Selasa, 08 Desember 2015

Jika Sedih Dapat Dicicil

Jika saja sedih dapat dicicil,
Malam ini waktu yang tepat,
Untuk membayar kabung,
Kepada besarnya mubazir yang mungkin akan terjadi,
Di waktu besok,
Seperti para petani di sawah,
Yang menangisi nasi-nasi,
Yang akan dibuang percuma oleh manusia,
Saat mereka hendak mengusir burung-burung,
yang lebih membutuhkan padi.

Malam ini janganlah berlalu,
sebelum satu dua butir air mata jatuh,
Demi merawat halusnya perasaan,
Yang seringkali dilempari,
Kata-kata yang tidak enak didengar,
Oleh orang-orang yang malas bertanya,
Apakah kebahagiaan itu?

Kalau dimulai dari malam ini,
Mungkin jika saatnya tiba,
Mata sudah lelah mengurai emosi,
Dan lambung tidak akan terasa begitu nyeri,
Saat sepi akan paling terasa,
Ditengah kerumunan orang yang berpesta dan tertawa.


Jardine, Manhattan, KS,
8 Desember 2015




Senin, 19 Oktober 2015

Opa Sudah Pergi ke Tempat Jauh

Opa sudah sampai dimana sekarang?

Seperti seorang pensiunan yang baru saja melepas tanggung jawab di kantor sekaligus memulai petualangan yang membuat rekan-rekan kerjanya rindu, Opa menyelesaikan tanggung jawab 86 tahun 3 bulan dan 1 minggu yang berwarna dan mungkin sedikit berat di akhir.

Bedanya, kau pergi tanpa smartphone. Kau memilih menikmati sendiri perjalananmu karena kau pikir, sudah puluhan tahun kau habiskan bersama rekan-rekan kehidupanmu. Kami, rekan hidupmu, akan kehilangan kontakmu, meskipun kami kaya akan kenangan tentangmu, Opa.

Seketika memori tentang Opa hadir kembali.

Memori tentang mantan atlit yang senang jogging dan gemar menantang para cucu untuk balap lari sekedar untuk bilang bahwa Opa yang sudah tua ini jauh lebih kuat dan keren dari kalian anak muda, atau mungkin sekedar untuk bersenang-senang.

Memori tentang gigi palsu, badan yang ramping ideal, rambut abu-abu belah pinggir yang sangat halus, telinga yang kurang sensitif, serta celana pendek dan sepasang kaki yang kokoh.

Tentang dongeng sebelum tidur di rumah tua di Manado tentang raksasa-raksasa di hutan yang punya jiwa seperti manusia.

Tentang betapa mesranya kau panggil Oma, istrimu yang hidup saling mencintai denganmu. Kau panggil : 'Mother'..... Ah, bahkan kami yang masih anak-anak saat itu menganggap caramu memanggil Oma itu sangat manis.

Saat ini, kami bingung tentang apakah kau lebih NTT atau lebih Manado. Kau mengabdikan diri di NTT, kau besarkan semua anak-cucumu di Timor. Bahkan kau hembuskan nafasmu yang terakhir di Kupang. Opa, pastilah kau orang NTT yang fasih berbahasa Manado.

Dua tahun lalu kau rayakan ulang tahun pernikahan emasmu dengan Oma, istrimu yang sangat berharga. Lima puluhan tahun menjalani pernikahan dengan cinta yang begitu tulus. Kami belajar sangat banyak dari kalian. Opa dan Oma adalah contoh pasangan ideal bagi kami. Di saat-saat akhir masa tugasmu di dunia, kami pun bertanya-tanya, mengapa opa harus terus berjuang di tengah kelemahan fisiknya? Apakah ada tujuan dibalik semua itu? Lalu kami membatin: "Oma adalah satu-satunya alasan Opa hidup".

Kami penasaran, sudah tiba dimana Opa saat ini? Satu yang pasti, kami berterima kasih untuk setiap kenangan bersama Opa yang hebat. Kami ingat Opa dan Oma yang senang menyanyikan lagu kidung jemaat 371. Saat kalian menyanyikan lagu ini, kalian menyanyikannya dengan tenang dan pasrah hati:

"Aku rindu pada Yesus,
Juruselamat dan Tuhanku,
Pada Dia ku mengaku,
Dosa dan Kesalahanku,
Yesus brikanlah berkatmu"

Kami pikir, Tuhan sudah menjawab nyanyian itu kepada Opa. Kami berdoa untuk jiwa Opa semoga tenang dan berbahagia. Kenangan dan cinta yang kau ajarkan hidup dan melekat bersama-sama dengan kami. Selamat jalan Opa, nikmatilah perjalananmu.


Manhattan-Kansas, Minggu, 18 Oktober 2015.
Mengenang Opa Jan Frederick Palit : 11 Juli 1929 - 18 Oktober 2015



Selasa, 13 Oktober 2015

Minta Maaf

Satu tahun lewat sudah.

Apa kabar kak? Saya benar-benar berharap kakak dalam keadaan baik. Semoga begitu. Bertanya kabar adalah bentuk pengantar percakapan yang mungkin saja akan kaku setelah setahun berlalu dalam interaksi yang beku. Saya sungguh berharap, kakak sehat dan baik, jauh lebih baik dan keren dari hari-hari kemarin.

