Kamis, 11 Februari 2016

Stres dan Penyakit

Di semester spring 2016 ini saya mengambil mata kuliah pilihan Health Psychology. Alasan utama saya memilih mata kuliah tersebut karena sejak dulu saya punya ketertarikan terhadap dunia psikologi. Saya penasaran tentang hubungan psikologi dengan kesehatan.

Kelas dimulai pada pertengahan/akhir bulan Januari. Saat itu, saya baru saja kembali ke Manhattan, KS, setelah berlibur selama kurang lebih 3 minggu di Soe untuk menghadiri rangkaian acara pernikahan kak Sandra dan kak Yosua. Saya awali kuliah semester Spring ini dengan kondisi tubuh yang tidak stabil. Peralihan cuaca Soe/Kupang dan Manhattan yang drastis karena disini sedang musim dingin/winter. Lalu penyesuaian waktu tidur yang cukup sulit karena perbedaan waktu 14 jam antara Manhattan (CST) dan WITA ; satu minggu setelah tiba di Manhattan, waktu tidur saya sangat sedikit dan tidak teratur. Ditambah lagi saya diare. Tambahan lagi, beberapa hari awal tidak ada sinar matahari, ini benar-benar membuat lesu! Saya khawatir jika kondisi saya tidak membaik, performa akademik saya akan buruk.

Kembali ke kelas Health Psychology. Mata kuliah ini terdiri dari tiga kali tatap muka dalam seminggu. Minggu pertama dosen banyak membahas tentang hubungan stres dan kesehatan. Sudah terbukti bahwa stres, sedih, dan depresi (mungkin galau juga termasuk? :p) berhubungan erat dengan kondisi fisik seseorang.

Saat stres, fungsi sistem imun dalam tubuh akan berkurang sehingga seseorang yang mengalami stres atau depresi akan rentan terhadap penyakit. Selain itu, dalam kondisi stres, seseorang cenderung tidak merawat dirinya dengan baik, waktu tidur berkurang, waktu berolahraga berkurang, kehilangan napsu makan, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu akan mempengaruhi status kesehatan seseorang.

Demikian stres, emosi seseorang, ataupun depresi menciptakan gejala fisik seperti gangguan pencernaan atau diare, nyeri lambung, sakit kepala, napas tersengal, masalah waktu tidur, sakit leher, dan sebagainya. Orang yang stres juga lebih sering terkena demam/flu dibandingkan mereka yang tidak stres. Itu baru gejala-gejalanya. Jika dibiarkan terus-menerus, stres berkepanjangan tentu sangat berbahaya terhadap status kesehatan.

Lalu saya tersadar, kenapa gejala-gejala di awal semester yang saya alami tadi mirip dengan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh stres? Di kelas awal Health Psychology itulah saya menyadari bahwa saya sedang stres. Ada hal yang menjadi beban pikiran saya sampai membuat saya diare (sampai berminggu-minggu, tidak parah, tapi makanan yang saya makan tidak terserap sempurna), tidak bisa tidur (awalnya saya pikir karena perbedaan waktu), dan bawaan melodramatis (awalnya saya berasumsi karena matahari yang terus tertutup awan tebal). Di titik itulah saya memutuskan untuk tidak membebani pikiran saya dan lebih mencintai diri saya dengan cara menghindari hal-hal yang membuat saya stres.

Saya sudah minum obat diare; diarenya berhenti sebentar lalu kembali lagi. Saya sudah disarankan teman untuk minum obat (pengatur) tidur (belum sempat saya beli). Tapi apalah gunanya obat-obat itu kalau mereka hanya mampu mengurangi gejala, dan bukan mengobati sumber yang sebenarnya adalah stres itu? Beberapa hari setelah saya sadar akan kondisi fisik dan psikis saya, serta hubungan antara keduanya, saya pun dapat tidur dengan sangat pulas. Saya membiarkan tubuh saya beristirahat. Lalu diare beminggu-minggu itu pun hilang. Tanpa obat sama sekali.

Kalau ada yang mengalami gejala-gejala demikian (bisa jadi berbeda dengan saya), mungkin salah satu pertanyaan yang harus ditanyakan pada diri sendiri adalah apakah diri kita sedang sedih/stres/depresi?
Kalau ya, tentulah diri kita layak untuk mendapat perhatian khusus (butuh dicintai/self love), mencari tahu apa yang bisa membuat kita bahagia kembali, dan menghindari beban-beban yang membuat kita terganggu, atau mengubah fokus pikiran kita ke hal-hal yang positif.

Ahh, saya ternyata berbakat menjadi psikiater/psikolog :p :p

Manhattan, KS, 11/02/16


Sumber gambar: thespiritscience(dot)net

Selasa, 09 Februari 2016

0902



Itu salah satu foto favorit saya.
Konon sebuah foto atau gambar mampu menjelaskan banyak hal:
Seperti Ferdy, dengan baju putihnya yang baru saja dibeli di Soe karena merasa perlu mengenakan baju putih setelah rambutnya dipangkas rapi.
Lalu di Soe, lokasi potret itu.

Tidak berhenti sampai disitu, karena kalau ingin dirincikan, ada cerita panjang mengapa Ferdy memutuskan potong rambut dan mengapa kami bisa duduk di pinggir jalanan Soe. Saya setuju, sebuah gambar bisa punya segudang cerita.

Namun selain dari cerita panjang dibalik foto diatas, alasan lain mengapa saya menyenangi foto itu adalah ekspresi Ferdy. Ekspresi yang menegaskan kerut-kerut di sudut matanya; favorit saya!

Hari ini saya menelepon Ferdy dengan perasaan bahagia yang unik. Perasaan yang sama di waktu yang juga sama seperti tahun yang lalu saat saya sedang di Kupang. Walaupun disini masih tanggal 8, di Maumere sudah tanggal 9 Februari, dan Ferdy genap 25 tahun. Saya bersyukur untuk pertambahan usia ini :).

