Selasa, 07 April 2015

Menapaki Pantai dan Gunung di Banyuwangi Januari 2015

Berada di pulau Jawa bagian Timur, saya tertarik mengunjungi kabupaten Banyuwangi. Kabarnya, pantai-pantai dan punggung Ijen-nya menawan.

Pantai Pulo Merah, Banyuwangi, Januari 2015



Ke Jawa Gratis
 
Bepergian ke Banyuwangi adalah sebagai pelipur lara bagi saya yang disarankan (diharuskan) mengikuti tes ulang TOEFL IBT. Tes TOEFL IBT (Internet Based Test) merupakan salah satu langkah untuk memperjuangkan beasiswa ke luar negeri. Sebelumnya, akhir Oktober 2014 saya sudah melewati tes ini di Jakarta. Namun karena ‘diperlukan skor yang lebih kompetitif’ untuk bisa melamar ke universitas di luar sana, maka saya kembali didaftarkan untuk mengikuti tes yang sama sekali lagi di Surabaya akhir Januari 2015. 

Untungnya (saya sering menemukan berbagai untung dalam kondisi sulit), tes yang mahal itu digratiskan oleh pihak AMINEF, meskipun ini merupakan tes ulang saya. Tidak hanya itu, tiket PP Kupang-Surabaya, berikut hotel sudah di booking-bayarkan dengan rapi. Terima kasih AMINEF!

Karena biaya tiket pesawat ke pulau Jawa bagian timur ini saya dapatkan secara cuma-cuma, maka saya berpikir sayang jika tidak saya manfaatkan untuk bertemu sahabat atau sekedar jalan-jalan, mungkin bisa menonton bioskop (NTT belum punya, kabarnya akan segera punya. Semoga). Saya sempat mencari tahu beberapa tempat yang bisa dikunjungi di sekitar Surabaya maupun Jawa Timur. Salah satu yang membuat saya penasaran adalah Kabupaten Banyuwangi. Menurut beberapa sumber, pantainya-pantainya menawan. 

Sahabat Karib
Surabaya sendiri tidak begitu asing bagi saya karena sudah cukup sering saya kunjungi. Ditambah lagi ada sahabat saya disana, Iche, sahabat karib semasa SMA. Kabar baiknya, Bayu, sahabat masa kuliah saya juga menyempatkan diri mampir ke Surabaya untuk bertemu saya. Saya pikir akan sangat menyenangkan bertemu kedua orang baik ini. 

Iche dan Bayu, keduanya adalah sahabat yang kalau mereka muncul tiba-tiba didepan saya dengan sepasang sayap di punggung mereka, saya tidak akan kaget. Mereka begitu baik pada saya, serupa malaikat saja. Suka duka banyak saya lewati bersama mereka. Sifat (baik) yang mirip diantara kedua makhluk ini membuat saya berpikir untuk menjodohkan mereka berdua. Sayang sekali, Iche sekarang sudah punya tunangan. Sayang sekali. Bukan (atau belum) jodoh.

Setelah berhasil menaklukkan puluhan soal IBT yang membuat saya mual-mual rasanya, akhirnya saya bertemu juga dengan Iche! Terakhir kami bertemu di Desember 2012. Dara 24 tahun asal Sitiharjo ini menjemput saya dengan motor maticnya. 

Iche mengendarai motor matic hijaunya bagaikan pembalap profesional di jalanan Surabaya yang padat dan diantara ‘pembalap-pembalap’ lainnya. Saya selalu heran dengan orang-orang di kota besar, berkendara serupa sedang mengejar-ngejar sesuatu, salip kiri salip kanan. Huh. Memang paling santai hidup di NTT.
Kami berbagi banyak cerita di jalan. Iche tak henti-hentinya nyerocos tanpa kehilangan konsetrasi berkendara ala pembalap. Kami tertawa-tawa dan saling menimpali sambil Iche mengarahkan perjalanan ke salah satu mall sebagai titik temu kami dengan Bayu. Saat itu hari minggu dan ampun-ampun ramai sekali mall itu. Banyak nian anak ABG yang setelah kami telusuri, pada saat itu JKT48 mengadakan konser tepat di mall tersebut. Buanyak buanget manusia, terutama anak SMP dan SMA maupun dari kalangan matang usia yang gemar menonton belasan remaja putri yang imut beraksi di panggung secara menggemaskan.

 Iche dan saya di salah satu mall di Surabaya (Pengambil Gambar: Bayu Agus)

Iche yang berprofesi sebagai bidan mengatakan dia menyesal tidak bisa berlama-lama menemani saya karena jadwal prakteknya begitu padat. Saya memaklumi itu, profesi sebagai tenaga kesehatan (terlebih bidan) memang tidak bisa fleksibel bepergian. Tinggallah Bayu dan saya. Kami merencanakan perjalanan mengunjungi Banyuwangi menggunakan travel malam itu juga.

Pantai Pulo Merah, Banyuwangi

Ini adalah kali pertama baik bagi saya maupun teman saya Bayu berkunjung ke Banyuwangi. Saya merasa yakin datang ke tempat ini karena Bayu punya teman yang tinggal di Banyuwangi. Kami dijemput oleh Mas Baik Hati (temannya Bayu, saya lupa namanya, akan saya cari tahu). Mas ini mempunyai warnet di Banyuwangi, tidak jauh dari stasiun kereta api Rogojampi. Kami pun mampir ke rumahnya untuk mandi dan bersiap diri. Memang indah jika punya teman di banyak tempat. Teman selalu bisa jadi rumah.

Mas Baik Hati meminjamkan motor matic lengkap dengan STNK nya untuk Bayu dan saya pakai berkeliling. Pagi itu tanpa sempat tidur, kami langsung menjelajahi Banyuwangi menuju pantai Pulo Merah/Pulau Merah. Sebelumnya, saya pastikan apakah Bayu memiliki SIM. Syukurlah dia punya. Bukan apa-apa, hanya malas berurusan dengan polisi saja. Malas saja. Pokoknya malas. Hahaha. 

Dimulailah perjalanan kami. Banyuwangi ternyata SANGAT SUBUR dan ASRI! Hijau sawah sepanjang mata memandang, setiap kebun maupun pekarangan rumah dipenuhi dengan buah naga yang gemuk-gemuk. Kata penduduk, tanaman ini cukup di-stek saja, ditancapkan begitu saja, dan biarkan sumber gizi tanah Banyuwangi menyubur-nyuburkan tanaman ini sampai menghasilkan buah yang ranum. Favorit saya adalah buah naga merah (ada juga yang putih, sedikit masam). Segar!

Sambil menikmati pemandangan yang asri, dari jauh kami menangkap pemandangan yang kurang menarik. Terlihat polisi lalu lintas melakukan pengecekan kelengkapan berkendara alias ‘tilang’. Tilang adalah kegiatan rutin polisi dalam mencari-cari kesalahan pengemudi; semakin banyak kesalahan, semakin berbahagia para polisi. 

Kami dengan percaya diri merelakan diri kami diperiksa. Di saat itulah kami melongo ketika ternyata SIM Bayu sudah kadaluwarsa. Ampun. Lalu kami digiring ke sudut yang agak tersembunyi. Seperti beberapa penilangan yang saya saksikan, sang polisi kali ini juga menjelaskan bahwa kami melanggar aturan lalu lintas dan sebenarnya kami harus disidang bla bla bla. Kemudian ada jeda yang menegangkan. Lalu Bayu dengan gerakan yang sangat halus dan profesional (sepertinya sudah sering), meletakkan uang Rp.50.000 di atas nota tilang. Polisi puas, kami pun lega melanjutkan perjalanan. Wah, murah juga disini. Di Kupang, polisinya sombong, maunya Rp.100.000.

Sesampai di pantai Pulo Merah, kami disambut dengan udara cerah panas terik, langit biru terang, dan ombak bergulung-gulung. Panasnya lumayan serius. Kami menyewa kursi dibawah payung sambil menikmati minum air kelapa dan menonton orang-orang berselancar. Pantai ini ombaknya cukup berlapis untuk dijadikan area surfing, namun tidak juga terlalu tinggi, sehingga cukup banyak orang datang berlatih surfing disini. Mereka adalah para turis mancanegara. Saya selalu heran bagaimana para turis dari berbagai negara bisa sampai di pelosok-pelosok pantai di nusantara ini.
 Pantai Pulo (Pulau) Merah, Banyuwangi

 Kakak-kakak Surfer

 Santai ;) 
 (Pengambil gambar paling bawah: Bayu Agus)

Cukup lama kami menghabiskan waktu di pantai Pulo Merah. Cukup lama untuk membuat saya iri melihat Bayu yang bisa tidur nyenyak sementara saya tidak. Waktunya makan siang, kami memutuskan untuk beranjak dan mencari tempat makan yang menggoda kami di perjalanan tadi. Nama rumah makannya ‘Ikan Bakar Banyuwangi’. Suasana rumah makan tenang karena dirancang berupa gazebo di sebelah hamparan sawah. Kami makan dengan rakus dan kalap sebelum kembali lagi ke Banyuwangi kota.
Perjalanan memang melalui beberapa belokan-belokan. Namun, kami tidak tersesat karena selalu ada penunjuk jalan baik itu menuju Pulau Merah, dan sebaliknya kembali ke Banyuwangi. Kami sempat singgah membeli buah naga merah yang ternyata sangat murah. Satu kilo harganya tidak sampai Rp.10.000. Di supermarket, 1 buah harganya mencapai puluhan ribu rupiah. 


Buah naga segar habis panen yang dijual di pinggir jalan dengan harga murah

Menapaki Ijen

Tiba kembali di Banyuwangi sudah sore. Antara capek dan masih ingin jalan-jalan. Saya dan Bayu berembuk untuk tujuan berikutnya. Satu hal di Kabupaten Banyuwangi yang membuat saya tertarik adalah Gunung Ijen. Saya sangat ingin kesana. Bayu, teman saya adalah tipe orang nekat. Dia tidak mempertimbangkan apapun seperti jarak ke Ijen, kondisi fisik, waktu tempuh, dan lainnya. Dia meyakinkan saya untuk tetap ke Ijen. 

Hari sudah malam ketika kami memutuskan untuk kesana. Di sebelah warnet milik Mas Baik Hati, terdapat perguruan Kera Sakti. Pemimpinnya perguruan adalah seorang bapak yang sangat ramah dan senang bercanda. Beliau dan murid-muridnya menggambarkan peta jalan menuju ke kawasan Ijen. Dengan kenekatan yang cukup besar dan peta di tangan (karena sudah malam, sekitar jam 9 malam), saya dan Bayu pun berangkat. 

Perjalanan ini bisa jadi salah satu perjalanan paling menakutkan bagi saya. Jalanan menuju ke kawasan ijen konsisten menanjak. Saya hanya bisa berdoa motor matic yang kami kendarai mampu membawa kami hingga ke tempat pendakian. Kami hanya berdua, melewati jalan panjang menanjak. Semakin keatas, semakin dingin dan berkabut. Kiri dan kanan hanya hutan tanpa lampu jalan dan sangat gelap sedangkan jarak pandang hanya beberapa meter. Saya menggigil antara kedinginan dan ngeri. Ngeri kalau tiba-tiba motor ini berhenti di tengah jalan menanjak ini. Tidak ada bengkel. Bahkan, tidak ada manusia. Nyaris tidak ada yang melewati jalan tersebut di jam malam seperti itu. Benar-benar sepi, gelap, berkabut, dingin, dan mencekam. Bayu mengeluh tangannya yang memegang setir motor kaku karena dingin. 

Saya tidak menganjurkan dan tidak mau mengulangi pergi tengah malam ke kawasan Ijen, kecuali menggunakan mobil. Sebaiknya perjalanan dimulai siang atau sore hari. Saat siang hari dilewati, tempat ini sangat sejuk dan rindang, saat malam, sangat...horor. 

Setelah kurang lebih 1 jam berkendara melewati hutan mencekam itu, kami sampai juga ke titik pendakian gunung Ijen. Lega rasanya melihat sesama manusia lainnya :D. Waktu menunjukkan hampir pukul 11 malam. Di titik awal pendakian, terlihat sudah sangat ramai dengan calon-calon pendaki. Mereka datang dari berbagai daerah dalam negeri dan juga dari manca negara. Rusia, Belanda, Jepang, dan lain sebagainya.

Syukurnya, dititik pendakian ini tersedia toilet yang bersih dan warung sederhana menjual makanan sederhana serta perlengkapan seperti kaos tangan, topi, dan sebagainya. Juga terdapat penginapan sederhana jika para pendaki ingin merebahkan badan. Saya dan bayu memutuskan duduk-duduk cantik di sebelah kumpulan kakak-kakak yang membuat api unggun untuk menghangatkan badan di tengah cuaca yang dingin menggigit. Karena kami adalah mendaki awam yang tidak ingin tersesat, kami pun meminta seorang guide lokal untuk menemani kami sambil mengarahkan kami ke jalan yang benar :D. Namanya Mas Slamet.