Hari kemarin. Membicarakan hari kemarin bisa menjadi suatu aktivitas yang pada prosesnya akan membangkitkan kenangan masa lalu, tidak peduli apakah kenangan-kenangan yang muncul adalah kenangan yang manis, pahit, ataukah gabungan membingungkan antara keduanya.

Meskipun membicarakan hari kemarin tidak selalu berarti membicarakan hal-hal manis, ada keinginan besar dalam hati saya untuk menulis catatan kecil ini yang bersifat bahasan hari kemarin, dengan risiko akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman. Saya sungguh berharap, kata-kata ini tidak menimbulkan luka baru; bukan itu tujuan tulisan ini, sebaliknya, semoga pesan saya tiba sesuai tujuan tunggalnya: minta maaf.

Minta maaf adalah hal paling wajar dan utama yang bisa saya lakukan untuk kakak.
Saya minta maaf, Kak.
Untuk hari-hari kelam.
Untuk hari-hari penuh pertanyaan tanpa jawaban.
Untuk hari-hari yang dilewati dengan rasa down dan pesimis.
Untuk hati yang kecewa.
Untuk hati yang marah karena patah.
Untuk rasa terbakar di lambung.
Untuk perasaan yang ditumbuhkan dan kemudian layu.
Untuk waktu, energi, sumberdaya yang terbuang untuk kesia-siaan.
Untuk karya yang terhenti.
Untuk jiwa yang murung.
Untuk harapan yang pergi.
Untuk hati yang sepi.
Untuk hati yang pilu.
Untuk hati yang menangis.

Deretan maaf diatas tidak mampu mendeskripsikan keadaan sebenarnya yang mungkin jauh lebih kompleks atau lebih buruk...

Semoga waktu, dengan segala kesabaran dan keikhlasannya, memulihkan hati yang pedih.

Tidak harus sekarang, kak. Saya minta, kalau sudah waktunya,
Maafkanlah saya.

Kepada: CS

Manhattan-Kansas, 12 Oktober 2015




Kamis, 08 Oktober 2015

Kamis-25-Juni-2015

Siang-Itu; Kupang-Panas; Makan-Bersama-dan-Percakapan-yang-Ingin-Terus-Berlanjut; Bergegas-Gegas-Mengemas-Barang; Matahari-yang-Terbenam-Terbit-Terburu-Buru; Alasan-Demi-Alasan-yang-Hampir-Saja-Kehabisan-Bentuk; Restu-Tuhan-dan-Segelintir-Teman; Penerbangan-yang-Berselisih-Jam; Berganti-Topeng-Secepat-Berganti-Pertemuan; Antara-Rela-dan-Takut-Menanggung-Rindu; Terisak-Isak-Bersama-Max; Punggung-yang-Menjauh-Pantang-Menoleh; Dan-Cium-Kening-yang-Getir-dan-Air-Mata-dan-Deru-Kendaraan-Perpustakaan-dan-Hati-yang-Berat-dan-Perpisahan-dengan-Harapan.


Manhattan,KS-8/Okt/2015



Selasa, 06 Oktober 2015

Portland, Oregon

Saya rindu Portland.

Kota yang terletak di bagian barat Amerika ini punya kesan istimewa bagi saya.
Portland, Oregon, merupakan daratan Amerika pertama yang saya pijak.

Tiba di Portland pada tanggal 28 Juni 2015 setelah 33 jam perjalanan dari Jakarta (belum dihitung dari NTT), saya merasa biasa saja. Belum menemukan keistimewaan kota yang tidak terlalu megah, juga tidak begitu sederhana. 

Portland sebenarnya bukanlah tujuan saya datang ke negara (yang serba) besar ini. Dia hanya semacam tempat 'singgah' bagi saya untuk mengikuti pelatihan bahasa Inggris (dimana penggunaan bahasa Inggris saya rupanya  sangat carut marut) selama kurang lebih 6 minggu sebelum menuju ke universitas tujuan saya di Kansas. Walaupun hanya sebagai persinggahan, saya tidak bisa untuk tidak jatuh cinta pada kota cantik ini.

Portland State University, International Rose Test Garden, Multnomah Falls, Mount Hood, Herbert Tretzen, Meli, Angel, Keep Portland Weird, Voodoo Doughnut, Dog Lovers, Portland Downtown, Broadway Building, Farmer's Market, Focus Picnic, Greg Steward, Sing a Long, Classes (ACAL, GWRS, GOC, GWS, American history movie class), Ondine, Powell Book Store, Salt and Staw Lavender Ice Cream, 23rd NW Avenue, Tara, Kyle, 27 Fulbrighters around the world, Mas Romi, Mbak Dwi, Mbak Puja, PDX airport, Max Tram, Street Food, Paper Source, Street music, 24 modern computer lab, Trip to Camas; WA, Trip to Seattle; WA, PSU bookstore, Trilium Lake, Volunteering, Square dancing, Gwen, Phoebe, Linnea, Julia, Molala Buckeroo, Vista House

Enam minggu yang padat kenangan. Hah, Portland, saya rindu!