Dunia masih (semoga selalu) menarik buat Ferdy. Dia sedang bersemangat belajar menulis dan update blog. Semoga dia tetap semangat mengembangkan kemampuannya. Ada keinginan untuk pelajari penelitian dengan serius. Semoga ada kesempatan untuk itu. Dia masih terus bermimpi menjadi petani. Semoga rajin dan punya waktu untuk bertanam. Dia sedang aktif di grup pencinta musik dan organisasi kampus, senang kumpul dengan teman-teman, diskusi, dan belajar dari orang-orang disekelilingnya, semoga dia tetap semangat belajar, berbagi mimpi-mimpi dan energi optimisme.

Kembali ke foto, semoga Ferdy sehat dan banyak bahagia, banyak tertawa seperti foto diatas. Itu keinginan terbesar saya.

Selamat ulang tahun, Ferdy!

(Foto diambil oleh Ryan DeChantilla)




Senin, 01 Februari 2016

Kakak Perempuan (yang Menikah)

Saya punya seorang kakak perempuan yang berusia 3 tahun 5 bulan lebih tua dari saya.
Tampaknya, sejak hari saya lahir sampai hari ini, kami selalu berteman. Kami dililit oleh kuatnya ikatan batin saudara perempuan. Dia selalu "mengawasi" saya sejak saya mengenal dunia. Dia bahkan jauh lebih mengenal saya ketimbang mama dan papa. Atau bahkan siapapun di dunia ini.

Hidup selalu punya cara untuk mewarnai hubungan kakak beradik kami yang terus berevolusi.
Dari teman bertengkar dan mengejek, teman curhat, teman cuci mata di mall, teman makan bersama, teman bercerita tentang apa saja, teman saat butuh tertawa tanpa banyak usaha, teman tidur bersama, teman bersekongkol untuk menyembunyikan sesuatu dari mama papa, sampai teman yang saling "memantau" di media sosial.

Kak Sandra namanya.
Dia perempuan karismatik.
Sejak kecil kak Sandra selalu berprestasi dan selalu menjadi kebanggaan kami.
Dia maskot keluarga kami. Dia membuat papa dan mama menjadi orang tua yang berbangga dan dihormati.
Dia menghafal tanggal lahir kami, sepupu kami, dan banyak orang disekitarnya.
Dia anggun (meskipun sering saya salah artikan itu sebagai kurang lincah :D).
Tapi sungguh dia sangat anggun dan cantik.
Dia punya hati yang lembut. Dia peka dan senang membuat orang lain bahagia.
Jalan-jalannya diberkati.
Dia jarang menjadi cerewet. Dia lebih senang mendengar orang berbicara, atau duduk membaca, dan sering melamun. Kompensasinya, sejak kecil dia banyak menulis.
Naluri "Kakak" itu sangat kuat dimilikinya. Ia sangat keibuan dan penyayang, ia senang dengan anak kecil, dan senang memperhatikan kebutuhan adik-adiknya. Sejak dia sudah bisa mengatur uangnya sendiri saat SMA, dia membelikan berbagai pakaian, tas, dan asesoris buat saya yang saat itu masih SMP.
Dia seorang dokter yang rendah hati dan casual. Tangan halusnya telaten memeriksa, merawat, menyembuhkan. Tak terhitung kalanya dia menjadi dokter pribadi bagi saya dan keluarga kami.
Dia senang mengajar adik-adik sekolah minggu.
Ah... Dia memang manuasia yang keren.

Hidup Berpasangan

Tidak bisa dipungkiri waktu berjalan dengan cepat dan tiba saatnya teman sejak lahir saya ini untuk hidup berumah tangga. Saya bahagia. Saya rasa alam semesta dan semua orang yang mengenal kak Sandra dan suaminya, kak Yosua, ikut berbahagia untuk mereka. Di malam terakhir saya dan kak Sandra tidur bersama di kamarnya (yang besoknya disulap menjadi kamar pengantin), ada rasa haru dan belum rela untuk 'berpisah ranjang' dengannya.

Saya sangat beruntung bisa hadir dalam proses peminangan, pemberkatan, dan resepsi mereka. Seluruh acara berjalan dengan mulus, sederhana tapi menyentuh dan khusyuk. Belum pernah saya melihat pernikahan dimana kedua mempelai begitu menikmati acara mereka sendiri. Seumur hidup, baru kali itu saya melihat saudara perempuan saya begitu bahagia, begitu cantik, begitu anggunnya. Kak Sandra dan Kak Yosua bagaikan sepasang pangeran dan tuan putri, aura dan fisik mereka memang sangat mendukung :). Sungguh, saya tidak berlebihan, teman saya mengkonfirmasi hal yang sama. Dan beberapa teman mengomentari ekspresi kakak saya yang begitu lepas dan bahagia saat resepsi pernikahan. Ah, ya! Dia sangat menikmati malam itu! Dia bahkan tidak gugup sama sekali.

Selamat menikmati hidup berumah tangga, kakak Sandra Olivia Frans dan Kakak Yosua Natanael Sriadi!
Dunia ini menjadi lebih baik dengan hadirnya dua orang baik seperti kalian. Terlebih, sekarang, kalian partner yang tidak terpisahkan!
Berbahagialah selalu.

Semoga cerita kita tidak sampai disini saja, kakak perempuan, teman seumur hidup!



  Ka Sandra dan Ka Yosua saat resepsi pernikahan. Sabtu, 2 Januari 2016


Tiga bersaudara: Ka Sandra, kakak sulung kami diapit saya dan Nyongki
(Semua foto dari Soft Photoghraphy)