Sabtu, 25 Juni 2016

Pindah Apartemen

Otot-otot lengan saya dalam beberapa hari ini terasa mengencang. Bagaimana tidak, saya baru saja pindah tempat tinggal. Memboyong seluruh barang saya ke tempat tinggal baru adalah suatu kepastian.

Rumah lama saya adalah jenis apartemen dengan uang sewa yang murah. Letaknya bersisian dengan kampus, walau tetap perlu berjalan kaki selama 20 menit untuk tiba di kelas atau perpustakaan. Meski murah dan relatif dekat dengan kampus, bangunan apartemen saya sudah tua sekali. Lantainya sering berderit jerit saat dipijak. Saya yang tinggal di lantai dua sering menelan komplain dari tetangga di lantai satu karena mengganggu tidur mereka. Maklum, saya termasuk kategori mamalia nokturnal yang sering tidur diatas pukul 2 malam. Lalu, dikala orang lain tidur lelap, saya mau tak mau kelayapan keliling rumah demi minum air, membongkar persediaan jajan, atau buang air, dan aktivitas manusia hidup pada umumnya. Meski berusaha tidak melolong saat pukul 12 di malam purnama (lu pikir manusia serigala?), toh kegiatan-kegiatan kecil itu bisa saja mengganggu kesejahteraan orang lain karena lantai yang berteriak dan tembok yang bertelinga :p.

Tapi sungguh, apartemen disini entah dibangun dengan bahan apa, tembok pembatas antar ruangan itu terlampau tipis (saya sebut itu tripleks), demikian pula lapisan pembatas antar lantai. Suatu kali tetangga lantai bawah membuat lelucon dan saya ingin ikut tertawa hendak mengempatikan keseruan mereka. Sayangnya mereka bercanda dalam bahasa mandarin.

Saya pun pindah ke apartemen baru. Alasannya selain ingin pindah ke bangunan dengan konstruksi yang lebih nyaman (tentu lebih mahal), juga karena ingin mencari suasana baru. Rumah baru ini masih dalam manajemen Jardine Apartment, apartemen dalam kampus yang sama dengan yang lama. Saya hanya pindah dari gedung N ke gedung P. Dari tipe traditional (tipe termurah) ke tipe renovated (setingkat lebih oke). Sisi baiknya tentu ciri fisiknya yang lebih kokoh. Sisi kurang baiknya (yang bisa saja jadi baik, tergantung cara melihat) adalah jarak tempuh ke kelas semakin jauh. Perlu jalan kaki selama 25-30 menit untuk bisa tiba di perpustakaan atau kelas. Semoga otot-otot saya semakin terlatih menghadapi kenyataan ini.

Saat tiba waktu pindahan, saya memesan jasa angkut barang yang dikelola secara profesional oleh organisasi bernama College Moving Labor. Pekerjanya adalah anak-anak kuliahan yang berperan sebagai tenaga angkut barang bagi mereka yang hendak berpindah tempat tinggal. Jardine adalah jenis apartemen non-furnished, artinya apartemen kosong tanpa perabot, kecuali kompor+oven, kulkas, AC, dan laci-laci dapur yang memang disediakan disetiap unit. Barang-barang seperti tempat tidur, meja, kursi, lemari, dan lainnya harus disediakan sendiri oleh penyewa. Kontan saya membutuhkan jasa angkut barang tersebut karena mengangkut kasur sendiri dan barang-barang berat lainnya saya tak berdaya. Catatan penting, saya selalu kagum melihat kekuatan fisik orang-orang di US. Perempuan dan laki-laki sama saja, tenaga mereka luar biasa. Mungkin ini bukti investasi konsumsi protein dan kalsium tinggi sejak kecil.

Saya bukanlah tipe yang suka menimbun barang. Namun tidak ternyana, setelah satu tahun hidup di sini, barang-barang saya seperti bermultiplikasi. Tanggal 28 Juni 2015 saya tiba di Amerika dengan 1 koper sedang dan 1 ransel kuliah. Kabar barang-barang saya satu tahun kemudian cukup mengherankan. Buku pelajaran dan novel yang terus bertambah jumlahnya, ditambah cetakan materi kuliah dan artikel ilmiah. Baju-baju baru (dan sepatu) semakin memenuhi lemari karena setiap musim punya karakteristik baju yang berbeda (bandingkan dengan cuaca di Kupang, misalnya, yang sepanjang tahun hampir dipastikan bisa memakai jenis baju yang sama). Rangkaian produk Body Shop yang sulit untuk ditolak keberadaannya turut menghiasi meja saya :D. Juga barang lainnya seperti peralatan masak dan makan.

Pindah rumah bisa menjadi suatu aktivitas yang memicu pening di kepala saat menyaksikan jumlah barang yang semakin meningkat. Di sisi lain, pindah rumah seperti menyadarkan saya tentang barang apa saja yang saya miliki. Barang-barang yang saya rasa tidak penting pada akhirnya saya tinggalkan, sedangkan yang penting saya pertahankan. Melalui pindah rumah, saya diingatkan bahwa kepemilikan barang-barang ini hanya bersifat sementara. Tahun depan saat saya akan kembali ke Indonesia saya tidak mungkin memboyong jaket-jaket musim dingin yang saya beli disini. Akan konyol jika sepatu boot salju saya dibungkus menuju Kupang. Kesadaran akan kesementaraan pemilikan barang ini semoga membuat saya lebih awas untuk tidak terus menimbun barang dan lebih berhati-hati dalam membeli barang. Sebaiknya saya mulai berlatih seni melepaskan: "the art of letting go" sejak sekarang ini.

Saat ini saya sedang menikmati rumah baru yang longgar dan bersih (berkat serumah dengan Mbak Tia yang selalu rapi), menikmati sinar matahari summer yang berlimpah-limpah, dan mengistirahatkan otot-otot tangguh ini :D.

Tumbuhan ini namanya Sweet William. Dia ikut diboyong ke rumah yang baru.





1 komentar:

  1. kalau sudah pindah rumah atau apartemen memang agak pening gan..
    rasanya seperti barang kita tidak habis-habis susunnya gan..
    saya dulu pindah kos saja sudah banyak barang gan..
    apartemen dijual di sidoarjo

    BalasHapus