Selasa, 24 Juni 2014

Rote II : Pemandangan di Rote, Rumah Adat, Danau Tua, dan Jalan Raya



Ibu bidan meminjamkan sepeda motornya kepada saya dan om Zadrak untuk dikendarai ke Nemberala. Waktu  tempuh dari Oebatu ke Nemberala kira-kira 1 jam perjalanan. Sekitar pukul 3 sore saya dan om Zadrak memulai perjalanan dari Oebatu ke Nemberala. Om Zadrak lahir dan besar di Nemberala, sehingga sudah tidak asing dengan jalan-jalan menuju kesana. 

Pulau Rote adalah pulau sejuta lontar. Di kiri-kanan jalan dengan mudahnya pohon lontar ini ditemui. Saya menyukai pemandangan ini. Pohon lontar melambangkan identitas sesungguhnya dari masyarakat Rote. Sebagian orang Rote masih menjadikan pohon Lontar sebagai tanaman utama mereka, bukan jagung atau padi. Karena pada awalnya, makanan gula aer/ gula cair yang dihasilkan dari sadapan buah lontar inilah yang merupakan makanan utama masyarakat Rote, bukan padi maupun jagung.
Pohon Lontar yang berdiri anggun, ciri khas pulau Rote

Saya dan Om Zadrak singgah di rumah adat yang letaknya di pinggir jalan, sebelah kanan jalan jika perjalanan dari arah Ba’a. Dari kejauhan sudah terlihat seorang bapak yang sudah cukup tua (usia 60an), sedang duduk-duduk santai di depan rumah adat. Begitu lihat saya dan om Zadrak parkir motor, beliau spontan sumringah. Ramah sekali bapak ini, batin saya. Saya masuk ke kompleks rumah adat yang halamannya luas itu, dan berkenalan dengan bapak Salmun Tabun, bapak yang sedari tadi senyam-senyum ramah. Saya minta untuk berfoto dengannya, dan Pak Salmun spontan berdiri dan melingkarkan tangannya ke pundak saya. Saya kaget, kadang tidak suka terlalu dekat dengan orang yang baru kenal. Tapi pak Salmun berkata ramah ‘sonde apa-apa, bapak ini su tua’. Huah. Pas, saya juga suka opa-opa. Ehhh. Selesai berfoto, pak Salmun berkata bahwa tadi, ketika saya turun dari motor, bapak Salmun berpikir bahwa saya ini adalah anaknya yang baru datang untuk menemuinya. Menurutnya, wajah dan perawakan saya sangat mirip anak perempuannya yang sedang kuliah. Ahh, pantas bapak ini dari saya tiba tadi sumringah terus. Mungkin beliau rindu anaknya :) .

Bersama Pak Salmun yang ramah

Pak Salmun mengajak saya dan om Zadrak masuk ke dalam rumah adat peninggalan Ba’i Feumbura, raja Ti’i dulu. Ti’i adalah salah satu suku di Rote. Di dalam rumah adat, terdapat meriam peninggalan raja terdahulu, dengan hiasan ruangan berupa tanduk rusa, tempat sirih, sasando (alat musik unik khas Rote), ti’i langga (topi unik khas Rote), haik (tempat menampung nira pohon lontar), dan beberapa foto-foto. Setelah merasa cukup melihat-lihat, saya dan om Zadrak pamit pulang dengan oleh-oleh senyum sumringah ramah bin rendah hatinya pak Salmun.

Pak Salmun dan Om Zadrak. Om Zadrak memegang meriam peninggalan, kecil-kecil tapi berat.

Melanjutkan perjalanan beberapa menit lepas dari rumah adat, saya dan om Zadrak berhenti di Danau Tua, danau tentram yang dikelilingi pohon-pohon besar dan didiami kerbau-kerbau gendut. Letaknya juga di sebelah kanan jalan. Pemandangan disini cukup indah dan memberikan kesan damai di hati :). Selesai berfoto, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Salah satu sudut pemandangan Danau Tua

Pemandangan di kiri kanan jalan menuju Nemberala tidak membosankan. Banyak padang-padang tempat kawanan kuda, sapi, dan domba berkeliaran. Beberapa tempat yang berair tinggal kerbau-kerbau yang hitam dan gemuk. Babi tak kalah eksis,di sepanjang jalan mudah ditemui. Dan tentu saja di sepanjang jalan bertebaran jenis pohon yang akhir-akhir ini membuat saya jatuh hati : pohon lontar.

Karena maraknya hewan-hewan di sepanjang jalan, pengendara kendaraan khususnya motor perlu ekstra hati-hati. Mereka (para hewan) sering dengan santainya tanpa peringatan menyeberang jalan. Ini sangat berbahaya, apalagi jika mengendarai motor dalam kecepatan tinggi, bisa menyebabkan kecelakaan fatal. Ular juga ada yang menyeberang. Nah kalau ular kecil atau hewan kecil-kecil mungkin kurang berbahaya, tapi apa jadinya kalau kuda besar lari terobos jalan raya? Pokoknya hati-hati sajalah, selalu awas, dan jangan ngebut.

Mendekati desa Nemberala, jalanan mulai tidak mulus, namun tidak begitu parah. Karena sebelumnya saya dan om Zadrak pernah melewati medan-medan ekstrim dengan motor bebek di Kabupaten Kupang, maka  yang ini  terasa biasa saja.

Om Zadrak dan Keluarganya

Om Zadrak Mengge lahir dan besar di desa Nemberala, lalu menginjak SMA beliau merantau di Kupang, sekolah sambil bekerja entah itu pekerjaan buruh bangunan, berdagang, dan kerja di rumah orang. Prinsip beliau adalah kerja apa saja, yang penting halal. Uang dari kerja sampingan itu bisa untuk biaya hidup maupun kebutuhan sekolah beliau. Dan alhasil, beliau dapat memperoleh gelar sarjana dari Undana Kupang, dan beliau salah satu pelopor anak-anak di desa Nemberala yang bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi.

Ibu dan 2 orang saudara laki-kali dari Om Zadrak tinggal di Nemberala, sedangkan 2 orang saudara perempuannya dan om Zadrak sendiri memilih untuk menetap di Kupang. Ayah beliau sudah meninggal. Setibanya kami di Nemberala, kami menuju rumah dari Ibu om Zadrak. Kami disambut dengan hangat, terutama karena om Zadrak sudah sekitar 5 tahun tidak berkunjung ke rumah, maka beliau menyapa seluruh keluarga. Bahkan waktu masih di jalan pun beliau menyapa semua orang yang lewat. Dan karena om Zadrak membonceng seorang perempuan belia (hahaha), maka setiap bertemu kenalannya, om Zadrak menjelaskan bahwa saya adalah teman kerjanya, dan kami berdua ke Rote dalam rangka tugas kantor.

Rupanya suasana di keluarga om Zadrak dan kenalan-kenalannya cukup hangat. Bukan ramah yang basa-basi, tapi benar-benar keramahan yang akrab. Kami disuguhi teh Panas.

Tak lama setelah tiba di rumah orangtua om Zadrak, pertandingan JEIMBER cup pun dimulai. Saya tertarik menonton, bukan karena suka olah raga ini, tapi karena penasaran melihat aksi pak pendeta yang nyentrik itu berperan sebagai kiper. Lapangan bola letaknya tepat di depan rumah ibunya om Zadrak. Jadi kami bisa menonton pertandingan sambil duduk-duduk cantik di halaman rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar