Memasuki tahun 2014 ini saya memiliki keinginan menggebu untuk
mengunjungi tetangga dari pulau Timor : Pulau Rote!
Karena penasaran seperti apa pulau Rote itu, saya lantas
bertanya kepada beberapa kenalan saya sebagai referensi. Mungkin karena mereka
adalah orang-orang asli Rote (yang terkenal dengan julukan ‘otak Rote’ hehe),
maka semua yang diceritakan kepada saya adalah hal-hal indah nan luar biasa
tentang Rote, sehingga membuat saya semakin penasaran ingin melihat pulau
seberang ini.
Sampai tiba di bulan Mei 2014, tawaran untuk pergi ke Rote
itu datang sekonyong-konyong. Kaget juga, ternyata apa yang diidam-idamkan
datang seolah-olah memang sudah menjadi bagian saya. Ceritanya, Perkumpulan
PIKUL (tempat saya bekerja beberapa bulan terakhir) akan melakukan uji coba
tools pemantauan pangan, dan saya termasuk dalam tim untuk uji coba alat
tersebut, yang salah satunya di pulau Rote. Ah, memang, sekali lagi, kesempatan
jalan-jalan tidak pernah jauh-jauh dari Nike :).
Hari Senin tanggal 26 Mei pagi saya menuju ke pelabuhan
Tenau diantarkan Ka Dicky. Teman perjalanan saya ke Rote adalah om Zadrak
Mengge dan Pendeta Ardy Lay. Begitu tahu teman perjalanan saya (ditetapkan oleh
PIKUL), saya menjadi sedikit sungkan. Bagaimana ya, om Zadrak itu Majelis gereja, lalu teman perjalanan yang lain seorang pendeta, sedangkan saya jemaat biasa yang sering alpa ke
gereja pula. Duh. Om Zadrak sudah saya kenal 3 bulan terakhir
ini karena beberapa kali sempat ke desa bersama om Zadrak. Pak pendeta Ardy
yang belum pernah saya temui.
Sesampainya di
pelabuhan tenau, dan setelah menunggu beberapa lama, om Zadrak pun datang. Dan
kami membeli tiket kapal cepat ke Rote. Ada 2 jalur pelayaran ke Rote,
menggunakan kapal cepat dari pelabuhan Tenau, atau kapal veri dari pelabuhan
Bolok. Di pulau Rote, kapal ini bersandar di pelabuhan yang berbeda pula.
Dengan kapal cepat bersandar di pelabuhan Ba’a, di ibukota kabupaten Rote-Ndao.
Tarif kapal cepat Rp.150.000, dan kurang lebih 2 jam perjalanan.
Setelah beli tiket untuk 3 orang (saya, om Zadrak, dan pak
Pendeta), saya dan om Zadrak menunggu pak pendeta di ruang tunggu. Beberapa
saat kemudian beliau datang. Kesan pertama saya terhadap pendeta satu ini : ‘ternyata
beliau masih muda, saya pikir sudah bapak-bapak’ (dan ternyata setelah tau,
memang secara usia sudah bapak-bapak sih, penampilannya saja yang agak menipu.
Hehe, peace pak Pendeta!)
Kapal Express Bahari yang sukses mengantarkan saya ke pulau tetangga
Express Bahari Menuru
Pulau Rote
Kami bertiga kemudian naik ke kapal Express Bahari dan
mencari nomor kursi kami di bagian D. Baru duduk sebentar, sekitar 20 menitan,
gelombang yang lumayan besar terasa menggoyang kapal. Rupanya kami sedang
melewati ‘lolok’, titik arus dari selat Rote yang cukup kencang. Kalau sudah
masuk arus besar ini, artinya pulau Rote sudah mulai terlihat.
Kembali ke teman perjalanan, Pdt.Ardy, sedari tadi saya
perhatikan, beliau sepertinya mengenali banyak orang di kapal tersebut.
Ibu-ibu, opa-opa, bapak, nona, semua disapa oleh pak pendeta. Kesan kedua saya,
‘wah pendeta gaul ini’ (kalau ini memang benar, beliau senang bergaul).
Nah, masuk ke lolok berarus ini, pak pendeta bertanya ke
saya : mau liat ombak? Ayo keluar. Alamak, saya manut saja. Dasar jarang-jarang
naik kapal, saya agak kesulitan menemukan keseimbangan, jadi saat berjalan di
kapal yang sedang oleng itu, mata saya hanya mencari-cari dimana pegangan
supaya bisa bertahan dan tidak ambruk, maklum gaya tekan kebawah minim seminim
orangnya.
Sampai di luar atau di ‘balkon’ nya kapal, eh ternyata
diluar sini ramai. Banyak yang sengaja ambil posisi di luar karena meskipun
berdiri, bisa cuci mata dengan pemandangan indah, dan cuci muka juga sih,
karena air laut kadang muncrat-muncrat ke muka. Pak pendeta terus dampingi
saya. Saya pegangan ke tiang sekuat-kuatnya sampai terlihat obsesif dengan
tiang, padahal waktu liat orang sekitar, mereka biasa-biasa saja tuh :) , sudah
menyatu dengan irama lenggak-lenggok si kapal. Saya berpikir, ini kapal cepat
dengan mesin-mesin turbo saja lumayan oleng, apalagi perahu kecil ya? Ampun.
