat menggemaskan.

2002 – Putih Biru
6 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk membuat putih merah menjadi sangat nyaman dan putih biru terasa canggung. SLTP Negeri 1 Soe, tempat yang asing lagi, dengan orang-orang yang lebih beragam.

2002-2005 – Jajanan
Mie tiga, tameang satu! Saya berteriak memesan snack di Ibu Jemi. Istirahat di sekolah hanya 15 menit, sedangkan kantin penuh sesak dengan siswa kelaparan yang berlomba-lomba mengisi perut. Ibu Jemi menjadi tujuan saya karena makanannya bersih dan enak. Beliau hanya menjual bungkusan kecil bihun (mie) dan kue tameang (weci). Masing-masing seharga Rp.250. Jadi dengan seribu rupiah, perut kecil kami puas dengan Mie 3 Tameang 1, plus sambal gorengnya yang berminyak.
Satu lagi yang merogoh kocek diatas seribu rupiah, yaitu bakso SMP 1. Mungkin dia punya nama sendiri, tapi kami menyebutnya begitu.

2002-2005 – Kuat Jalan Kaki
Anak-anak Soe waktu dulu rupanya kuat berjalan kaki. Ketika saya ingat perjalanan saya dulu, jalan kaki pergi-pulang sekolah berturut-turut dalam sehari karena ada les tambahan, jalan kaki ke pasar, jalan kaki ke bank, rasanya lumayan jauh juga, tapi saya tidak pernah mengeluh. Ini mungkin yang menjadi dasar saya kuat berjalan kaki, hingga selesai kuliah pun sehari-hari jalan kaki.

2005 – Kaki Ramping
Pertama kalinya hidup berpisah dengan orang tua. Saya melanjutkan SMA di pulau Jawa, di kota Malang. Saya senang memperhatikan orang dari bentuk kaki dan betisnya. Di sini betis-betis mereka gemuk-gemuk. Saya ingat kaki-betis kami di Soe, kaki kami kurus dan ramping. Apakah betis besar itu dapat kuat berjalan seperti betis-betis kami?

2010an – Nilai, sapi, dan anak perempuan
Ada kalimat yang saya dengar dari seorang teman : ‘Di Soe, lebih baik (atau gampang?) piara sapi dari pada piara anak perempuan.’ Lucu sekali kedengarannya. Kalimat ini saya kaitkan dengan pergaulan anak yang semakin tidak mudah dikontrol oleh orang tua. Mungkin saja minimnya kegiatan-kegiatan positif menjadikan sebagian anak remaja melampiaskan energinya pada hal-hal yang mungkin nilainya negatif. Sedangkan piara sapi tentu saja bisa lebih mudah. Sapi sepertinya tidak mengemban nilai-nilai tertentu.

2012 – Swalayan dan Se’i babi
Tak banyak perubahan di kota Soe sejak saya tinggalkan tahun 2005. Hanya saja sekarang bermunculan swalayan-swalayan baru, dan beberapa rumah makan Se’i babi. Orang-orang menikmati berbelanja dengan mencomot-comot sendiri dan menggotong barang-barangnya ke kasir, seperti juga menikmati daging asap berlemak dipadukan sambal Lu’at.

28 Maret 2014 – Saat Ini
Saat saya ingin menuliskan tentang kota Soe, yang muncul dalam ingatan saya adalah patahan-patahan memori pohon petes, ulat gala-gala, Nancy, dan patahan lainnya. Saya belum kenal Soe, TTS, dengan baik. Mungkin ada saatnya untuk saya lebih memahami Soe, karena saya sendiri adalah orang Soe meski darah yang mengalir tak murni darah Timor.
Soe bagi saya adalah orang tua, saudara, teman, masa kecil, jajanan, dingin, jalan kaki, pohon gala-gala, kabut, tanah liat, bermain, dan banyak lagi. Soe adalah rumah.

Tulisan ini dibuat menjelang ulang tahun Forum Soe Peduli yang pertama. Berharap FSP terus berkembang menyebarkan semangat positif kaum muda kota Soe. Bersama berkarya untuk Soe, TTS.
Selamat ulang tahun FSP!