Setelah mengisi perut dan menyiapkan diri kami, tepat jam 1 malam kami memulai penanjakan. Mas Slamet awalnya sangat diam. Namun karena sering saya lontarkan pertanyaan, beliau akhirnya bercerita banyak tentang kesehariannya, istri-anaknya, dan tentang Ijen sendiri. Pendakian cukup melelahkan. Kami baru tiba jam 4 subuh di kawah ijen yang juga merupakan tambang belerang yang terkenal dengan pertunjukan ‘Blue Fire’. Blue Fire adalah api besar berwarna biru yang muncul karena unsur belerang yang terbakar di wilayah sekitar tambang belerang. 

Untuk menyaksikan Blue Fire tersebut, pengunjung perlu menuruni kawah Ijen disaat hari masih gelap. Api biru tidak akan terlihat jika sudah ada cahaya matahari. Saya tidak begitu senang karena bau belerang sangat menusuk pernapasan saya sampai-sampai membuat saya terbatuk-batuk. Penderita asma dilarang keras menuruni kawah ini. 

Perjalanan turun-naik kawah ini perlu berhati-hati karena jalanan sempit dan banyak penambang belerang yang hilir mudik sambil memanggul keranjang berisi belerang kurang lebih beratnya 70kg dan bisa lebih. Menanjak tanpa membawa apa-apa saja sudah cukup melelahkan, apalagi membawa beban seberat itu. Bahkan, para penambang harus masuk keluar sumber belerang yang baunya sangat tajam menyengat.

Sudah puas menyaksikan api besar berwarna biru tersebut, kami bertiga melanjutkan perjalanan ke arah timur untuk menyaksikan terbitnya matahari. Sayang sekali, hari berawan dan cukup berkabut sehingga matahari tidak terlihat terbitnya. Tapi, pemandangan begitu indah, melihat kawah hijau toska dan pegunungan ijen. Ditambah lagi dengan udara sejuk segar (sesekali asap belerang berseliweran). Bahagia rasanya.

Pemandangan dari salah satu sudut pegunungan Ijen. Bawah: Kawah Ijen

 Bayu tergopoh-gopoh melangkah

 Kawah Ijen

Mas Slamet di ketinggian pegunungan Ijen

 Tambang belerang, sumbernya dari tempat yang berasap. 
Saat sudah terpapar cahaya, blue fire tidak terlihat. Saat malam, area sebelah kiri atas tambang terlihat dipenuhi api biru.

 Saya lupa topik diskusi yang nampak serius diatas :D (Pengambil gambar : Mas Slamet)

Setelah berpuas-puas menikmati keindahan, kami pun turun kembali. Sepanjang jalan pulang yang menurun dan santai, kami banyak bercerita dengan Mas Slamet tentang banyak hal. Di jalan pulang ini kami bisa melihat dengan jelas wajah-wajah sesama pendaki. Meski bukan hari libur, jumlah orang yang mendaki dalam semalam bisa melebihi angka seratus. Kami kembali ke titik pendakian dengan selamat dan bahagia.
 Bonus pemandangan saat turun gunung

Perjalanan kembali ke Banyuwangi sedikit kacau karena saya mengantuk luar biasa. Hal ini karena sudah 2 malam tidak tidur. Maka sesampai di banyuwangi, hal pertama yang saya butuhkan adalah kasur! Saya tidur sangat lelap selama 3 jam di rumah Mas Baik Hati. Malam hari, saya dan Bayu kembali ke Surabaya menggunakan kereta api. Hal ini perlu dicatat karena baru pertama kali ini saya naik kereta api, dan rasanya menyenangkan :). Saya dan Bayu harus berpisah di terminal Bungurasih Surabaya, saya naik Damri menuju Bandara Juanda, sedangkan Bayu akan berkunjung ke temannya di Surabaya.

Perjalanan ini sangat keren sekaligus sangat me-le-lah-kan. Pertama kalinya saya cuek tidur di bandara (bagian luar), dan tentu saja di atas pesawat, sedangkan kasur adalah satu-satunya hal yang saya butuhkan sesampainya di Kupang. :D