Selasa, 01 Juli 2014

REFLEKSI SI DOSEN AMATIR



Bulan April 2014 merupakan waktu pertama kalinya untuk saya melakoni profesi sebagai seorang dosen. Karena ini adalah kali pertama saya mengajar di perguruan tinggi, dan karena profesi dosen masih anyar buat saya, maka saya pun menyebut diri saya sendiri ‘Si Dosen Amatir’. Selama hampir 3 bulan lamanya profesi ini saya jalani, dan memang hanya 3 bulan juga saya dijadwalkan mengajar sesuai dengan kontrak perkuliahan untuk mata kuliah ‘Gizi pada Ibu dan Anak’.

Masih terheran-heran rasanya, kok bisa-bisanya saya menjadi dosen? Ya bisa lah, malah kontraknya sudah selesai saya jalani dengan selamat. Hahaha. Nah karena masih segar dalam ingatan bagaimana saya menjadi dosen, maka saat ini, saya, si dosen amatir, hendak melakukan refleksi kecil-kecilan.

Jadi dosen itu bukan main-main : perlu banyak belajar dan persiapan

Mau tidak mau, sebelum mengajar ya harus belajar dulu sebanyak-banyaknya. Belajar bukan hanya sebatas teori saja. Teori maupun praktek sama-sama pentingnya. Misalnya saja ketika saya mengajarkan tentang defisiensi yodium, materi ini baru akan menjadi hidup bila disertai dengan pengalaman nyata pernah berhadapan dengan masyarakat dimana prevalensi gondoknya tinggi. Jadi, menurut saya, menjadi dosen dengan embel-embel gelar pendidikan tinggi itu baik, bahkan keren dan berkelas, namun alangkah lebih baik jika diimbangi dengan pegalaman yang matang. Alangkah lebih baik jika pengajar tidak saja mengajarkan teori dan penelitian terbaru, melainkan berbagi pengalaman nyata. 

Disini saya bersyukur, saya memiliki bekal pengalaman dari beberapa kegiatan-kegiatan di waktu yang lalu mengenai gizi masyarakat . Pengalaman-pengalaman tersebut sangat menolong saya ketika saya berusaha menjelaskan teori kepada para mahasiswa. Pengalaman tersebut juga membantu saya menjelaskan apa-apa saja hal-hal yang perlu dipahami oleh mahasiswa, sekalipun hal-hal tersebut tidak dituliskan di silabus mata kuliah. Karena saya belum lama terjun di dunia kerja, maka pengalaman saya tidak begitu banyak. Mungkin di waktu kedepan, jika akan menjadi seorang pengajar (lagi), maka saya dapat menjadi pengajar yang lebih matang dari sisi pengalaman nyata di masyarakat.

Dari segi teori, saya rasa materi yang saya persiapkan sudah cukup lengkap dengan mengutip dari sumber-sumber terpercaya. Proses persiapan materi seperti sebuah tantangan bagi saya untuk memberikan yang terbaik. Namun tetap saja saya merasa kurang maksimal dalam mempersiapkan teori. Sesungguhnya jika saya menyediakan waktu yang lebih panjang dalam proses persiapan materi-belajar kembali-membaca-mencari-update info terbaru-desain slide, mungkin materi yang saya sampaikan akan lebih berisi dan lebih mudah dipahami. Saya akui, slide saya (selain yang berisi gambar) memang agak membosankan dengan tampilan standar : huruf calibri (ogah ganti-ganti karena makan waktu), dan background solid colour (biar bisa dipakai untuk semua halaman slide). hehe

Jadi dosen itu harus lihai, telaten dan sabar

Namanya juga manusia, kapasitas masing-masing individu tentu berbeda-beda. Demikian juga para mahasiswa. Pakaian seragam yang digunakan hanya menyeragamkan tampilan saja, tapi tidak dengan intelejensi, daya serap, kecepatan memahami materi, perhatian, konsentrasi, karakter, dan lain sebagainya. Seorang dosen perlu pandai-pandai membaca situasi kelas dan secara lihai melakukan transformasi teknik mengajar. Contohnya ketika sedang mengajar, mahasiswa terlalu ribut atau bahkan terlalu tenang, maka perlu secara cepat menganalisa penyebab situasi semacam ini. Terkadang hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, contohnya LCD yang tidak dapat digunakan, secara kreatif berpikir bagaimana mengatasi hambatan seperti itu.

Menjelaskan sesuatu kepada mahasiswa butuh ketelatenan dan kesabaran. Biasanya mahasiswa yang duduk di barisan depan adalah orang-orang yang cukup baik dalam memahami kuliah. Lain halnya dengan mahasiswa yang memilih duduk di pojokan yang tidak dapat terjangkau sudut mata dosen. Kadang perlu waktu ekstra untuk menjelaskan sesuatu kepada mahasiswa yang kurang mampu memahami secara cepat. Nah menghadapi kenyataan ini, saya membuka kelas khusus untuk mahasiswa yang minta diajari lebih detail secara gratis dan terbuka. Sedia snack pula. Lokasinya bisa nego lho. Kurang mulia apa coba? Hehe. Untuk poin ini saya merasa saya sudah cukup bersabar dan telaten. Semoga saya disayangi Tuhan. Amin.

Jadi dosen bisa mabuk saat koreksi tugas dan hasil ujian

Berbekal idealisme saya untuk membuat soal ujian dengan jenis jawaban singkat dan uraian (yang lumayan banyak, ada hitung-hitungannya pula), maka saya mendapat hadiah tumpukan kertas hasil ujian yang cukup membuat saya merasa mabuk dan mual saat mengoreksi. Well, sebenarnya saya tidak pernah merasa seperti apa mabuk alkohol itu, tapi mabuk laut dan mabuk darat pernah. Jadi kira-kira seperti itulah rasanya memeriksa jawaban ujian 120an mahasiswa ditambah lagi dengan tugas yang juga banyak. Jadi jika untuk mahasiswa di akhir soal ujian biasanya dituliskan “Selamat mengerjakan, semoga sukses”, punya dosen kira-kira “selamat mengoreksi, jangan lupa minum antimo”

Jadi dosen (di bidang kesehatan) wajib berpakaian rapi

Hal ini jujur saja berat buat saya. Saya mencintai kebebasan berpakaian. Menggunakan busana formal menurut saya tidak bebas. Saya yang biasanya sehari-hari bekerja dengan kaos-jeans-sepatu/sendal, kali ini mau tidak mau harus berpakaian rapi. Beruntung saya masih memiliki modal celana kain 1 lembar. Satu-satunya celana kain saya ini yang menghantarkan saya mulai awal mengajar sampai akhir, tanpa pengganti celana atau rok lainnya. haha. Dan saya terpaksa membeli sebuah sepatu wedges, yang tidak begitu saya sukai, untuk menunjang penampilan dan menghindarkan saya dari menggunakan celana kain dan sepatu sneacker. Yuk, mari.

Jadi dosen (kontrak) keuangannya kurang terjamin

Nasib keuangan seorang dosen kontrak tidak menentu. Dosen kontrak yang malang kurang diperhatikan kesejahteraannya. Jangan berharap dibayar setiap bulan layaknya dosen tetap. Dosen kontrak atau dosen luar biasa memang dituntut untuk luar biasa bersabar karena upah mengajar diberikan satu kali di akhir semester. Sampai saat ini saya belum dibayar, harus menunggu beberapa bulan sampai selesai semester barulah (menurut mereka) honor saya diberikan. Maka jangan berharap untuk hidup sebagai seorang dosen (kontrak) semata, sangat disarankan memiliki pekerjaan lain (yang cukup fleksibel) untuk menunjang kehidupan. 

Demikianlah sedikit refleksi saya yang sedikit mengarah ke curhat sebagai seorang dosen amatir. Saya tak lupa minta teman-teman mahasiswa untuk memberikan evaluasi berupa kesan dan pesan terhadap perkuliahan gizi melalui tulisan singkat di kertas-kertas mungil. Dan kira-kira begini tulisan mereka:

‘Materi lengkap’
‘Ibu kurang tegas’. Banyak sekali yang bilang saya perlu lebih tegas terutama bagi yang datang terlambat.
‘Ibu cantik’. Kyaaa. Kirim cium jauh. Haha
‘Ibu terlalu baik’. Ini konotasi negatif, menurut mereka saya kurang gahar. Semoga pengurus program studi juga baik pada saya :’)
‘Tepat waktu’. Senangnya bisa tepat waktu mengajar, walau kadang-kadang harus lari-lari cantik supaya tidak terlambat masuk kelas.
Mahasiswa yang cenderung masuk tidak tepat waktu : “Pertahankan kebaikan ibu”. Mahasiswa yang datang tepat waktu “Ibu harus lebih tegas, beri hukuman pada yang terlambat”. Iki piyeeee?
‘Perlu ada kuis di setiap akhir perkuliahan’. Boleh juga usul ini.
‘Cara mengajar ibu menarik’, ‘santai’, ‘tidak membedakan mahasiswa’, ‘ceria’, ‘mudah dimengerti’. Okedehhhh.
‘Ibu perlu berjalan ke belakang kelas’. Iyasih, kurang keliling-keliling kelas.
‘Ibu terlalu banyak bergerak’. Waduh, terlalu bersemangat apa ya? Hahaha
‘Buat kami, ibu yang terbaik’. Dudududu, ini gombal atau apa? Yang penting materinya kesampaian ya, saya sayang kalian semua, mahasiswa-mahasiswa perdana ku!

Penutup refleksi : Pertanyaan untuk diri sendiri.

Kalau satu saat kemudian ada kesempatan atau tawaran untuk kembali menjadi dosen, diterima atau tidak?
Meski penuh tantangan, menguras pikiran, perasaan, waktu, bahkan dana, dan harus berpakaian ala wanita dewasa yang serius, tapi ada kepuasan saat mentransfer pengetahuan dan pengalaman serta kecintaan terhadap dunia gizi kepada mahasiswa. Jadi jawaban saya, mungkin akan diterima. :)

Kupang, 1 Juli 2014

 Atas permintaan mahasiswa, kami foto bersama di akhir masa perkuliahan. 
Saya di tengah, diselamatkan oleh sepatu 7 cm.

6 komentar:

  1. Hahaha good for you jenk. Akhir2 ini b ju berpikir ingin turut serta mencerdaskan bangsa dg jadi dosen tapi berat jugaaaa akk lol. Ada b punya dosen yang bilang jd dosen walau gaji kecil tp menyenangkan krn bisa ketemu orang baru tiap semester hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. cita-cita mulia tu jenk, bisa jadi dosen tetap atau kontrak kok jenk. hehe. Ada yang bilang jadi dosen itu kerjanya dos-dos, gajinya sen-sen. haha
      Tapi menurut beta kepuasan ngajar itu yang bikin betah. Mau son mau harus belajar terus juga, jadi ilmunya terus di update :)

      Hapus
  2. thanks sharingnya mba, susah-susah gampang pokoknya, saya juga msh prlu bxak bljar :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih juga sudah berkunjung, Mbak Sri. Mbak pengajar ya? Semangat berbagi ilmu sambil belajar Mbak :)

      Hapus
  3. Terima kasih banyak Mba sharingnya, saya besok mulai menapaki profesi varu sebagai seorang dosen. Doakan ya Mbaaa...

    BalasHapus