Selasa, 18 Maret 2014

Sedihku pada NTTku



Beberapa waktu belakangan ini saya merasa sedih dengan kemalangan-kemalangan yang melanda NTT tercinta. Kesedihan pertama disebabkan karena kasus human trafficking atau perdagangan manusia yang sasarannya adalah masyarakat NTT. Digunakan kata perdagangan karena manusia yang diperdagangkan itu sudah tidak dianggap manusia lagi, tetapi sebagai komoditas yang mendatangkan keuntungan bagi yang menjualnya. Peminatnya sungguh banyak, terutama di daerah-daerah yang perindustriannya berkembang pesat. Para pengusaha kota besar seperti Medan rupanya senang membeli ‘komoditas’ NTT. Bukan karena kerjanya bagus, namun karena ‘komoditas’ NTT biasanya bersedia bekerja serabutan tanpa tugas pokok yang jelas dengan bayaran minim. Belakangan ada sesumbar yang menyatakan perdagangan manusia bahkan terdengar sungguh sopan. Yang sesungguhnya terjadi lebih tepat dinamakan peternakan manusia. Maksudnya? Karena perlakuan terhadap manusia yang diperdagangkan itu layaknya sapi. Menunggu hingga remaja, lepas dari induknya, atau menunggu hingga anak putus sekolah lalu dijual kepada majikan di kota besar. Majikan pun memperlakukan mereka seperti bukan manusia, tapi sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari manusia. Beberapa budak yang tak kuat fisik dan mental meninggal sia-sia, bahkan ada pula yang mencoba bunuh diri. Miris. Saya lantas bertanya apa yang merupakan akar dari mirisnya keadaan ini.

Uang akar permasalahan

Demi mencari uang. Begitu saja. Baik dari sisi yang diperdagangkan maupun yang memperdagangkan, semua akar penyebab mengarah kepada kebutuhan akan uang. Pertanyaannya adalah, bagi masyarakat di kampung, apakah tidak ada jalan lain untuk mencari uang selain menjadi budak di tanah orang? Dan bagi penyalur ‘komoditas’, apakah caramu meraup uang harus dengan menjual saudara sendiri, merayu sedemikian rupa dengan iming-iming gaji besar dan makan gizi, lalu menukar haknya sebagai manusia merdeka dengan uang (berapa besar jumlahnya saya tidak tahu)?
Itu kesedihan pertama saya.

Kesedihan kedua adalah kesedihan akan tanah-tanah terindah, surga-surga NTT yang sekarang bukan lagi milik kami melainkan milik orang asing, yang sekali lagi memandang tanah NTT sebagai komoditas. Hanya saat tanah-tanah surga kami sudah di lelang di dunia maya oleh orang asing, dan hasil pemetaan menunjukkan siapa sebenarnya yang menguasai pariwisata NTT, barulah kita tercengang dan menangis (dalam hati).

Harusnya orang NTT tahu betapa sakralnya nilai tanah itu. Betapa kepemilikan tanah menunjukkan identitas sebagai orang merdeka. Tuan tanah yang agung, semakin luas tanah yang dimiliki semakin besar kuasanya atas wilayah tersebut. Lalu mengapa menjual kuasa dan kemerdekaan kita pada para bule dan artis? Kepada pengusaha yang jelas ingin mengeruk surga kita? Berapa sih iming-iming yang ditawarkan? Apakah iming-iming lebih besar dari harga diri kita sebagai manusia merdeka?

Ataukah mungkin hidup semakin sulit. Biaya kesehatan begitu mahal karena dengar-dengar Jamkesda sedang carut-marut dialihkan ke BPJS (yang berbayar). Saat sakit harus membayar, tak punya tabungan hanya punya tanah. Mari tuan ambil tanah kami, supaya kami bisa bayar rumah sakit, dan makan beberapa hari, lalu tak boleh sakit lagi seumur hidup kami, apa lagi yang kami punya?

Solusi

Berpendidikan.
Saya bermimpi anak-anak NTT mengecap pendidikan hingga jenjang SMA atau kuliah. Bermimpi anak-anak NTT menjadi manusia cerdas yang tidak mudah dirayu menjadi budak di tanah orang atau tergiur iming-iming investor yang melirik tanah kita.

Bergizi
Saya bermimpi kita merdeka dari masalah-masalah gizi dan kesehatan yang akan menggiring pada kemiskinan. Miskin-kurang gizi-miskin. Seperti rantai setan yang terus membelenggu kita. Bermimpi kita merdeka untuk makan makanan yang bergizi. Biar jagung dengan kacang, biar ubi dengan labu, asal kita makan cukup.

Betapa saya mencintai NTT, tanah lahir saya. Dari butir padi mu, nutrisi tanahmu, dan hasil lautmu saya dikenyangkan, dari budayamu saya dididik, dari jagung yang terus tumbuh menembus himpitan karang saya belajar kuat.
NTT ku sayang, Apa yang bisa kulakukan untukmu?