Papa, dengan apakah kau asah instingmu?
Hingga
ia begitu tajam membelah rahasia-rahasia yang tersembunyi dalam labirin membingungkan
dari kehidupan anak perempuanmu.
Papa,
dari manakah kau belajar tentang hal kebijaksanaan?
Kau
yang tak banyak berkata-kata dan tak banyak aksi, tapi setiap kalimatmu seperti
sabda, bahkan orang-orang tua menaruh hormat pada tindakanmu.
Papa,
apakah semua hal dalam hidup ini dapat dipelajari dengan menggunakan perasaan?
Bahkan
satu saja kalimatmu saat mengajariku mengendarai sepeda motor:
‘Bawa motor itu pakai perasaan, Nak.’
‘Bawa motor itu pakai perasaan, Nak.’
Papa, sepertinya kau tak pernah mengikuti training respon kedaruratan, bukan?
Tapi
serangga besar berbahaya dalam telingaku berhasil kau pancing keluar dalam
sekejap dengan olesan liurmu.
Papa,
gigi Nenek atau Ba’i yang kau warisi?
Mereka
begitu kokoh dan rapi, membuatmu tampan saat tersenyum.
Papa,
dimanakah kau sembunyikan 50% darah Cina-mu?
Kau
sama sekali tak tampak ber-etnis Tionghoa, kau begitu menyatu dan mencair
dengan orang Timor, kau fasih berbahasa Dawan.
Papa,
bagaimanakah masa remajamu?
Kau
tak pernah menceritakan sedikitpun kisah kenakalan apalagi kisah romantismu yang
lampau pada anak-anakmu.
Papa,
apakah genoak yang kau kunyah ataukah ludahmu yang berkhasiat?
Karena
setiap kali perut kembungku berangsur kempes setelah kau sembur dengan kunyahan
genoak yang lembek dengan baunya yang khas.
Papa,
sampai dimana level kegilaanmu?
Aku
sering mendengar kau meracau sendiri, di malam hari kau berteriak memanggil–manggil
nama anakmu yang bungsu seperti mengigau.
Papa,
sadarkah engkau bahwa kau begitu dihormati?
Meski
oleh orang-orang kecil saja, mereka-mereka yang sering kau bantu tanpa pamrih.
Papa,
tingkahmu kadang membuat kami jengkel setengah mati, kau tahu kenapa?
Aku
baru menyadarinya, sederhana saja, karena kau tak pandai berbicara apalagi
menjelaskan sesuatu yang membuat kami mengerti maksud tindakanmu yang
sebenarnya untuk kebaikan kami juga.
Papa,
baru sekali saja kau pernah menamparku, kau ingat itu?
Bukan
karena aku melakukan kenakalan brutal, tetapi hanya karena aku tak mau ke
sekolah. Setelah kau tampar, kau seret aku untuk tetap bersekolah dengan pipi
merah bekas telapak tanganmu yang besar dan kasar.
Lalu
Papa, apakah kau ingat perang dingin kita yang terakhir?
Itu
karena engkau marah padaku yang mulai kehilangan semangat melanjutkan
pendidikan ke jenjang S2. Sebegitu fanatiknya engkau pada pendidikan anakmu, Papa!
Papa,
sedikitkah keperluanmu?
Hingga
kalau ada uangmu Rp.500.000 atau bahkan Rp.100.000 saja kau simpan-simpan,
menunggu aku liburan ke rumah lalu kau berikan padaku, siapa tahu aku bisa
mengganti handphone ku dengan yang baru atau sekedar bisa membeli makanan enak.
Papa,
mengapa engkau begitu pencemburu?
Belum
ada teman laki-laki ku yang pernah main ke rumah yang kau puji. Semuanya kau jelek-jelekkan.
Lagian, mereka cuma teman, Papa!
Papa,
mengapa dulu aku selalu menganggapmu absurd dan egois?
Sekarang
sedikit demi sedikit mulai kupahami dirimu, papaku yang heroik. Bukankah kau
mewariskan sebagian kecenderunganmu padaku?
Papa,
yuk jalan-jalan lagi?
Berdua
kita usik karyawan di area kemeja dan celana kain hingga kewalahan mencari-cari
ukuran yang tepat untuk badanmu yang semakin tahun semakin meningkat.
Papa,
katakan apa yang bisa membuatmu bahagia?
Satu
lagi Papa, seperti apa kiranya laki-laki yang cocok untuk anak keduamu ini?
Malam di Kampung Maleset, Soe (DBAM), 29 Juli 2014
Jefta Frans (Papa) saat menghadiri acara keluarga di Bena, TTS, awal 2014
Keren..
BalasHapusKeren papamu ..hihi
Ah, tp bikin penasaran juga papa masa remaja ?
Bapa Kami.., papa jefta pung tangan bgtu besar nike kena tampar bekas merah penuh pipi kah apa?
Keren..
BalasHapusKeren papamu ..hihi
Ah, tp bikin penasaran juga papa masa remaja ?
Bapa Kami.., papa jefta pung tangan bgtu besar nike kena tampar bekas merah penuh pipi kah apa?
:D
HapusMemang beliau keren
aku jadi kangen abahku :)
BalasHapus