Salah satu hal yang saya rindukan di Portland adalah musisi jalanan yang unik-unik.



Slogan Informal Portland: Keep Portland Weird; dan makanan ikonik Portland: Voodoo Doughnut

Kamis, 03 September 2015

Losing Words

After 5 months of blog writing absence, now I am dazed while typing this words and find it hard to trace my own thought. Dozen of ideas are pretty easy to be caught still the barriers are always win; they hold my hand even just for opening my blog.

I have been feeling like I'm losing my words (not the ideas). I became less interested to express my thought through writing in the media that can possibly make particular readers easily spit their bad words in order to show their disagreement and mostly judgement.

I am very sad of this fact. The partial cognition of events and the lack of wisdom plus a lot of selfishness might transform themselves into a long frail bridge to the land of understanding and acceptance. In my case, I was not into craving for both understanding and acceptance. Nevertheless, without those two things, we fail to love people. Or we might love them in a wrong way. But how could love become a 'wrong' thing? Isn't it an universal language which may not be measured by metric system but can be felt through human's 5 sensors and also feeling (which is hard to numbered)? 

What I am really respecting from people and that I am also expecting the same thing is the freedom to express feelings and thought without harm others. Therefore I am fair enough and open to people who don't agree with my life path and choices, that is just part of their thought's expressions. I don't resist to critics. However, as we accept other people as the same human being, we might don't want to suppress their freedom. Thus we need to express our disagreements or critics in such appropriate ways.

How could we even love other people when in the process of teaching them how to love, we rudely using words which have high possibility to hurt them. How could love transforms itself in such discouraging actions? The worse side is to force people to do things in certain way and using other people as a bad example. I myself have a strong foundation of my beliefs and according to them, I choose the steps which bring me here right now.

As we sometimes being discouraged by people, we need to keep going. For me, I needed time to heal myself and to win against my reluctance which was the result of bitter words exposures. Now as I couldn't hold the swirling thought inside my head, I'm finding back my words. They are there, waiting for me to be released in my blog. Even words are urging to be free.

Jardine Apt,
Manhattan, Kansas, Sept 3 2015




Selasa, 07 April 2015

Menapaki Pantai dan Gunung di Banyuwangi Januari 2015

Berada di pulau Jawa bagian Timur, saya tertarik mengunjungi kabupaten Banyuwangi. Kabarnya, pantai-pantai dan punggung Ijen-nya menawan.

Pantai Pulo Merah, Banyuwangi, Januari 2015



Ke Jawa Gratis
 
Bepergian ke Banyuwangi adalah sebagai pelipur lara bagi saya yang disarankan (diharuskan) mengikuti tes ulang TOEFL IBT. Tes TOEFL IBT (Internet Based Test) merupakan salah satu langkah untuk memperjuangkan beasiswa ke luar negeri. Sebelumnya, akhir Oktober 2014 saya sudah melewati tes ini di Jakarta. Namun karena ‘diperlukan skor yang lebih kompetitif’ untuk bisa melamar ke universitas di luar sana, maka saya kembali didaftarkan untuk mengikuti tes yang sama sekali lagi di Surabaya akhir Januari 2015. 

Untungnya (saya sering menemukan berbagai untung dalam kondisi sulit), tes yang mahal itu digratiskan oleh pihak AMINEF, meskipun ini merupakan tes ulang saya. Tidak hanya itu, tiket PP Kupang-Surabaya, berikut hotel sudah di booking-bayarkan dengan rapi. Terima kasih AMINEF!

Karena biaya tiket pesawat ke pulau Jawa bagian timur ini saya dapatkan secara cuma-cuma, maka saya berpikir sayang jika tidak saya manfaatkan untuk bertemu sahabat atau sekedar jalan-jalan, mungkin bisa menonton bioskop (NTT belum punya, kabarnya akan segera punya. Semoga). Saya sempat mencari tahu beberapa tempat yang bisa dikunjungi di sekitar Surabaya maupun Jawa Timur. Salah satu yang membuat saya penasaran adalah Kabupaten Banyuwangi. Menurut beberapa sumber, pantainya-pantainya menawan. 

Sahabat Karib
Surabaya sendiri tidak begitu asing bagi saya karena sudah cukup sering saya kunjungi. Ditambah lagi ada sahabat saya disana, Iche, sahabat karib semasa SMA. Kabar baiknya, Bayu, sahabat masa kuliah saya juga menyempatkan diri mampir ke Surabaya untuk bertemu saya. Saya pikir akan sangat menyenangkan bertemu kedua orang baik ini. 

Iche dan Bayu, keduanya adalah sahabat yang kalau mereka muncul tiba-tiba didepan saya dengan sepasang sayap di punggung mereka, saya tidak akan kaget. Mereka begitu baik pada saya, serupa malaikat saja. Suka duka banyak saya lewati bersama mereka. Sifat (baik) yang mirip diantara kedua makhluk ini membuat saya berpikir untuk menjodohkan mereka berdua. Sayang sekali, Iche sekarang sudah punya tunangan. Sayang sekali. Bukan (atau belum) jodoh.

Setelah berhasil menaklukkan puluhan soal IBT yang membuat saya mual-mual rasanya, akhirnya saya bertemu juga dengan Iche! Terakhir kami bertemu di Desember 2012. Dara 24 tahun asal Sitiharjo ini menjemput saya dengan motor maticnya. 

Iche mengendarai motor matic hijaunya bagaikan pembalap profesional di jalanan Surabaya yang padat dan diantara ‘pembalap-pembalap’ lainnya. Saya selalu heran dengan orang-orang di kota besar, berkendara serupa sedang mengejar-ngejar sesuatu, salip kiri salip kanan. Huh. Memang paling santai hidup di NTT.
Kami berbagi banyak cerita di jalan. Iche tak henti-hentinya nyerocos tanpa kehilangan konsetrasi berkendara ala pembalap. Kami tertawa-tawa dan saling menimpali sambil Iche mengarahkan perjalanan ke salah satu mall sebagai titik temu kami dengan Bayu. Saat itu hari minggu dan ampun-ampun ramai sekali mall itu. Banyak nian anak ABG yang setelah kami telusuri, pada saat itu JKT48 mengadakan konser tepat di mall tersebut. Buanyak buanget manusia, terutama anak SMP dan SMA maupun dari kalangan matang usia yang gemar menonton belasan remaja putri yang imut beraksi di panggung secara menggemaskan.

 Iche dan saya di salah satu mall di Surabaya (Pengambil Gambar: Bayu Agus)

Iche yang berprofesi sebagai bidan mengatakan dia menyesal tidak bisa berlama-lama menemani saya karena jadwal prakteknya begitu padat. Saya memaklumi itu, profesi sebagai tenaga kesehatan (terlebih bidan) memang tidak bisa fleksibel bepergian. Tinggallah Bayu dan saya. Kami merencanakan perjalanan mengunjungi Banyuwangi menggunakan travel malam itu juga.

Pantai Pulo Merah, Banyuwangi

Ini adalah kali pertama baik bagi saya maupun teman saya Bayu berkunjung ke Banyuwangi. Saya merasa yakin datang ke tempat ini karena Bayu punya teman yang tinggal di Banyuwangi. Kami dijemput oleh Mas Baik Hati (temannya Bayu, saya lupa namanya, akan saya cari tahu). Mas ini mempunyai warnet di Banyuwangi, tidak jauh dari stasiun kereta api Rogojampi. Kami pun mampir ke rumahnya untuk mandi dan bersiap diri. Memang indah jika punya teman di banyak tempat. Teman selalu bisa jadi rumah.

Mas Baik Hati meminjamkan motor matic lengkap dengan STNK nya untuk Bayu dan saya pakai berkeliling. Pagi itu tanpa sempat tidur, kami langsung menjelajahi Banyuwangi menuju pantai Pulo Merah/Pulau Merah. Sebelumnya, saya pastikan apakah Bayu memiliki SIM. Syukurlah dia punya. Bukan apa-apa, hanya malas berurusan dengan polisi saja. Malas saja. Pokoknya malas. Hahaha. 

Dimulailah perjalanan kami. Banyuwangi ternyata SANGAT SUBUR dan ASRI! Hijau sawah sepanjang mata memandang, setiap kebun maupun pekarangan rumah dipenuhi dengan buah naga yang gemuk-gemuk. Kata penduduk, tanaman ini cukup di-stek saja, ditancapkan begitu saja, dan biarkan sumber gizi tanah Banyuwangi menyubur-nyuburkan tanaman ini sampai menghasilkan buah yang ranum. Favorit saya adalah buah naga merah (ada juga yang putih, sedikit masam). Segar!

Sambil menikmati pemandangan yang asri, dari jauh kami menangkap pemandangan yang kurang menarik. Terlihat polisi lalu lintas melakukan pengecekan kelengkapan berkendara alias ‘tilang’. Tilang adalah kegiatan rutin polisi dalam mencari-cari kesalahan pengemudi; semakin banyak kesalahan, semakin berbahagia para polisi. 

Kami dengan percaya diri merelakan diri kami diperiksa. Di saat itulah kami melongo ketika ternyata SIM Bayu sudah kadaluwarsa. Ampun. Lalu kami digiring ke sudut yang agak tersembunyi. Seperti beberapa penilangan yang saya saksikan, sang polisi kali ini juga menjelaskan bahwa kami melanggar aturan lalu lintas dan sebenarnya kami harus disidang bla bla bla. Kemudian ada jeda yang menegangkan. Lalu Bayu dengan gerakan yang sangat halus dan profesional (sepertinya sudah sering), meletakkan uang Rp.50.000 di atas nota tilang. Polisi puas, kami pun lega melanjutkan perjalanan. Wah, murah juga disini. Di Kupang, polisinya sombong, maunya Rp.100.000.

Sesampai di pantai Pulo Merah, kami disambut dengan udara cerah panas terik, langit biru terang, dan ombak bergulung-gulung. Panasnya lumayan serius. Kami menyewa kursi dibawah payung sambil menikmati minum air kelapa dan menonton orang-orang berselancar. Pantai ini ombaknya cukup berlapis untuk dijadikan area surfing, namun tidak juga terlalu tinggi, sehingga cukup banyak orang datang berlatih surfing disini. Mereka adalah para turis mancanegara. Saya selalu heran bagaimana para turis dari berbagai negara bisa sampai di pelosok-pelosok pantai di nusantara ini.
 Pantai Pulo (Pulau) Merah, Banyuwangi

 Kakak-kakak Surfer

 Santai ;) 
 (Pengambil gambar paling bawah: Bayu Agus)

Cukup lama kami menghabiskan waktu di pantai Pulo Merah. Cukup lama untuk membuat saya iri melihat Bayu yang bisa tidur nyenyak sementara saya tidak. Waktunya makan siang, kami memutuskan untuk beranjak dan mencari tempat makan yang menggoda kami di perjalanan tadi. Nama rumah makannya ‘Ikan Bakar Banyuwangi’. Suasana rumah makan tenang karena dirancang berupa gazebo di sebelah hamparan sawah. Kami makan dengan rakus dan kalap sebelum kembali lagi ke Banyuwangi kota.
Perjalanan memang melalui beberapa belokan-belokan. Namun, kami tidak tersesat karena selalu ada penunjuk jalan baik itu menuju Pulau Merah, dan sebaliknya kembali ke Banyuwangi. Kami sempat singgah membeli buah naga merah yang ternyata sangat murah. Satu kilo harganya tidak sampai Rp.10.000. Di supermarket, 1 buah harganya mencapai puluhan ribu rupiah. 


Buah naga segar habis panen yang dijual di pinggir jalan dengan harga murah

Menapaki Ijen

Tiba kembali di Banyuwangi sudah sore. Antara capek dan masih ingin jalan-jalan. Saya dan Bayu berembuk untuk tujuan berikutnya. Satu hal di Kabupaten Banyuwangi yang membuat saya tertarik adalah Gunung Ijen. Saya sangat ingin kesana. Bayu, teman saya adalah tipe orang nekat. Dia tidak mempertimbangkan apapun seperti jarak ke Ijen, kondisi fisik, waktu tempuh, dan lainnya. Dia meyakinkan saya untuk tetap ke Ijen. 

Hari sudah malam ketika kami memutuskan untuk kesana. Di sebelah warnet milik Mas Baik Hati, terdapat perguruan Kera Sakti. Pemimpinnya perguruan adalah seorang bapak yang sangat ramah dan senang bercanda. Beliau dan murid-muridnya menggambarkan peta jalan menuju ke kawasan Ijen. Dengan kenekatan yang cukup besar dan peta di tangan (karena sudah malam, sekitar jam 9 malam), saya dan Bayu pun berangkat. 

Perjalanan ini bisa jadi salah satu perjalanan paling menakutkan bagi saya. Jalanan menuju ke kawasan ijen konsisten menanjak. Saya hanya bisa berdoa motor matic yang kami kendarai mampu membawa kami hingga ke tempat pendakian. Kami hanya berdua, melewati jalan panjang menanjak. Semakin keatas, semakin dingin dan berkabut. Kiri dan kanan hanya hutan tanpa lampu jalan dan sangat gelap sedangkan jarak pandang hanya beberapa meter. Saya menggigil antara kedinginan dan ngeri. Ngeri kalau tiba-tiba motor ini berhenti di tengah jalan menanjak ini. Tidak ada bengkel. Bahkan, tidak ada manusia. Nyaris tidak ada yang melewati jalan tersebut di jam malam seperti itu. Benar-benar sepi, gelap, berkabut, dingin, dan mencekam. Bayu mengeluh tangannya yang memegang setir motor kaku karena dingin. 

Saya tidak menganjurkan dan tidak mau mengulangi pergi tengah malam ke kawasan Ijen, kecuali menggunakan mobil. Sebaiknya perjalanan dimulai siang atau sore hari. Saat siang hari dilewati, tempat ini sangat sejuk dan rindang, saat malam, sangat...horor. 

Setelah kurang lebih 1 jam berkendara melewati hutan mencekam itu, kami sampai juga ke titik pendakian gunung Ijen. Lega rasanya melihat sesama manusia lainnya :D. Waktu menunjukkan hampir pukul 11 malam. Di titik awal pendakian, terlihat sudah sangat ramai dengan calon-calon pendaki. Mereka datang dari berbagai daerah dalam negeri dan juga dari manca negara. Rusia, Belanda, Jepang, dan lain sebagainya.

Syukurnya, dititik pendakian ini tersedia toilet yang bersih dan warung sederhana menjual makanan sederhana serta perlengkapan seperti kaos tangan, topi, dan sebagainya. Juga terdapat penginapan sederhana jika para pendaki ingin merebahkan badan. Saya dan bayu memutuskan duduk-duduk cantik di sebelah kumpulan kakak-kakak yang membuat api unggun untuk menghangatkan badan di tengah cuaca yang dingin menggigit. Karena kami adalah mendaki awam yang tidak ingin tersesat, kami pun meminta seorang guide lokal untuk menemani kami sambil mengarahkan kami ke jalan yang benar :D. Namanya Mas Slamet.

Setelah mengisi perut dan menyiapkan diri kami, tepat jam 1 malam kami memulai penanjakan. Mas Slamet awalnya sangat diam. Namun karena sering saya lontarkan pertanyaan, beliau akhirnya bercerita banyak tentang kesehariannya, istri-anaknya, dan tentang Ijen sendiri. Pendakian cukup melelahkan. Kami baru tiba jam 4 subuh di kawah ijen yang juga merupakan tambang belerang yang terkenal dengan pertunjukan ‘Blue Fire’. Blue Fire adalah api besar berwarna biru yang muncul karena unsur belerang yang terbakar di wilayah sekitar tambang belerang. 

Untuk menyaksikan Blue Fire tersebut, pengunjung perlu menuruni kawah Ijen disaat hari masih gelap. Api biru tidak akan terlihat jika sudah ada cahaya matahari. Saya tidak begitu senang karena bau belerang sangat menusuk pernapasan saya sampai-sampai membuat saya terbatuk-batuk. Penderita asma dilarang keras menuruni kawah ini. 

Perjalanan turun-naik kawah ini perlu berhati-hati karena jalanan sempit dan banyak penambang belerang yang hilir mudik sambil memanggul keranjang berisi belerang kurang lebih beratnya 70kg dan bisa lebih. Menanjak tanpa membawa apa-apa saja sudah cukup melelahkan, apalagi membawa beban seberat itu. Bahkan, para penambang harus masuk keluar sumber belerang yang baunya sangat tajam menyengat.

Sudah puas menyaksikan api besar berwarna biru tersebut, kami bertiga melanjutkan perjalanan ke arah timur untuk menyaksikan terbitnya matahari. Sayang sekali, hari berawan dan cukup berkabut sehingga matahari tidak terlihat terbitnya. Tapi, pemandangan begitu indah, melihat kawah hijau toska dan pegunungan ijen. Ditambah lagi dengan udara sejuk segar (sesekali asap belerang berseliweran). Bahagia rasanya.

Pemandangan dari salah satu sudut pegunungan Ijen. Bawah: Kawah Ijen

 Bayu tergopoh-gopoh melangkah

 Kawah Ijen

Mas Slamet di ketinggian pegunungan Ijen

 Tambang belerang, sumbernya dari tempat yang berasap. 
Saat sudah terpapar cahaya, blue fire tidak terlihat. Saat malam, area sebelah kiri atas tambang terlihat dipenuhi api biru.

 Saya lupa topik diskusi yang nampak serius diatas :D (Pengambil gambar : Mas Slamet)

Setelah berpuas-puas menikmati keindahan, kami pun turun kembali. Sepanjang jalan pulang yang menurun dan santai, kami banyak bercerita dengan Mas Slamet tentang banyak hal. Di jalan pulang ini kami bisa melihat dengan jelas wajah-wajah sesama pendaki. Meski bukan hari libur, jumlah orang yang mendaki dalam semalam bisa melebihi angka seratus. Kami kembali ke titik pendakian dengan selamat dan bahagia.
 Bonus pemandangan saat turun gunung

Perjalanan kembali ke Banyuwangi sedikit kacau karena saya mengantuk luar biasa. Hal ini karena sudah 2 malam tidak tidur. Maka sesampai di banyuwangi, hal pertama yang saya butuhkan adalah kasur! Saya tidur sangat lelap selama 3 jam di rumah Mas Baik Hati. Malam hari, saya dan Bayu kembali ke Surabaya menggunakan kereta api. Hal ini perlu dicatat karena baru pertama kali ini saya naik kereta api, dan rasanya menyenangkan :). Saya dan Bayu harus berpisah di terminal Bungurasih Surabaya, saya naik Damri menuju Bandara Juanda, sedangkan Bayu akan berkunjung ke temannya di Surabaya.

Perjalanan ini sangat keren sekaligus sangat me-le-lah-kan. Pertama kalinya saya cuek tidur di bandara (bagian luar), dan tentu saja di atas pesawat, sedangkan kasur adalah satu-satunya hal yang saya butuhkan sesampainya di Kupang. :D

Kamis, 12 Maret 2015

DOA

Di lengan kanannya terpatri Bapa Kami.
Tanpa ritual tutup mata, tanda salib, dan katup tangan, Ia berkomunikasi dengan Tuhannya.
Umumnya, syairnya tidak umum.
Merapalkan doa syukur setelah memeluk kekasihnya adalah keputusannya.
Rasa syukur bertubi dihatinya sejak pertemuan itu.
Doa penyesalannya saat makan malamnya tidak dihabiskan.
Baginya, doa tidak serupa mimpi.
Seandainya iya, doanya akan panjang. Padahal, katanya, Tuhan-nya bisa lelah.
Hidup dibencinya. Anehnya, cinta amat disyukurinya.
Di malam itu, entah sudah atau belum berdoa,
Ia tidur lelap dengan posisi berdoa.
 



Sumber gambar: ou(dot)com


H20MS9040315

Senin, 09 Maret 2015

SURGA



Surga adalah ketika hati kehilangan segala obsesinya.

Saya yakin setiap orang memiliki definisi pribadi tentang surga. Bagi saya, kata ‘surga’ sulit diganti dengan kata lainnya. Sebenarnya, kata ini hendak saya setarakan dengan ‘kebahagiaan tertinggi’. Namun setelah saya pikirkan kembali, surga yang saya beri arti bukanlah tentang kebahagiaan tertinggi. Maka dari itu, saya tidak bisa menjelaskan banyak, karena sekali lagi, saya yakin setiap orang punya definisinya masing-masing.

Sepanjang sejarah hidup manusia, berbagai gambaran tentang surga dikemukakan. Ajaran agama berkontribusi besar dalam penggambaran antonim dari neraka ini. Yang saya tangkap dari penggambaran tentang surga yang diajarkan agama yang saya anut adalah sesuatu yang baik, mulia, tinggi, dan abadi. Penggambaran surga adalah tentang sesuatu yang ‘di atas’, bertolak belakang dari neraka yang ‘di bawah’. Saya tidak hendak membahas apalagi berdebat mengenai eksistensi kedua perwujudan tersebut. Itu masalah keyakinan (dan imajinasi) yang juga pribadi sifatnya. Yang jelas bahwa konsep surga atau nirwana atau paradise atau heaven atau apapun penyebutannya, merupakan sesuatu yang kurang lebih menyenangkan.

Tanpa berdebat mengenai surga, saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepada siapa saja: bagi Anda, seperti apa surga itu?

Selama 23 tahun hidup saya, saya selalu berhasil menemukan surga-surga kecil saya; saat berada di antara makanan-makanan lezat, saat kembali ke kamar kost setelah seharian beraktivitas dan bersosialisasi, saat menikmati keindahan alam, atau saat menggendong bayi-bayi pasrah. Surga bagi saya adalah suatu ‘kondisi tertentu’. Namun demikian, pengalaman-pengalaman surgawi itu tidak pernah berhasil membuat saya melahirkan suatu definisi tentang surga sedemikian akurat sampai saya mengalami suatu kejadian. Kejadian yang membuat saya mampu membahasakan ‘kondisi tertentu’ itu.

Saat itu, di dalam pelukan kekasih saya, saya merasa hati dan fisik saya bersekongkol untuk menjadi tidak manusiawi lagi. Hati ini tidak memiliki keinginan apa-apa lagi, karena dalam rentang waktu tertentu, ia merasa ‘tergenapi’. Semua keinginan dan obsesinya kandas, yang ada hanyalah damai, penuh, pas, ideal, tidak lebih dan tidak kurang, tidak ingin apa-apa lagi. Sejak saat itulah, di usia 23 tahun, saya mendefinisikan surga. Tentu saja ini berlaku bagi saya pribadi. Bagi saya, SURGA adalah ketika hati kehilangan segala obsesinya.

Kehidupan manusia di dunia ini terikat oleh waktu. Merasakan surga saat masih hidup di dunia seperti merasa terbebas dari aturan waktu, meskipun sensasi itu tetap berdurasi. Surga ternyata bisa eksis di dunia dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Jika benar ada surga seperti yang digambarkan atau dicitrakan banyak orang, suatu dunia terpisah tempat semua kebaikan bermuara, menurut saya surga seperti itu tidak akan jauh berbeda dengan kondisi surga yang saya gambarkan diatas. Yang membedakannya mungkin disana tidak ada batasan waktu. Kebaikan yang abadi. Entahlah, saya hanya bisa mengira-ngira. Yang jelas, bagi saya, menikmati kepingan surga selagi berziarah di dunia adalah sebuah berkah yang perlu disyukuri.

Dua puluh tiga tahun, saya belajar sangat banyak. Dua puluh tiga tahun, merupakan sejarah besar dalam hidup saya, ketika saya mampu mendefinisikan Surga. 

Tulisan ini saya persembahkan kepada partner saya, HYF, yang melaluinya saya belajar banyak hal, tentu termasuk didalamnya belajar menghayati surga. Hari ini (090315), beliau juga menerbitkan tulisannya tentang surga di http://hyferdy.blogspot.com/2015/03/seperti-apa-surga-itu.html

Kost Ijo Ade Irma II Walikota - Kupang, 7 Maret 2015
 

Rabu, 07 Januari 2015

Dua Ribu Empat Belas

Ketika mengingat-ingat kembali tentang tahun 2014 yang baru saja terlewati, saya hanya bisa terkagum-kagum, menyadari bahwa si pesimis dan peragu ini selalu diteguhkan dan diyakinkan kembali dengan kesempatan-kesempatan berharga.

Tulisan ini dibuat dengan banyak syukur sekaligus sebagai bentuk syukur itu sendiri. Berharap saat nanti dibaca kembali, perasaan kagum dan syukur itu masih ada dalam bentuk yang sama, terlepas dari suatu harapan yang lebih tinggi, bahwa tulisan ini mampu membangkitkan hal-hal baik dalam siapapun yang diijinkan mampir dan membacanya.