Saya, Pak Pendeta yang terlalu takut saya jatuh, dan bule Jerman yang dari kostumnya terlihat sudah siap nyebur atau surfing
Pak pendeta yang tampak muda dan gaul ini dapat teman bicara
bule-bule Jerman. Lantas beliau pun mengajak mereka bicara dengan bahasa Jerman
sederhana (padahal saya juga tidak tahu bahasa Jerman yang runit itu seperti
apa). Kesan ketiga saya terhadap pak pendeta ‘eh, boleh juga kemampuan pak
pendeta ini’ (dalam hati saja tapi :p) .
Setelah gelombang-gelombang selat Rote itu berlalu,
perjalanan kembali mulus. Setelah mulus kembali inilah pak Pendeta mulai
mencari petualangan baru, yakni berkunjung ke ruangan terdepan dan terutama
dari kapal : ruang navigasi tempat kapten kapal mengemudikan kapal ini.
Sebenarnya ruangan ini tidak boleh dimasuki sembarang orang, tapi berbekal
koneksi dan ‘kenal nyaris semua orang’ itu, pak pendeta berhasil permisi masuk
bersama saya ke ruang mini tersebut.
Pak pendeta mengenalkan saya dengan pak kapten, yang
ternyata memiliki marga Frans pula. Namanya Pak Marten Frans, namun lebih
sering dipanggil Om Natan, jangan tanyakan mengapa, karena ku tak tahu (nyanyi
lagu ‘salahkah diriku terlalu mencintaimu’). Saya sedikit berbincang-bincang
dengan beliau. Rupanya beliau telah pensiun dari mengemudikan kapal negara,
usianya hampir menginjak 60 tahun. Sekarang ini beliau ‘bawa’ kapal swasta
seperti kapal pesiar atau kapal penumpang seperti ini
Merasa sudah cukup mengganggu aktivitas kapten dan
teman-temannya yang kekar-kekar dan guyonan-guyonan mereka yang rupanya bergaya
sarkasme itu, saya dan pak pendeta pamit keluar. Kami kembali ke tempat duduk
dan ternyata sudah dekat dengan pelabuhan Ba’a.
Om Natan a.k.a Marten Frans (depan) sedang mengemudikan Express Bahari
Bicara soal tempat duduk, banyak kasus tempat duduk
ditempati orang lain, akibatnya kita menempati tempat orang lain, orang lain
itu menempati tempat orang-orang lain, dan seterusnya, sampai ruwet. Kalau
sudah begitu, cukup panggil awak kapal untuk membantu ‘meluruskan’ urusan
duduk-duduk ruwet ini.
Menginjak pulau Rote untuk pertama kalinya, saya sangat
bahagia. Di pelabuhan Ba’a, sudah ada teman pak pendeta yang menunggu dengan
mobil. Kami pun meninggalkan pelabuhan. Rumah pak pendeta bukan di tengah
ibukota kabupaten/Ba’a, melainkan di desa Oebatu, kira-kira 20-30 menit dari
pusat kota.
Sesampai di rumah pak pendeta yang dikelilingi pohon jati
itu, kami merebahkan badan di kursi, dan segera disuguhi teh panas dan makan
siang. Rumah yang lumayan luas ini ternyata cuma dihuni oleh 3 orang : pak
pendeta, ibu bidan (Ibu Mery Lusi, istri pak pendeta), dan anak perempuan
mereka yang berusia 7 tahun, dia sangat susah berbicara dengan orang yang baru
dikenal. Kemungkinan Pak pendeta dan istri sengaja membangun rumah yang luas
dengan banyak kamar, maklum, mereka berdua sendiri adalah tokoh masyarakat :
pendeta dan bidan.:)
Pak pendeta tidak bisa lama-lama berada di rumah. Rupanya
sore itu juga, beliau akan mengikuti pertandingan sepak bola. Kami tiba tepat
saat sedang berlangsung ‘JEIMBER CUP’ atau Jemaat Immanuel Nemberala Cup, alias
pertandingan sepak bola antar gereja se-kabupaten yang diselenggarakan oleh
Jeimber. Dan untuk sore ini adalah pertandingan antara jemaat Oelua (gerejanya
pak pendeta) dan jemaat Oenggau. Om Zadrak menawarkan untuk ikut menonton pak
pendeta yang ternyata akan beraksi di lapangan bola sebagai kiper. Saya tentu
setuju saja. Apalagi lokasi pertandingan tersebut di dekat pantai Nemberala. Saya ikut!
Kurang klimaks critanya..hehe
BalasHapusHalo kakak, masih ada Rote II dan Rote III. Terima kasih sudah mampir :)
HapusTerima Kasih Buat Tulisannya Tentang Pulau Rote, Pulau Tercintaku. Tulisan Yang Bagus. ;)
BalasHapusSama-sama, terima kasih sudah berkunjung dan membaca. Pulau Rote cantik! Saya harap bisa kesana lagi :)
Hapus