Sejak kuliah
dulu saya memiliki profesi impian sebagai dosen. Entah karena benar-benar ingin
berbagi ilmu mencerdaskan bangsa ataukah hanya karena miskin referensi tentang
profesi di bidang gizi. Tapi saya cenderung senang berbicara di depan umum dan
saya tidak merasa gugup atau malu seperti sebagian orang ketika harus berbicara
di depan audiens. Mungkin bekal kepercayaan diri untuk berbicara ini yang
membuat saya perpendapat bahwa profesi dosen cocok bagi saya.
Setelah lulus dari Program Studi Ilmu Gizi Universitas
Brawijaya tahun 2012, saya berencana untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
S2. Tentu saya dengan gelar sarjana saya belum bisa menjadi dosen karena saat
itu sudah ada peraturan bahwa syarat menjadi dosen minimal punya gelar master. Hal
ini semakin menguatkan kehendak saya untuk melanjutkan pendidikan.
Pada dasarnya,
saya termasuk orang yang sangat fleksibel dalam banyak hal dan cenderung ‘nrimo’
jika ditawarkan sesuatu. Saya tidak fokus untuk menjadi dosen. Saya berpikir,
profesi apa saja yang ‘diberi’, saya akan menekuni profesi tersebut. Maka
perjuangan mencari pekerjaan sejak dinyatakan lulus pun dimulai. Saya pun asal
tembak kiri-kanan, buka lowongan perkerjaan dimana, saya berusaha melamar. Aturannya
cuma satu, selama masih berkaitan dengan ilmu gizi, saya mau bekerja. Saya terus
menyebarkan lamaran, baik berupa dokumen maupun melalui email. Rupanya lamaran
kerja saat itu (pertengahan hingga akhir 2012) lebih banyak diminta via email
saja. Teknologi sangat memudahkan proses lamaran pekerjaan. Mungkin untuk lamar
anak orang yang tidak/belum bisa via email. Hehe. Saat itu saya masih berada di
Malang.
Perjuangan sampai
titik keringat penghabisan (berlebihan) itu tidak juga membuahkan hasil. Beberapa
kali saya dipanggil wawancara, tapi selalu ada saja ketidaksesuaian. Hingga ada
suatu dorongan dalam hati untuk pulang saja ke kampung halaman, pada bulan Desember
2012.
Saya pulang
dengan status jobless. Jobless yang bingung harus berbuat apa. Masa depan
benar-benar sebuah misteri. Saya pada akhirnya mengabdikan diri di IRGSC, lembaga
non pemerintah yang menekankan pada bidang penelitian yang berlokasi di Kupang,
NTT.
Hingga suatu
waktu, saat sudah hampir setahun bekerja di IRGSC, dan tanpa berbusa-busa
mempromosikan diri lewat CV dan surat lamaran, tawaran menjadi dosen itu datang
begitu saja kepada saya. Memang bukan juga ‘begitu saja’. Ceritanya, kakak
saya, ka Sandra, punya teman yang berprofesi sebagai dosen di STIKES CHMK (di kupang),
namanya ka Ema Tanaem. Kakak saya pernah menanyakan, jika dibutuhkan dosen
gizi, adiknya (saya) bisa menjadi pengajar. Karena STIKES CHMK adalah untuk
pendidikan Diploma III, maka kemungkinan pengajar dengan latar pendidikan S1
masih diterima. Demikianlah, saat mereka butuh pengajar untuk mata kuliah gizi,
kakak saya dihubungi ka Ema, dan saya diminta untuk menjadi dosen mata kuliah
Gizi Ibu dan Anak untuk jurusan Ilmu Kebidanan di STIKES CHMK. Sesederhana itu.
Mungkin ada hal-hal tertentu yang jika itu merupakan bagian kita, maka kita
tidak perlu jungkir balik untuk mendapatkannya, hal itu akan mengalir kepada
kita dengan sendirinya, pada waktunya.
Hal ini
mengingatkan saya pada profesi impian saya dulu saat kuliah, yaitu menjadi
dosen. Saya utarakan pada om Bos di kantor, dan betapa senangnya saya saat
mereka mendukung profesi saya ini. Jadwal saya mengajar 3 kali seminggu, untuk
jurusan ilmu kebidanan semester 4, karena jumlah kelasnya ada 3. Masing-masing
tiga jam pelajaran, jadi saya bisa mengatur waktu untuk setelah mengajar
kembali ke IRGSC untuk bekerja disana.
Pada tanggal
yang cantik, 14-04-2014, saya memulai profesi baru, berteriak-teriak di depan
kelas sebagai dosen! Pertama kalinya saya mengajar di jurusan kebidanan
semester 4 kelas C, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Citra Husada Mandiri Kupang
(STIKES CHMK). Materi pertama saya adalah tentang konsep gizi. Seperti yang
saya katakan di awal, saya tidak merasa gugup, hanya rasa excited untuk mengajar.
Saya menikmati berinteraksi dalam kelas, menanamkan ilmu gizi dasar dan
membagikan kecintaan saya pada ilmu gizi pada teman-teman (begitu saya
memanggil mereka) calon bidan. Oh ya, karena semuanya calon bidan, sudah pasti
semuanya perempuan.
Membangun antusiasme
dan interaksi dalam kelas rupanya perlu teknik khusus. Saya sangat ingin para
mahasiswa aktif berinteraksi dan menjadikan kelas sebagai tempat yang
menyenangkan untuk berbagi ilmu dan pengalaman, bukan ceramah yang membosankan.
Maka saya berusaha untuk melontarkan berbagai pertanyaan dan brainstorming
untuk diskusi kecil-kecilan. Teman-teman kelas C rupanya belum terbiasa dengan
iklim seperti itu. Maka saya ingin membangun iklim interaksi tersebut, saya yakin
saat mereka ikut berinteraksi di kelas dengan saya, itu akan memudahkan mereka
untuk memahami materi yang saya sampaikan.
Berikut beberapa
potongan slide kuliah perdana saya :
Selain
materi saya juga tentu saja memberi penugasan sih. Hehe.
Begitulah.
Harapan saya sebagai seorang dosen adalah seluruh teman-teman mahasiswa bisa ‘paham’
tentang prinsip gizi, tentang pentingnya gizi bagi ibu dan anak. Dan pada
waktunya nanti mereka terjun langsung ke lapangan sebagai tenaga kesehatan,
mereka dapat membagikan ilmu ini kepada masyarakat. Selain itu bisa berguna
untuk diri sendiri dan orang-orang terdekat juga. Begitulah, saya percaya bahwa
pendidikan mampu membebaskan dan memerdekakan. Hidup gizi!
Menjadi seorang dosen saat ini bukanlah tujuan akhir cita-cita saya. Saya yakin, akan terbuka banyak kesempatan untuk menjadi manusia yang berguna selain berprofesi sebagai pengajar formal.