1. 2014 : Dipercayakan menjadi ketua (antar waktu) NTT Academia Award 2013


Foto Oleh Om Palce Amalo.
Keterangan : Bersama pemenang NTT Academia Award 2013. Kiri ke kanan: Opa Itja Frans (Lifetime Achievement), Pak Baco Gaebo (Social Entrepreneur), saya, Pak I Gusti Ngurah Djelantik (Science and Engineering), Ibu Mezra Pellondou (Sastra dan Humaniora)

2. 2014 : Ke Maumere yang kedua kalinya
Pertama kali ke Maumere akhir 2013. Bulan Maret 2014 dapat kesempatan kedua ke kota yang terkenal dengan Moke dan Gemufamire ini, masih dengan tujuan yang sama : berburu data penelitian HIECD (Holistic and Integrative Early Childhood Development).


Foto oleh Dr. DEL
Keterangan Foto : Di pasar tenun Maumere, lebih banyak foto-foto ketimbang pilih-pilih.
3. 2014 : Jadi Dosen
Siapa sangka saya akan menjadi dosen di usia yang belum genap 23 tahun? Dosen kontrak di STIKES CHMK Kupang, Maret-Juli 2014


Keterangan Foto : Kelas terakhir di kebidanan semester 4 STIKES CHMK. 

4. 2014 : Oh' Aem 2 dan Oelnaineno
Tahun ajaib ini memberikan kesempatan kepada saya untuk bekerja bersama Perkumpulan PIKUL untuk suatu proyek Keberagaman Pangan untuk Kedaulatan Pangan. Fokus program di 2 desa di kabupaten Kupang : Oh'Aem II dan Oelnaineno. Saya belajar banyak. 


Foto Oleh Ka Un Weo
Keterangan Foto : Bersama Kaka Etji Doek, partner kerja di Perkumpulan PIKUL, dengan latar belakang Fatu Kauniki.

5. 2014 : Jatuh Motor
Sudah beberapa kali jatuh motor, tapi kali ini sedikit parah, menyebabkan bibir yang lebam dan bonyok berdarah-darah akibat mencium aspal tanpa pengendalian diri dan tanpa sempat menghindar. Celaka motor kali ini tepat di tanggal 16 Mei 2014, yang saya percaya merupakan harga yang saya tebus untuk sesuatu yang seharusnya terjadi tapi mati-matian saya hindari, tepat di tanggal itu.

Keterangan Foto : Obat Cina pemberian Om Elcid, tak diragukan lagi khasiatnya menyembuhkan bebonyokan.

6. 2014 : Rote!
Berkunjung ke Rote bersama Om Zadrakh Mengge dan Pendeta Iswardy Lay untuk keperluan uji coba tools 'Pelangi Meja' yang dirancang bersama di Perkumpulan PIKUL.
Keterangan foto : (Gulung-gulung di pasir) Pantai Nemberala, Pulau Rote.

7. 2014 : Jadi Juri Lomba Masak Serba Ikan Provinsi NTT
Kesempatan unik yang masih membuat saya heran, jadi juri lomba masak serba ikan se Provinsi NTT.
 

Foto Oleh Panitia Lomba
Keterangan foto: Juli Lomba Masak Serba Ikan Provinsi NTT. Kiri ke kanan : Pak Sukana (Executive Chef Hotel On The Rock), Ibu Welma (Akademisi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang Bagian Pengolahan Pangan Ikan), Saya, dan Pak Serdi (Executive Chef Hotel Sasando)

8. 2014 : Festival Ningkam Haumeni, Desa Nausus, Timor Tengah Selatan.
Bersama rombongan ka Agni, senang sekali diajak ikut ke festival budaya tahunan di Nausus, Mollo, TTS.
 

Keterangan Foto : Bonet, tarian daerah, cara kami menghangatkan tubuh dan hati.

9. 2014 : Surabaya dan Jakarta untuk memperjuangkan beasiswa Fulbright.
Setelah melamar sekitar 5 jenis beasiswa luar negeri, AMINEF-Fulbright mengundang saya untuk seleksi wawancara di Surabaya, dan dilanjutkan tes TOEFL IBT dan GRE di Jakarta.

Keterangan Foto : Tanda panah menuju kursi panas-dingin

10. 2014 : Boti, TTS
Mengunjungi kerajaan Boti (di Kabupaten Timor Tengah Selatan) yang menyimpan banyak rahasia.
Keterangan Foto : Benda-benda antik di dalam galeri Boti Dalam.

11. Sikka-Flores Timur-TTS-TTU : Evaluasi program SHAW
Saya belajar sangat banyak disini, bergabung dengan tim evaluasi profesional, mengevaluasi program SHAW/STBM di 4 kabupaten. Saya beruntung bisa mengambil bagian di dalam evaluasi ini.

Foto oleh HYF
Keterangan Foto : Di desa Nualunat, Kabupaten TTS

12. Dua Puluh Tiga Tahun

Foto oleh HYF
Keterangan Foto: Terkadang lupa, sampai pemilik tangan diatas mengingatkan bahwa usia saya saat ini Dua Puluh Tiga Tahun.

Kepada waktu, hidup, dan diatas semuanya, Pengatur waktu dan hidup itu sendiri, terima kasih, terima kasih banyak.