Beberapa waktu belakangan ini
saya merasa sedih dengan kemalangan-kemalangan yang melanda NTT tercinta.
Kesedihan pertama disebabkan karena kasus human trafficking atau perdagangan
manusia yang sasarannya adalah masyarakat NTT. Digunakan kata perdagangan
karena manusia yang diperdagangkan itu sudah tidak dianggap manusia lagi,
tetapi sebagai komoditas yang mendatangkan keuntungan bagi yang menjualnya.
Peminatnya sungguh banyak, terutama di daerah-daerah yang perindustriannya berkembang
pesat. Para pengusaha kota besar seperti Medan rupanya senang membeli
‘komoditas’ NTT. Bukan karena kerjanya bagus, namun karena ‘komoditas’ NTT
biasanya bersedia bekerja serabutan tanpa tugas pokok yang jelas dengan bayaran
minim. Belakangan ada sesumbar yang menyatakan perdagangan manusia bahkan
terdengar sungguh sopan. Yang sesungguhnya terjadi lebih tepat dinamakan
peternakan manusia. Maksudnya? Karena perlakuan terhadap manusia yang
diperdagangkan itu layaknya sapi. Menunggu hingga remaja, lepas dari induknya,
atau menunggu hingga anak putus sekolah lalu dijual kepada majikan di kota
besar. Majikan pun memperlakukan mereka seperti bukan manusia, tapi sesuatu
yang derajatnya lebih rendah dari manusia. Beberapa budak yang tak kuat fisik
dan mental meninggal sia-sia, bahkan ada pula yang mencoba bunuh diri. Miris. Saya lantas bertanya apa
yang merupakan akar dari mirisnya keadaan ini.
Uang akar permasalahan
Demi mencari uang. Begitu saja. Baik
dari sisi yang diperdagangkan maupun yang memperdagangkan, semua akar penyebab
mengarah kepada kebutuhan akan uang. Pertanyaannya adalah, bagi masyarakat di
kampung, apakah tidak ada jalan lain untuk mencari uang selain menjadi budak di
tanah orang? Dan bagi penyalur ‘komoditas’, apakah caramu meraup uang harus
dengan menjual saudara sendiri, merayu sedemikian rupa dengan iming-iming gaji
besar dan makan gizi, lalu menukar haknya sebagai manusia merdeka dengan uang
(berapa besar jumlahnya saya tidak tahu)?
Itu kesedihan pertama saya.
Kesedihan kedua adalah kesedihan
akan tanah-tanah terindah, surga-surga NTT yang sekarang bukan lagi milik kami
melainkan milik orang asing, yang sekali lagi memandang tanah NTT sebagai
komoditas. Hanya saat tanah-tanah surga kami sudah di lelang di dunia maya oleh
orang asing, dan hasil pemetaan menunjukkan siapa sebenarnya yang menguasai
pariwisata NTT, barulah kita tercengang dan menangis (dalam hati).
Harusnya orang NTT tahu betapa
sakralnya nilai tanah itu. Betapa kepemilikan tanah menunjukkan identitas
sebagai orang merdeka. Tuan tanah yang agung, semakin luas tanah yang dimiliki
semakin besar kuasanya atas wilayah tersebut. Lalu mengapa menjual kuasa dan
kemerdekaan kita pada para bule dan artis? Kepada pengusaha yang jelas ingin
mengeruk surga kita? Berapa sih iming-iming yang ditawarkan? Apakah iming-iming
lebih besar dari harga diri kita sebagai manusia merdeka?
Ataukah mungkin hidup semakin
sulit. Biaya kesehatan begitu mahal karena dengar-dengar Jamkesda sedang
carut-marut dialihkan ke BPJS (yang berbayar). Saat sakit harus membayar, tak
punya tabungan hanya punya tanah. Mari tuan ambil tanah kami, supaya kami bisa
bayar rumah sakit, dan makan beberapa hari, lalu tak boleh sakit lagi seumur
hidup kami, apa lagi yang kami punya?
Solusi
Berpendidikan.
Saya bermimpi anak-anak NTT
mengecap pendidikan hingga jenjang SMA atau kuliah. Bermimpi anak-anak NTT
menjadi manusia cerdas yang tidak mudah dirayu menjadi budak di tanah orang
atau tergiur iming-iming investor yang melirik tanah kita.
Bergizi
Saya bermimpi kita merdeka dari
masalah-masalah gizi dan kesehatan yang akan menggiring pada kemiskinan.
Miskin-kurang gizi-miskin. Seperti rantai setan yang terus membelenggu kita.
Bermimpi kita merdeka untuk makan makanan yang bergizi. Biar jagung dengan
kacang, biar ubi dengan labu, asal kita makan cukup.
Betapa saya mencintai NTT, tanah
lahir saya. Dari butir padi mu, nutrisi tanahmu, dan hasil lautmu saya
dikenyangkan, dari budayamu saya dididik, dari jagung yang terus tumbuh menembus
himpitan karang saya belajar kuat.
NTT ku sayang, Apa yang bisa kulakukan
untukmu?
keren pol kaka... ijin share :)
BalasHapusSilahkan Mita, dengan senang hati :)
HapusSy menyarankan untuk jg bermimpi.
BalasHapusMimpikan semua hal baik yg sanggup kamu(kita) pikirkan.
Berhenti mengungkung pikiran dg memandang sebagian org layak untuk hal - hal besar, dan hal kecil yg tersisa adalah yg tertinggal untuk kita.
Mulai bermimpi dg membaca. Apa saja dan dimana sj.
Tulisan yg bagus. Salute.
Mari bermimpi sambil lakukan hal-hal baik setiap hari, HYF.
HapusTerima kasih sudah membaca :)