Baru setengah jam menonton pertandingan bola, saya mulai bosan. Om
Zadrak mengajak saya dan salah satu keponakan perempuannya, Rosi, yang berusia
13 tahun, untuk berjalan keliling di pantai Nemberala. Ternyata, letak pantai
yang tersohor itu begitu dekat dengan rumah ibu Om Zadrak. Jadi dari rumah,
melewati sisi lapangan, lalu menyeberang jalan, ada jalan masuk 50 meter,
ketemu deh pantainya. Huaaa, saya begitu senang bisa menginjakkan kaki dan
melihat langsung pantai Nemberala. Bagi saya yang mencintai pantai ini, ketemu
pantai rasanya bahagia sekali.
Pantai Nemberala
Menurut penuturan om Zadrak, pantai Nemberala ini salah
salah satu tempat wisata di Rote yang pertama kali dikenal oleh para wisatawan
dari luar Indonesia, sekitar tahun 80an. Kemudian barulah pantai Bo’a (pantai
pusat surfing, letaknya lebih jauh dari pantai Nemberala) dikenal. Tahun 1992, berdirilah hotel pertama
di kawasan wisata pantai Nemberala, Hotel Tirosa. Hotel pertama ini dibangun
oleh keluarga Messakh, yang sampai saat ini tetap dioperasikan oleh keluarga
besar Messakh. Harga kamar lumayan terjangkau, Rp.200.000 per orang per malam
dan masih bisa nego untuk orang Indonesia. Dengan harga demikian, sudah bisa
menikmati bangun pagi di pinggir pantai.
Baru kemudian muncullah hotel, villa, atau cottage yang
pemiliknya sebagian besar adalah bule-bule Eropa. Pertama mereka mengontrak
tanah –tanah tepat di bibir pantai Nemberala. Tanah tersebut dikontrak untuk
jangka panjang. Bisa dikontrak dengan jangka waktu 20 hingga 30 tahun. Biaya
kontrak tanah bermacam-macam, bergantung pada lama masa kontrak dan luas tanah.
Menurut penduduk sekitar harga kontrak berkisar 500-600 juta rupiah. Tentu
dalam jangka waktu yang lama.
Setelah mengontrak tanah, mereka kemudian mulai mengurusi
tanah mereka itu. Membangun pagar batu, membuat konsep yang matang untuk para
calon pengunjung hotel mereka, yang juga adalah para bule. Mungkin cuma orang
bule yang tahu bagaimana melayani sesama bule, sehingga mereka membangun
semacam atmosfir mereka sendiri di dalam resort-resort pribadi mereka.
Saat ini, hampir seluruh kawasan bibir pantai sudah
dikontrakkan kepada Bule untuk 20 sampai
30 tahun mendatang. Sayangnya, ada pengontrak tanah yang setelah mendapat ijin
kontrak, beliau mengontrakan tanah tersebut kepada bule lain dengan harga yang
tentu saja lebih tinggi. Untung sampai saat ini belum ada penduduk Nemberala
yang menjual tanahnya secara utuh kepada para pendatang, hanya dikontrakkan
saja. Kecuali ada seorang penduduk yang memang ‘tidak sengaja’ menjual tanahnya
karena kesalahan pribadi. Namun kata om Zadrak, di wilayah pantai Bo’a, banyak
wisatawan berduit yang sudah beli putus (istilah untuk membeli lahan dan lahan
tersebut menjadi kepemilikan pembeli seutuhnya) tanah-tanah surga disana.
Memang begitu mendengar uang 500 atau 600 juta, penduduk
mudah tergiur dengan angka tersebut. Uang itu lalu dibagi-bagikan kepada
sejumlah saudara pemilik tanah. Uangnya bisa untuk beli kendaraan dan makan
minum, namun tidak dalam jangka waktu lama. Mungkin satu dua tahun kemudian
uang tersebut sudah ludes.
Om Zadrak menyayangkan hal tersebut. Menurut beliau perlu
dibuat suatu kesepakatan yang dapat menguntungkan bukan saja bagi pengontrak
tanah, tapi juga bagi pemilik sebenarnya atau penduduk lokal. Misalnya dengan
membuat kesepakatan bahwa jika pengontrak membangun hotel atau cottage, pengontrak
tanah tersebut wajib juga membangun sesuatu atau memberikan hak sebuah kamar
kepada pemilik tanah sebenarnya. Karena satu-satunya keuntungan yang dirasakan
masyarakat lokal dari pembangunan hotel oleh wisatawan asing adalah karena
mereka mendapat pekerjaan sementara sebagai buruh bangunan.
Pantai Nemberala yang namanya sudah terkenal dimana-mana ini
ternyata memang indah. Bentangan pasirnya sangat luas dan lumayan lebar. Bagian sebelah kiri
pasirnya besar besar butirannya, sedangkan yang sebelah kanan pantai pasirnya
halus dan lebih putih, sensasinya seperti berjalan di atas tepung.
Bagian Pantai Nemberala yang pasirnya putih dan halus
Yang menarik dari pantai ini adalah pantai ini juga
dimanfaatkan masyarakat setempat untuk membudidayakan rumput laut. Masing-masing
petani rumput laut punya petak-petak di pinggir laut untuk ditanami rumput
laut. Rumput laut yang sudah dipanen kemudian dijemur/dikeringkan, kemudian
dijual. Harga 1 kg rumput laut kira-kira Rp.16.000. Banyak penduduk desa
Nemberala yang berprofesi sebagai petani rumput laut.
Om Zadrak dan salah satu keluarganya hang sedang panen rumput laut
Salah satu hal yang menurut saya belum ada di tempat wisata
ini adalah tempat penjualan suvenir khas Rote. Saya yang baru datang ke tempat
ini langsung bertanya apakah ada tempat penjualan suvenir, siapa tahu bisa
membelikan oleh-oleh bagi teman-teman di Kupang. Namun ternyata tidak ada toko
seperti itu. Padahal potensinya cukup besar. Seharusnya ada tempat yang
menyediakan oleh-oleh seperti selendang tenun Rote, gantungan kunci ti’i langga
atau sasanso, atau bisa juga menjual gula aer.
Nemberala juga merupakan lokasi surfing. Namun lokasi
surfingnya agak jauh ke arah laut sehingga tidak dapat menonton langsung
peselancar dari bibir pantai.
Diatas semuanya, saya menyukai pantai ini, dan pantai
ini wajib dikunjungi oleh semua pencinta pantai! Selama dua hari
berturut-turut, saya menghabiskan senja di pantai yang Nemberala luas ini.
Malam pertama kami kembali untuk tidur di rumah pak pendeta, lalu hari kedua
menginap di rumah ibu om Zadrak di dekat pantai.
Senja di Pantai Nemberala
Santai berjemur
Sampai Ketemu Lagi,
Rote!
Setelah misi saya dan om Zadrak selesai, kami bersiap diri
untuk kembali ke Kupang. Ibu bidan membekali kami dengan gula merah khas Rote
dan gula aer. Kami diantarkan teman pak pendeta ke bandara, pak pendeta ikut
mengantarkan kami sampai duduk di kapal.
Rasanya belum puas karena hanya 2 malam dan belum berkunjung
ke banyak tempat di Rote. Maka saya berjanji dalam hati bahwa suatu hari nanti
akan kembali ke tempat ini. Meski singkat, saya sangat bersyukur untuk kesempatan ke
pulau Rote kali ini. Ternyata memang benar juga referensi dari teman-teman otak
Rote saya, Rote itu indah!
Sampai ketemu lagi, Rote!
Pantai Nemberala : wajib dikunjungi