Selasa, 18 Maret 2014

Sedihku pada NTTku



Beberapa waktu belakangan ini saya merasa sedih dengan kemalangan-kemalangan yang melanda NTT tercinta. Kesedihan pertama disebabkan karena kasus human trafficking atau perdagangan manusia yang sasarannya adalah masyarakat NTT. Digunakan kata perdagangan karena manusia yang diperdagangkan itu sudah tidak dianggap manusia lagi, tetapi sebagai komoditas yang mendatangkan keuntungan bagi yang menjualnya. Peminatnya sungguh banyak, terutama di daerah-daerah yang perindustriannya berkembang pesat. Para pengusaha kota besar seperti Medan rupanya senang membeli ‘komoditas’ NTT. Bukan karena kerjanya bagus, namun karena ‘komoditas’ NTT biasanya bersedia bekerja serabutan tanpa tugas pokok yang jelas dengan bayaran minim. Belakangan ada sesumbar yang menyatakan perdagangan manusia bahkan terdengar sungguh sopan. Yang sesungguhnya terjadi lebih tepat dinamakan peternakan manusia. Maksudnya? Karena perlakuan terhadap manusia yang diperdagangkan itu layaknya sapi. Menunggu hingga remaja, lepas dari induknya, atau menunggu hingga anak putus sekolah lalu dijual kepada majikan di kota besar. Majikan pun memperlakukan mereka seperti bukan manusia, tapi sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari manusia. Beberapa budak yang tak kuat fisik dan mental meninggal sia-sia, bahkan ada pula yang mencoba bunuh diri. Miris. Saya lantas bertanya apa yang merupakan akar dari mirisnya keadaan ini.

Uang akar permasalahan

Demi mencari uang. Begitu saja. Baik dari sisi yang diperdagangkan maupun yang memperdagangkan, semua akar penyebab mengarah kepada kebutuhan akan uang. Pertanyaannya adalah, bagi masyarakat di kampung, apakah tidak ada jalan lain untuk mencari uang selain menjadi budak di tanah orang? Dan bagi penyalur ‘komoditas’, apakah caramu meraup uang harus dengan menjual saudara sendiri, merayu sedemikian rupa dengan iming-iming gaji besar dan makan gizi, lalu menukar haknya sebagai manusia merdeka dengan uang (berapa besar jumlahnya saya tidak tahu)?
Itu kesedihan pertama saya.

Kesedihan kedua adalah kesedihan akan tanah-tanah terindah, surga-surga NTT yang sekarang bukan lagi milik kami melainkan milik orang asing, yang sekali lagi memandang tanah NTT sebagai komoditas. Hanya saat tanah-tanah surga kami sudah di lelang di dunia maya oleh orang asing, dan hasil pemetaan menunjukkan siapa sebenarnya yang menguasai pariwisata NTT, barulah kita tercengang dan menangis (dalam hati).

Harusnya orang NTT tahu betapa sakralnya nilai tanah itu. Betapa kepemilikan tanah menunjukkan identitas sebagai orang merdeka. Tuan tanah yang agung, semakin luas tanah yang dimiliki semakin besar kuasanya atas wilayah tersebut. Lalu mengapa menjual kuasa dan kemerdekaan kita pada para bule dan artis? Kepada pengusaha yang jelas ingin mengeruk surga kita? Berapa sih iming-iming yang ditawarkan? Apakah iming-iming lebih besar dari harga diri kita sebagai manusia merdeka?

Ataukah mungkin hidup semakin sulit. Biaya kesehatan begitu mahal karena dengar-dengar Jamkesda sedang carut-marut dialihkan ke BPJS (yang berbayar). Saat sakit harus membayar, tak punya tabungan hanya punya tanah. Mari tuan ambil tanah kami, supaya kami bisa bayar rumah sakit, dan makan beberapa hari, lalu tak boleh sakit lagi seumur hidup kami, apa lagi yang kami punya?

Solusi

Berpendidikan.
Saya bermimpi anak-anak NTT mengecap pendidikan hingga jenjang SMA atau kuliah. Bermimpi anak-anak NTT menjadi manusia cerdas yang tidak mudah dirayu menjadi budak di tanah orang atau tergiur iming-iming investor yang melirik tanah kita.

Bergizi
Saya bermimpi kita merdeka dari masalah-masalah gizi dan kesehatan yang akan menggiring pada kemiskinan. Miskin-kurang gizi-miskin. Seperti rantai setan yang terus membelenggu kita. Bermimpi kita merdeka untuk makan makanan yang bergizi. Biar jagung dengan kacang, biar ubi dengan labu, asal kita makan cukup.

Betapa saya mencintai NTT, tanah lahir saya. Dari butir padi mu, nutrisi tanahmu, dan hasil lautmu saya dikenyangkan, dari budayamu saya dididik, dari jagung yang terus tumbuh menembus himpitan karang saya belajar kuat.
NTT ku sayang, Apa yang bisa kulakukan untukmu?

4 komentar:

  1. keren pol kaka... ijin share :)

    BalasHapus
  2. Sy menyarankan untuk jg bermimpi.
    Mimpikan semua hal baik yg sanggup kamu(kita) pikirkan.
    Berhenti mengungkung pikiran dg memandang sebagian org layak untuk hal - hal besar, dan hal kecil yg tersisa adalah yg tertinggal untuk kita.
    Mulai bermimpi dg membaca. Apa saja dan dimana sj.
    Tulisan yg bagus. Salute.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mari bermimpi sambil lakukan hal-hal baik setiap hari, HYF.
      Terima kasih sudah membaca :)

      Hapus