Ibu bidan meminjamkan sepeda motornya kepada saya dan om
Zadrak untuk dikendarai ke Nemberala. Waktu
tempuh dari Oebatu ke Nemberala kira-kira 1 jam perjalanan. Sekitar
pukul 3 sore saya dan om Zadrak memulai perjalanan dari Oebatu ke Nemberala. Om
Zadrak lahir dan besar di Nemberala, sehingga sudah tidak asing dengan
jalan-jalan menuju kesana.
Pulau Rote adalah pulau sejuta lontar. Di kiri-kanan jalan
dengan mudahnya pohon lontar ini ditemui. Saya menyukai pemandangan ini. Pohon
lontar melambangkan identitas sesungguhnya dari masyarakat Rote. Sebagian orang
Rote masih menjadikan pohon Lontar sebagai tanaman utama mereka, bukan jagung
atau padi. Karena pada awalnya, makanan gula aer/ gula cair yang dihasilkan
dari sadapan buah lontar inilah yang merupakan makanan utama masyarakat Rote,
bukan padi maupun jagung.
Pohon Lontar yang berdiri anggun, ciri khas pulau Rote
Saya dan Om Zadrak singgah di rumah adat yang letaknya di
pinggir jalan, sebelah kanan jalan jika perjalanan dari arah Ba’a. Dari
kejauhan sudah terlihat seorang bapak yang sudah cukup tua (usia 60an), sedang
duduk-duduk santai di depan rumah adat. Begitu lihat saya dan om Zadrak parkir
motor, beliau spontan sumringah. Ramah sekali bapak ini, batin saya. Saya masuk
ke kompleks rumah adat yang halamannya luas itu, dan berkenalan dengan bapak
Salmun Tabun, bapak yang sedari tadi senyam-senyum ramah. Saya minta untuk
berfoto dengannya, dan Pak Salmun spontan berdiri dan melingkarkan tangannya ke
pundak saya. Saya kaget, kadang tidak suka terlalu dekat dengan orang yang baru
kenal. Tapi pak Salmun berkata ramah ‘sonde apa-apa, bapak ini su tua’. Huah.
Pas, saya juga suka opa-opa. Ehhh. Selesai berfoto, pak Salmun berkata bahwa
tadi, ketika saya turun dari motor, bapak Salmun berpikir bahwa saya ini adalah
anaknya yang baru datang untuk menemuinya. Menurutnya, wajah dan perawakan saya
sangat mirip anak perempuannya yang sedang kuliah. Ahh, pantas bapak ini dari
saya tiba tadi sumringah terus. Mungkin beliau rindu anaknya :) .
Bersama Pak Salmun yang ramah
Pak Salmun mengajak saya dan om Zadrak masuk ke dalam rumah
adat peninggalan Ba’i Feumbura, raja Ti’i dulu. Ti’i adalah salah satu suku di
Rote. Di dalam rumah adat, terdapat meriam peninggalan raja terdahulu, dengan
hiasan ruangan berupa tanduk rusa, tempat sirih, sasando (alat musik unik khas
Rote), ti’i langga (topi unik khas Rote), haik (tempat menampung nira pohon
lontar), dan beberapa foto-foto. Setelah merasa cukup melihat-lihat, saya dan
om Zadrak pamit pulang dengan oleh-oleh senyum sumringah ramah bin rendah
hatinya pak Salmun.
Pak Salmun dan Om Zadrak. Om Zadrak memegang meriam peninggalan, kecil-kecil tapi berat.
Melanjutkan perjalanan beberapa menit lepas dari rumah adat,
saya dan om Zadrak berhenti di Danau Tua, danau tentram yang dikelilingi
pohon-pohon besar dan didiami kerbau-kerbau gendut. Letaknya juga di sebelah
kanan jalan. Pemandangan disini cukup indah dan memberikan kesan damai di hati
:). Selesai berfoto, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Salah satu sudut pemandangan Danau Tua
Pemandangan di kiri kanan jalan menuju Nemberala tidak
membosankan. Banyak padang-padang tempat kawanan kuda, sapi, dan domba
berkeliaran. Beberapa tempat yang berair tinggal kerbau-kerbau yang hitam dan
gemuk. Babi tak kalah eksis,di sepanjang jalan mudah ditemui. Dan tentu saja di
sepanjang jalan bertebaran jenis pohon yang akhir-akhir ini membuat saya jatuh hati
: pohon lontar.
Karena maraknya hewan-hewan di sepanjang jalan, pengendara
kendaraan khususnya motor perlu ekstra hati-hati. Mereka (para hewan) sering
dengan santainya tanpa peringatan menyeberang jalan. Ini sangat berbahaya,
apalagi jika mengendarai motor dalam kecepatan tinggi, bisa menyebabkan
kecelakaan fatal. Ular juga ada yang menyeberang. Nah kalau ular kecil atau
hewan kecil-kecil mungkin kurang berbahaya, tapi apa jadinya kalau kuda besar
lari terobos jalan raya? Pokoknya hati-hati sajalah, selalu awas, dan jangan
ngebut.
Mendekati desa Nemberala, jalanan mulai tidak mulus, namun
tidak begitu parah. Karena sebelumnya saya dan om Zadrak pernah melewati
medan-medan ekstrim dengan motor bebek di Kabupaten Kupang, maka yang ini
terasa biasa saja.
Om Zadrak dan
Keluarganya
Om Zadrak Mengge lahir dan besar di desa Nemberala, lalu
menginjak SMA beliau merantau di Kupang, sekolah sambil bekerja entah itu
pekerjaan buruh bangunan, berdagang, dan kerja di rumah orang. Prinsip beliau adalah
kerja apa saja, yang penting halal. Uang dari kerja sampingan itu bisa untuk
biaya hidup maupun kebutuhan sekolah beliau. Dan alhasil, beliau dapat
memperoleh gelar sarjana dari Undana Kupang, dan beliau salah satu pelopor
anak-anak di desa Nemberala yang bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi.
Ibu dan 2 orang saudara laki-kali dari Om Zadrak tinggal di
Nemberala, sedangkan 2 orang saudara perempuannya dan om Zadrak sendiri memilih
untuk menetap di Kupang. Ayah beliau sudah meninggal. Setibanya kami di
Nemberala, kami menuju rumah dari Ibu om Zadrak. Kami disambut dengan hangat,
terutama karena om Zadrak sudah sekitar 5 tahun tidak berkunjung ke rumah, maka
beliau menyapa seluruh keluarga. Bahkan waktu masih di jalan pun beliau menyapa
semua orang yang lewat. Dan karena om Zadrak membonceng seorang perempuan belia
(hahaha), maka setiap bertemu kenalannya, om Zadrak menjelaskan bahwa saya
adalah teman kerjanya, dan kami berdua ke Rote dalam rangka tugas kantor.
Rupanya suasana di keluarga om Zadrak dan kenalan-kenalannya
cukup hangat. Bukan ramah yang basa-basi, tapi benar-benar keramahan yang
akrab. Kami disuguhi teh Panas.
Tak lama setelah tiba di rumah orangtua om Zadrak,
pertandingan JEIMBER cup pun dimulai. Saya tertarik menonton, bukan karena suka
olah raga ini, tapi karena penasaran melihat aksi pak pendeta yang nyentrik itu
berperan sebagai kiper. Lapangan bola letaknya tepat di depan rumah ibunya om
Zadrak. Jadi kami bisa menonton pertandingan sambil duduk-duduk cantik di halaman rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar